Aroma Bunga Kenanga

69 views

Senja itu masih terasa sendu. Daun-daun kering tampak beterbangan diterpa angin. Di atas, awan tampak murung dengan beban yang disangganya. Di salah satu gundukan tanah yang masih baru, nampak gadis muda tengah menatap papan nisan dengan nanar. Dari sela kedua mata lentiknya menganak sungai bulir bening. Susah bila harus ditebak apa yang bergejolak dalam batin gadis itu. Beberapa kali air mata jatuh membasahi tanah merah di hadapannya. Aroma wangi bunga kenanga dan kemboja yang tumbuh rindang mengitarinya tidak sedikit pun menghibur.

“Sudahlah, Nak! Tenangkan hatimu. Biarlah takdir dan sang waktu yan akan memberimu jawaban atas kemelut batin yang kini engkau rasakan,” tegur sebuah suara dari arah belakang si gadis.

Advertisements

Merasa ada yang memanggil, gadis yang menekuri nisan itu kini beralih mencari sumber suara. Di antara deretan nisan yang berlumut, tampak sosok sepuh yang kini juga menatapnya. Dengan tulus wanita sepuh itu tersenyum seolah menguatkannya. Masih cukup jelas, gurat pilu mencumbu putih kulit wajah si gadis. Sekarang justru ia merasa bingung pada orang yang berdiri di hadapannya. Sembari berdiri, si gadis nampak mengibaskan tangan —membersihkan tanah yang menempel— lalu mengusap kedua matanya.

“Nenek berbicara denganku?” tanya si gadis ragu.

“Memang di sini ada orang lain, Nak? Tentu dengan dirimu. Kamu Anggi bukan?” tanya balik wanita sepuh yang dibalas anggukan oleh si gadis.

“Sudahlah, Nak. Nanti kuceritakan apa pun yang ingin kau tanyakan. Mari ikut bersamaku,” lanjut wanita sepuh itu sambil berjalan menuju pintu keluar makam. Sesekali terdengar pula suara kaleng yang saling bertabrakan dari dalam karung yang dipikulnya.

Gadis itu mulanya ragu. Namun, setelah ia pikir lagi, dari sekian banyak orang yang mengantarkan jenazah keluarganya, hanya wanita sepuh itu yang peduli padanya. Tidak ada sepatah kata pun penghinaan keluar dari mulut wanita sepuh itu. Berbeda dengan warga lain yang malah bersyukur atas musibah yang menderanya. Akhirnya dengan langkah patah-patah, ia ikuti wanita itu menuju suatu tempat.

“Panggil aku Mbah Minto ya, Nak,” ujar sang wanita sepuh di sela langkahnya.

***

Ricik sungai kecil, nyanyian katak, dan aroma tanah basah menemani langkah Anggi dan Mbah Minto menuju setapak pojok desa. Setelah berjalan memasuki hutan, kini di depan mereka tampak bangunan kecil dari anyaman bambu. Beberapa ekor ayam tampak berkotek dan mencakar-cakar tanah mencari makan. Anggi merasa tenang saat mulai memasuki pelataran rumah sederhana itu. Pohon kenanga yang sangat besar berdiri gagah menaungi halaman depan rumah Mbah Minto, membuat Anggi kagum dan merasa tenang karena aroma yang menyejukkan dada.

“Duduklah, Nak. Mbah Minto mau menyiapkan air minum dahulu,” pintanya sambil menunjuk kursi lapuk di pojok ruangan. Anggi pun mengangguk dan segera duduk.

Dengan wajah yang masih sembap, Anggi mengedarkan pandangan meniti setiap sudut ruangan. Tidak lama, aroma jahe menguar dari gelas yang dibawa Mbah Minto. Wanita sepuh itu berjalan pelan menuju tempat Anggi duduk. Lantas meletakan dua cangkir minuman di atas meja bambu di hadapannya.

“Silakan diminum, Nak.”

Perhatian Anggi langsung tertuju pada gelas yang berisi cairan cokelat pekat di hadapannya. Ia masih bingung dengan sikap wanita sepuh yang kini duduk di sampingnya. Mengapa ia begitu perhatian dengannya? Seolah ia seperti cucu yang lama tidak pulang dan sangat dirindukan. Akhirnya, dengan sopan Anggi mengambil cangkir, lantas menyesap isinya. Ketika jahe itu melewati tenggorokan, sebuah ketenangan seolah hadir seiring seruputan yang masuk.

“Tidak apa, Nak. Kamu boleh cerita sekarang,” ujar Mbah Minto saat melihat Anggi selesai minum.

Mendengar itu, justru Anggi malah diam. Ketenangan yang tadi diraihnya kini amblas berbarengan dengan tangisnya yang kembali terdengar. Pundak gadis itu terguncang hebat. Dengan sabar, Mbah Minto mendekati Anggi dan mengelus punggungnya lembut. Ruangan dari anyaman bilah bambu itu sunyi sejenak. Mbah Minto tidak mau memaksa gadis di sampingnya.

Saat Anggi menghirup napas dalam, entah keyakinan dari mana, ia merasa dekat dengan wanita sepuh di sampingnya. Ia merasa jika memang benar, mungkin dirinya harus berbagi cerita. Sambil menatap mata Mbah Mintto, akhirnya Anggi memulai cerita pedih dalam hidupnya.

***

Anggi merupakan gadis muda yang salehah. Ia berasal dari keluarga pejabat. Ayahnya adalah seorang wali kota, sedangkan ibunya adalah anggota dewan. Hidup mewah bukan hal asing baginya. Tetapi ia tidak pernah mau menerima uang dari orang tuanya itu. Ia merasa tidak berhak, bila harus menerima uang dari keringat rakyat. Sudah sejak SMP, dirinya berkerja sebagai penulis media online yang membutuhkan jasa untuk mengisi kolom-kolomnya. Ia memang menyukai dunia menulis. Hal itu ia dapatkan dari neneknya. Namun, entah ke mana orang yang mengajarinya menorehkan seni di kertas itu. Ia tidak pernah melihatnya lagi, pasca pertengkaran hebat kedua orang tuanya yang berujung mengusir sang nenek karena berusaha melerai.

“Ayahku terbukti menjadi pejabat yang melindungi pengedar narkoba di kota, Mbah. Akhirnya beliau mendapatkan hukuman penjara. Namun, belum sempat persidangan dilaksanakan, ayah memutuskan bunuh diri,” tutur Anggi menutup cerita. Tangis yang tadinya agak mereda, kini terdengar kembali.

Lagi, ruangan sederhana itu lengang. Hanya kepulan uap jahe yang tampak menari-nari. Sesekali, tokek yang merayap di atap, ikut menyumbang suara memecah keheningan di antara dua makhluk di bawahnya. Mbah Minto tampak menerawang jauh. Ia sangat perihatin dengan nasib Anggi.

“Ibumu di mana, Nak?”

“Ibu kabur entah ke mana, Mbah. Ia sepertinya juga menjadi buron polisi,” ujar Anggi sendu.

Di luar hujan sepertinya akan turun. Awan hitam sudah mulai memeluk langit desa. Embusan angin terasa semakin kencang. Yang tadinya di halaman terdengar suara-suara burung, kini hening. Sepertinya burung-burung itu sudah mencari tempat berteduh.

“Ya sudahlah, Anggi. Semua itu sudah menjadi ketentuan Allah. Terpenting, kamu selalu mendoakan almarhum ayahmu,” ujar Mbah Minto memutus hening.

Mendapat perhatian dari perempuan sepuh di sampingnya, Anggi merasakan kembali kasih sang nenek yang lama tidak ia jumpai. Hujan yang tadinya belum jelas, kini turun dengan sangat lebat. Aroma khas tanah lumpur menguar di sekitar rumah. Semerbak kenanga serasa tidak mau kalah. Wanginya ikut mewarnai kekalutan langit. Karena teringat kembali pada neneknya, Anggi lantas memeluk Mbah Minto.

***

Masih jelas di ingatan Anggi, nenek dari jalur ibunya itu sangat menyayanginya. Ia diajari membaca, menulis, dan mendalami Al-Qur’an. Masa remajanya justru banyak dihabiskan dengan sang nenek. Kedua orang tuanya sibuk dengan urusan partai. Ketika Anggi menanyakan mengapa jarang di rumah, ayah dan ibunya pasti memiliki seribu alasan untuk menjawab.

Sang neneklah yang menanamkan nilai-nilai moral dan agama. Setiap sore diantarnya Anggi ke Taman Pendidikan Al-Qur’an. Paginya, nenek selalu menyiapkan dan menemani Anggi sarapan. Bahkan menginjak kelulusan SD, justru neneklah yang menghadiri wisuda kelulusanya. Nenek memberikan penjelasan kalau kedua orang tuanya sedang melakukan kunjungan ke luar negeri.

Sekarang ia baru paham kalau aroma pohon kenanga itu sangat mendamaikan. Karena sewaktu menanam pohon itu bersama neneknya saat SD, ia tidak tahu apa manfaatnya. Hujan di luar masih turun dengan deras. Anggi semakin erat memeluk Mbah Minto. Yang dipeluk, justru membiarkan dan mengusap-usap puncak kepala Anggi.

Kini kilasan demi kilasan pahid kedua orang tua dan kenangan manis bersama sang nenek riuh menjejali kepala Anggi. Ia kembali teringat masa diperkenalkan dengan dunia kepenulisan. “Menulislah jika kamu ingin menjadi orang besar,” ujar nenek suatu sore.

“Mengapa harus menulis?”

Nenek menjelaskan dengan menulis kita akan abadi. Meski jasad kita sudah terkubur, namun tulisan dan karya kita tetap hidup. Dibaca, dikembangkan, dan bahkan memberikan dampak positif jika karya kita memiliki andil dalam dunia pengetahuan.

“Selain itu, menulis merupakan sahabat terbaik. Ia tidak akan mencaci kita ketika kita menorehkan pengalaman buruk. Selalu mampu mengingatkan kalau kita juga memiliki hal yang bisa dibanggakan, namun ia tidak akan memberi pujian. Tetapi ia selalu menjadi sahabat setia,” jelas nenek menutup nasihatnya.

Saat hujan sedikit reda, Mbah Minto memberikan nasihat kepada Anggi bahwa bagaimana pun orang tua tetaplah orang tua kita. Karena berkat merekalah kita bisa terlahir. Bukan soal Anggi yang jarang mendapatkan kasih sayang karena orangtuanya sibuk. Melainkan kasih sayang itu sudah dibuktikan dengan ibunya yang mau mengorbankan nyawa demi bisa melahirkan Anggi ke dunia. Allah juga menghadirkan orang tua lain, yaitu neneknya, sebagai penyempurna kasih orang tuanya. Jadi orang tua kita itu ada yang berperan melahirkan, orang tua yang mendidik, dan orang tua yang mengajarkan kebaikan.

“Jadi jangan bersedih, Nak. Pasti nenekmu bangga dengan pencapaianmu. Tidak usah kamu pedulikan cacian orang lain. Mereka tidak menjadi syarat suksesmu. Terus berjuanglah,” tutup Mbah Minto mengakhiri nasihatnya.

***

Anggi yang tengah mengenang terjal dan berbagai pengalaman hidupnya, tiba-tiba tersentak dengan sebuah kesadaran. Ia di kenal dengan nama Dewi, dari nama Anggi Ratna Dewi. Bahkan di sekolah pun ia tetap dipanggil dewi. Yang memanggilnya Anggi hanyalah sang nenek.

“Mbah Minto, apakah engkau kenal dengan nenekku?”

Belum mendengar jawaban dari Mbah Minto, Anggi kembali tersentak. Semula ia merasakan kehangatan, kini tiba-tiba ia basah oleh gerimis yang turun. Ia tergagap dengan kondisi yang dialaminya. Saat mencoba melihat Mbah Minto, ia terkesiap. Ternyata sedari tadi ia tertidur sambil memeluk pohon kenanga di samping pusara ayahnya.

Gabahan, 22 April 2023.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan