Artefakisasi Sejarah Cermin Hegemoni Pengetahuan

41 views

Sejarah adalah kisah para raja, para penguasa, dan orang-orang “hebat”. Sejarah hanya sibuk dengan benda-benda “terbaca” (lempengan batu, kayu, lembar-lembar kertas, dan sesuatu yang serba material lainnya). Sejarah kemudian menjadi apa yang tersaji dalam bentuk karya orang lain yang sama sekali tidak mengalami dan tidak pula menyaksikan suatu peristiwa yang dilukiskan.

Sejarah dibangun hanya atas dasar “penglihatan” si penulis dengan kacamatanya yang asing dan tidak ambil pusing terhadap apa saja yang tidak material. Kita diyakinkan untuk selalu menganggukkan kepala pada semua itu. Para pendidik kita akan bilang “tidak urgen dan tidak signifikan” tatkala kita “berkisah” tentang orang-orang kecil, tidak hebat, dan sekaligus yang marjinal.

Advertisements

Mereka juga akan menakut-nakuti bahwa: berdosalah jika kita “berkisah” tidak atas dasar yang material, tidak valid dan tidak autentik, katanya. Dan, akhirnya, kita lalu lebih percaya hasil pemotretan orang lain, kita lebih mantap pada gambar “wajah kita” di cermin orang lain ketimbang gambar yang kita saksikan sendiri, bahkan seringkali, tragisnya, kita pelan-pelan menyesuaikan dengan potret yang dibuat orang lain.

Kita lupa, atau malah tidak sadar, akan perlunya bertanya: jika sejarah adalah rekonstruksi peristiwa, benarkah bahwa orang-orang biasa, rakyat kebanyakan tidak pernah mempunyai peran sedikitpun? bukankah dalam setiap peristiwa besar-kecil, justru tidak sedikit rakyat kebanyakanlah yang menjadi korban? Bukankah apa yang disebut sebagai dokumen sejarah tidak lebih dari sebuah narasi bikinan orang lain, yang bukan saja tidak terlibat dalam peristiwa itu, melainkan juga mempunyai kaca mata tersendiri dan “didorong” oleh kepentingan-kepentingan subjektifnya? Mengapa kesaksian dan pengalaman para pelaku yang tercecer menjadi cerita rakyat, legenda, mitos, dan dongeng tidak berlaku untuk dijadikan fakta hanya karena semua itu berupa fiksi?

Pastilah bahwa catatan-catatan (dokumen tertulis apalagi yang resmi) itu dibuat setelah peristiwa berlalu berdasarkan ingatan dan hafalan yang tersisa, sehingga catatan-catatan itu sesungguhnya bukanlah peristiwanya. Maka, kalau begitu, lalu apa bedanya dengan fiksi?

Dengan paparan singkat tersebut, saya ingin menyatakan bahwa begitu pelik, rumit, dan kompleks persoalan historeografi kita yang secara sederhana dapat dipilah menjadi dua. Pertama, bahwa tiga hal yang disebut di awal tulisan ini adalah problem besar yang bukan saja terjadi dalam keilmuan sejarah, tetapi juga dihadapi oleh ilmu-ilmu sosial-humaniora pada umumnya. Ketiga hal tersebut adalah standar, ukuran, norma, dan pegangan berwibawa (dalam tradisi sastra disebut kanon) bagi penulisan sejarah yang sengaja diciptakan atau direproduksi oleh pusat kekuatan ideologi dan kebudayaan yang direpresentasikan Barat, serta dirayakan sebagai “keagungan ilmu pengetahuan”, simbol kebenaran dengan klaim universalitasnya yang angkuh.

Kedua, bahwa kita, atau kebanyakan dari kita, telah hanyut ke dalam rengkuhan standar atau kanon tersebut tanpa merasa terengkuh adalah problem tersendiri yang tidak kalah seriusnya, barangkali lebih berat karena menyangkut diri kita, apalagi kita tidak terlatih bersikap kritis terhadap diri sendiri. Gambaran tentang kita, atau sebagian dari kita, hari ini persis seperti yang dilukiskan Amartya Sen saat ia mengulas kritis tentang hegemoni: “Sebagian besar orang adalah orang lain. Pikiran mereka adalah pendapat orang lain, hidup mereka bagai peniruan, hasrat mereka adalah kutipan belaka.” Dengan pernyataan itu, Sen hendak menegaskan bahwa hegemoni telah berjalan melalui berbagai lini, termasuk melalui pembentukan kategori, identitas, dan sekat-sekat lain yang seolah menarik seperti kebenaran, tetapi sebenarnya akan merugikan kita sendiri, orang-orang yang terhegemoni.

Harold Bloom menyatakan bahwa sebuah narasi atau karya menjadi kanon karena kemampuannya membuat kita merasa asing di tengah lingkungan sendiri, atau karena kemampuannya membuat kita merasa betah dan akrab di tengah dunia yang asing. Kemampuan kanon membuat asing di tengah lingkungannya, menurut kritikus sastra berpengaruh itu, menunjuk pada kekuatannya untuk memprovokasi, untuk menggoncang hal-hal yang sudah kita terima mapan; ia seolah memberi alternatif-alternatif untuk menyingkap hal-hal yang selama ini terselubung.

Sementara kemampuan kanon membuat kita lebih betah dan akrab meskipun berada di wilayah asing, menunjuk pada kekuatannya untuk menggarisbawahi persamaan universal kemanusiaan, serta kemampuan-nya menemukan hal-hal yang dibayangkan kekal dan tak berubah di tengah kehidupan manusia.

Kedua kemampuan kanon itu memang menakjubkan, karena di dalam rengkuhannya kita (merasa) menjadi “hebat”, tetapi kanon, justeru dengan kemampuan-kemampuannya itu, menjadi tenaga ajaib yang mampu menyulap kita bukanlah diri kita. Dan dalam kondisi seperti itulah sebenarnya kita telah direpresi, direngkuh, dicuci, dan tak berdaya.

Artefakisasi dan kanonisasi tersebut memang bukanlah problem baru, dan bukan pula tidak mendapatkan kritik yang serius. Edward Said, sebagai contoh, adalah ilmuwan dunia ketiga yang tampil cemerlang menggugat hegemoni pengetahuan itu, sebuah gugatan yang bukan saja mampu menggugah “kesadaran” sejumlah ilmuwan Barat, tetapi juga mengilhami banyak ilmuwan di dunia ketiga.

Ilmuwan sosial India barangkali dapat dijadikan contoh yang tergugah dan membuat “karya tandingan”. Dalam kurun waktu yang pendek, bermunculan orang-orang kritis, kreatif, dan produktif seperti Ranajit Guha, Gayatri Cakravorty Spivak, Gyan Prakash, Homi Bhabha, Dipesh Cakrabarty, Partha Carterjee, Sumit Sarkar, Bikhu Parekh (pengembang postcolonial dan subaltern studies), Ashis Nandy, dan Aijaz Ahmad (pengembang cultural studes).

Dalam konteks historeografi, mereka tidak percaya pada dokumen-dokumen yang ditulis kolonial (Inggris) sebagai sumber sejarah dan mengajukan pengalaman atau kesaksian para pelaku, termasuk orang-orang marjinal (subaltern) sebagai sumber primer dan terpenting; dalam hal ini mereka memperkenalkan historeografy subaltern.

Karya-karya mereka, kini, bukan saja menggoncang kehebatan dan keagungan karya-karya Barat, tetapi juga menggugah “kesadaran” sejumlah ilmuwan di wilayah itu. Karya-karya mereka juga merasuk dan menjadi rujukan penting sejumlah ilmuwan di Amerika Latin, Afrika, dan dalam batas-batas tertentu di Indonesia.

Dalam konteks ini, Indonesia dapat dipastikan belum melakukan “sesuatu” yang berarti. Tahun 1980-an kita memang mendengar dengung “pribumisasi ilmu-ilmu sosial”, tetapi dengung itu muncul-tenggelam dan, yang lebih penting lagi, tidak atau belum membuahkan apa-apa. Clethukan menyebutkan: karena Indoneia tidak punya Gandhi, tetapi jika ada Gandhi Indonesia pun, apakah bangsa ini mampu menyajikan karya-karya seperti generasi Ghandi di India. Indonesia perlu belajar banyak dari India, tanpa harus menjadi India.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan