Hadits sebagai transmisi pokok kedua umat Islam membawa pengaruh besar terhadap perkembangan keilmuan dan peradabannya. Hadits sudah masyhur dipelajari sejak masa Nabi masih hidup melalui majelis-majelisnya. Hadits kemudian diajarkan para sahabat kepada sahabat lain dan juga kepada para tabiin. Hingga, terjadilah fenomena rihlah atau perlawatan hadits ke berbagai negeri oleh para penghimpun hadits yang diinisiasi oleh motivasi agar hadits dapat dikodifikasikan secara sistematis.
Historisitas hadits nabawi sebagai nomenklatur vital umat Islam membawanya hingga seantero jagat, termasuk Nusantara (Indonesia). Namun, hadits di Nusantara pada masanya tidak tersedia secara komplit dan belum dikaji secara komperehensif sebagaimana tradisi keilmuan di Timur Tengah. Akan tetapi, hadits tetap berhasil melakukan sirkulasi teologis kepada masyarakat Nusantara dengan cara diakulturasikan dalam rangka penyesuaian karakter masyarakat Nusantara.
Syafrizal dalam Sejarah Islam Nusantara, mengemukakan, banyak pernyataan tentang awal mula Islam masuk ke bumi Nusantara, mulai dari teori Arab, China, Persia, India, dan Turki. Namun, yang pasti, di Nusantara Islam diajarkan dengan corak tasawuf-falsafistik. Hal ini bukan tanpa alasan. Masyarakat Nusantara ketika itu mempunyai kedekatan dengan ritus-ritus kuno yang berpijak pada ajaran animisme-dinamisme atau bahkan juga agama Hindu-Buddha.
Corak kebudayaan inilah yang membentuk sebuah paradigma falsafistik yang kuat terhadap kehidupan masyarakat Nusantara. Hal tersebut yang kemudian disesuaikan oleh para ulama yang berpikir mendalam mengenai metode yang tepat untuk mendakwahkan Islam, termasuk penyampaian hadits, dengan meminimalisasi pergelutan teologis antara Islam dengan kepercayaan masyarakat Nusantara.
Sebelum abad ke-20, wacana pengajaran hadits masih cenderung lamban dan belum diajarkan oleh para ulama secara teoretis. Di sini, harus kita bedakan terlebih dahulu anatara pengajaran hadits dengan pengajaran kitab hadits. Menurut Su’aidi dalam Jaringan Ulama Hadis Indonesia, pengajaran hadits setidaknya sudah dimulai lebih awal dengan berdasar pada kitab-kitab tasawuf dan fikih.
Namun, masih tersegmentasi pada muatan matan dan kontekstualisasi masyarakat, belum merambah pada pengajaran naqd al hadits. Fenomena ini setidaknya berlangsung dalam kurun waktu tiga abad (abad ke-17-19).
Akan tetapi, bukan berarti para ulama ketika itu tidak memberikan konsen berupa karya dan pemikiran terhadap hadits. Sebut saja Syekh Nuruddin ar Raniri (w. 1658 M) dengan karya Hidayat al Habib fi at Targhib wa at Tarhib; Syekh Abdurrahman as Sinkili (w. 1693 M) dengan karya Syarh al Latif ‘ala ‘Arbain Nawawi dan al Mawaidz al Badiah; Syekh Nawawi al Bantani (w. 1897 M) dengan karya Tanqih al Qaul al Hasis fi Syarh Lubab al Hadits, dan masih banyak ulama serta karyanya yang lain. Namun, kitab-kitab ini tidak secara eksplisit dikaji dan diajarkan kepada masyarakat Nusantara.
Pengajaran hadits dan kitab hadits mulai mendapatkan fokus yang intens ketika pondok-pondok pesantren telah berkembang dan menjadi penting dalam sistem kependidikan di Nusantara. Beberapa di antaranya adalah Pondok Tebuireng dan Rejoso di Jombang, Pondok Gontor di Ponorogo, Pondok Muallimin di Yogyakarta, serta Thawalib dan Maktab Islamiyah di Sumatera. Pondok-pondok pesantren tersebut memberikan perhatian awal terhadap pengajaran hadits maupun kitab hadits di Nusantara.
Tak hanya di pondok pesantren, hadits dan kitab hadtis juga mulai diajarkan di madrasah, organisasi kemasyarakatan Islam (ormas) yang bermazhab maupun nonmazhab dan media (seperti majalah, rubrik islami). Dari ormas ini, akan lahir berbagai tokoh dengan paradigma-paradigma kelimuan yang baru, yang pada tahap selanjutnya membawa pengajaran hadits dan kitab hadits lebih mempunyai tempat di bangku pendidikan agama Nusantara. Sebut saja Muhammadiyah (1912) oleh KH Ahmad Dahlan, Persatuan Islam atau Persis (1923) oleh Ahmad Hassan, Nahdlatul Ulama atau NU (1926) oleh KH Hasyim Asy’ari, serta al Washliyah (1930) oleh Ismail Banda.
Hingga pada pertengahan abad ke-20, lahirlah inisiasi kependidikan formal yang menciptakan embriologi terhadap perguruan tinggi Islam di Indonesia. Angin segar ini membawa sebuah wujud berupa Sekolah Tinggi Islam (STI) di tahun 1945, yang berkiblat pada Universitas al Azhar Kairo, Mesir. STI kemudian dipindahkan ke Yogyakarta pada 1946 dan dialihnamakan menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Pada tahap selanjutnya, proses ini melahirkan Institut Agama Islam Islam (IAIN) Sunan Kalijaga yang berasal dari Fakultas Syariah.
Pola sistematisasi keilmuan hadits mulai mendapatkan tempat istimewa di perguruan tinggi. Hal ini diawali dengan didatangkannya literatur-literatur klasik berbahasa Arab dari Timur Tengah untuk menggenjot hasrat pengajaran hadits. Akan tetapi, karena akses yang minim dan kemampuan linguistik yang terbatas dari para mahasiswa, mendorong Tengku Hasbi as Siddiqi (w. 1975) membuat narasi-narasi keilmuan hadits dalam bahasa Indonesia. Sehingga, pada momentumnya, kajian hadits tidak hanya terpaku pada muatan matan untuk masyarakat, namun juga dikembangkan terhadap polarisasi keilmuan mengenai naqd al hadits secara lebih kompleks.
Wallahu a’lam bi as Showab.