Berawal dari beberapa literatur keislaman klasik yang biasa kita sebut kitab kuning, sebuah maha karya menyebut kata mujtahid di dalamnya. Misalnya, Syekh Zakariya al-Ansori di dalam kitab Tuhfatu at-Tullab, menuliskan di dalam pengantar kitab tersebut:
(فهذا) المؤلف الحاضر ذهنا (مختصر) من الاختصار وهو تقليل اللفظ وتكثير المعنى (في الفقه) هو لغة الفهم واصطلاحا العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية (على مذهب الإمام) المجتهد أبي عبد الله محمد بن إدريس (الشافعي رضي الله عنه)
Artinya: Kitab yang disusun ini merupakan kitab mukhtasar (ringkas; kata mukhtashar merupakan derivasi dari kata iktishar yang berarti menyedikitkan lafaz serta memperkaya makna; tentang fikih; fikih secara bahasa memiliki arti paham, sedangkan secara istilah yaitu pengetahuan terhadap hukum-hukum syariat amaliyah yang diambil dari dalil-dalil hukum yang terperinci; berlandaskan pada Mazhabnya Imam Mujtahid Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i RA.
Pada era Revolusi Industri 4.0 ini, kalau kita lihat di jagad media social, banyak orang yang senantiasa mengkampanyekan “mari kembali/merujuk ke Al-Qur’an dan Hadis, tidak usah mazhab-mazhaban”.
Sebenarnya kalau kita mau mengkritiknya, jargon ini mempunyai beberapa titik kelemahan. Pertama, ajakan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis berarti mereka mengajak untuk mengentaskan seluruh persoalan kehidupan, termasuk masalah fiqhhiyyah, dengan langsung merujuk ke Al-Qur’an dan Hadis. Padahal, secara faktual ini tidak memungkinkan kecuali ada yang memiliki kapasitas.
Kedua, “tidak usah bermazhab” berarti mereka mengajak seluruh orang untuk tidak ber-taqlid (sebagai muqollid), melainkan menjadi seorang mujtahid. Padahal, gelar mujtahid ini tidak bisa disematkan kepada sembarang orang. Walaupun, menurut sebagian pendapat pintu ijtihad tidak tertutup, akan tetapi pada zaman ini siapa yang memiliki kapabilitas ber-ijtihad dengan segala macam perangkat dan persyaratannya?
Siapakah Mujtahid?
Kata mujtahid ini merupakan isim fa’il dari masdar ijtihad (اجتهد-يجتهد-اجتهادا-هو مجتهد). Oleh karena itu, mula-mula kita harus mengetahui definisi ijtihad. Syekh Dr Muhammad Hasan Haitu dalam kitabnya yang berjudul al-Ijtihad wa Thabaqat Mujtahidiy asy-Syafi’iyyah, di halaman 15 mendefinisikan:
الاجتهاد اصطلاحا استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم شرعي
Artinya: Ijtihad secara istilah adalah mencurahkannya seorang fakih akan segala kemampuannya untuk mencapai dugaan terhadap hukum syar’i.
Sedangkan, Syekh Dr Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya Ushul al-Fiqh al-Islami juz 2 halaman 327 mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
إن الاجتهاد هو عملية استنباط الأحكام الشرعية من أدلتها التفصيلية في الشريعة
Artinya: Ijtihad adalah suatu aktivitas menggali hukum-hukum syar’iyyah dari dalil-dalil yang terperinci di dalam syari’at.
Dari kedua definisi ijtihad tersebut, dapat disimpulkan bahwa, mujtahid adalah seorang fakih yang mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menghasilkan hukum syar’i. Oleh karena itu, sudah barang tentu seorang mujtahid adalah orang yang mempunyai malakah ijtihad (kapabilitas secara keilmuan atau kapabilitas untuk berijtihad).
Syarat-syarat Ijtihad
Syekh Dr Muhammad Hasan Haitu dalam kitab al-Ijtihad wa Thabaqat Mujtahidiy asy-Syafi’iyyah halaman 17 menyebutkan, setidak-tidaknya untuk menjadi seorang mujtahid ada 12 syarat yang harus terpenuhi: pertama, Islam; kedua, berakal; ketiga, baligh; keempat, adil; kelima, fiqh an-nafsi (yaitu suatu tingkatan di mana ilmu-ilmu syariat sudah menjadi karakter dan potensi dalam diri seseorang); keenam, mengetahui dengan baik tentang Al-Qur’an dari segala aspeknya dan perangkat ilmu untuk memahaminya, bukan hanya dari segi bahasa dan makna saja melainkan, nasikh-mansukh-nya, ‘am-khash, muthlaq-muqoyyad, asbab an-nuzul, dan sebagainya; ketujuh, mengetahui as-sunnah dengan segala perangkat keilmuannya; kedelapan, mengetahui Bahasa Arab; kesembilan, mengetahui masalah-masalah ijma; kesepuluh, mengetahui mazhab-mazhab ulama dalam masalah khilafiyah; kesebelas, mengetahui ushul fikih; dan keduabelas, mengetahui dalil aqli.
Ketika sudah mengetahui dengan baik tentang ijtihad dan mujtahid berikut syarat-syaratnya yang cukup ketat, maka niscaya kita tidak mudah mengajak orang untuk meng-ijtihadi atau meng-istinbathi hukum secara langsung pada Al-Qur’an dan Hadis, di samping itu pula para ulama terdahulu sudah merumuskan dan mengelaborasi hukum-hukum syariat di dalam kitab-kitab mereka.
Pintu Ijtihad Tertutup?
Kalau yang dimaksud adalah ijtihad mutlak atau mustaqill, maka pintu ini sudah tertutup rapat di kisaran tahun 300 H (Hasyiyah al-Baijuri Juz 1 Halaman 21). Akan tetapi, Imam as-Suyuthi menegaskan bahwa pintu ijtihad akan terus terbuka hingga akhir zaman berlandaskan sebuah hadis:
يبعث الله على رأس كل مائة سنة من يجدد لهذه الأمة أمر دينها (الحديث)
Artinya: Allah akan mengutus di pengujung setiap 100 tahun orang yang akan memperbaharui perkara agama umat ini.
Oleh karena itu, Syekh Ibrahim al-Baijuri menjelaskan bahwa yang dimaksud hadis ini bukanlah seorang mujtahid mutlak, melainkan orang yang menetapkan dan menguatkan syariat dan hukum-hukumnya. (Hasyiyah al-Baijuri Juz 1 Halaman 21).
Sedangkan, Syekh Wahbah az-Zuhaili mengungkapkan bahwa ijtihad ini merupakan spirit tasyri sehingga sangat mungkin untuk dilakukan dan tiada kesulitan di dalamnya. Bahkan menurutnya, upaya menyempurnakan syarat-syarat ijtihad bukanlah hal yang sulit seiring dengan terkodifikasinya berbagai ilmu pengetahuan dan banyaknya kitab-kitab yang dikarang tentang itu, walaupun di sisi lain ia juga sepakat bahwa tidak ada ruang untuk ijtihad mustaqill (ijtihad mandiri dengan menciptakan ushul dan kaidah-kaidah sebagai metodologi istinbath). (Ushul al-Fiqh al-Islami juz 2 halaman 373).
Sebagai penutup tulisan ini, sebenarnya uraian di atas sudah cukup, akan tetapi kami rasa penting untuk memberikan sedikit ulasan pendapat beberapa ulama sebagai rambu-rambu jika ada orang yang merasa berhak untuk berijtihad, tapi secara kapasitas keilmuan jauh dari pandangan mata. Pertama, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar dalam kitabnya Bughyah al-Mustarsyidin halaman 7:
شخص طلب العلم، وأكثر من مطالعة الكتب المؤلفة من التفسير والحديث والفقه، وكان ذا فهم وذكاء، فتحكم في رأيه أن جملة هذه الأمة ضلوا وأضلوا عن أصل الدين وطريق سيد المرسلين ، فرفض جميع مؤلفات أهل العلم، ولم يلتزم مذهباً، بل عدل إلى الاجتهاد، وادّعى الاستنباط من الكتاب والسنة بزعمه، وليس فيه شروط الاجتهاد المعتبرة عند أهل العلم، ومع ذلك يلزم الأمة الأخذ بقوله ويوجب متابعته، فهذا الشخص المذكور المدَّعي الاجتهاد يجب عليه الرجوع إلى الحق ورفض الدعاوى الباطلة.
Artinya: Ada seseorang yang setelah dia menuntut ilmu, memperbanyak mutholaah beberapa kitab berupa tafsir, hadis, dan fikih, kemudian dia mengklaim dalam pikiran/gagasannya bahwa sekumpulan umat ini telah tersesat dan menyesatkan menyimpang dari pokok agama dan jalan Sayyidil Mursalin, kemudian dia menolak seluruh karya/kitab yang disusun ahli ilmu dan dia tidak bermazhab akan tetapi lebih memilih berijtihad, dan mengaku meng-istinbath hukum dari Kitab (Al-Qur’an) dan Sunnah, sedangkan dia tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad yang mu’tabarah menurut ahli ilmu, serta dia mewajibkan seluruh umat untuk mengambil dan mengikuti pendapatnya, maka orang yang mengaku-ngaku berijtihad ini wajib untuk kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan klaimnya.
Kedua, Syekh Mahron Kutti bin Abdirrohman Kutti al-Kaifattawi al-Malibari asy-Syafi’i dalam kitab Risalah at-Tanbih halaman 7 berkata:
لعلك تعجب حين يقول قائلهم- وهو الإمام ابن الرفعة رحمه الله في مقدمة كفاية النبيه في شرح التنبيه الذي طبع مؤخرا في 19 مجلدا ضخما, واصفا شرحه: (هو في الحقيقة بداية الفقيه) ! . وإذا كان الكفاية بداية الفقيه فليت شعري ما نهايته!؟
Artinya: Barangkali engkau akan terheran-heran ketika salah seorang dari mereka, yaitu Imam Ibnu Ar-rif’ah berkata dalam muqoddimah kitab Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih yang cetakan terakhirnya 19 jilid tebal-tebal seraya mensifati Kitab Syarh beliau: “Ia secara hakikat adalah awal pengembaraan seorang fakih. Apabilah al-Kifayah saja awal pengembaraan seorang fakih, maka barangkali aku tahu, apa puncaknya!?
Kraksaan, 12-02-2022.