Syekh Muhyiddin bin Arabi bertutur, “Sesungguhnya orang yang berbuat buruk kepada kita, sungguh ia telah memberikan kebaikan-kebaikan kepada kita di akhirat tempat kebaikan-kebaikan itu dibutuhkan. Karena itu, bagaimana mungkin kita pantas membalasnya dengan perbuatan buruk?”
“Seandainya seorang hamba disingkapkan, ia tidak akan menemukan seorang pun yang berbuat baik kepada dirinya seperti orang yang berbuat buruk kepadanya. Barangsiapa telah demikian keadaannya, termasuk wajib baginya dalam pandangan para ahli tasawuf untuk membalas orang yang berbuat buruk kepadanya dengan segala kebaikan di dunia. Itu pun dengan tidak merasa bahwa ia telah membalas kebaikan orang itu dengan setimpal,” lanjut Syekh Muhyiddin bin Arabi.
Hal senada juga disampaikan oleh Syekh Muhammad Khalid Tsabit dalam kitab Min Maarif as-Sadah as-Shufiyyah jilid 3. Suatu ketika anaknya bertanya, “Mengapa engkau diam terhadap perbuatan buruk orang kepadamu sehingga si pelaku yakin bahwa engkau tak ubahnya tembok?”
Syekh menjawab, “Wahai anakku, sesungguhnya ia memberiku banyak kebaikan dan aku tidak ingin membalas kebaikannya dengan keburukan.”
Tanda-tanda kebingungan tampak di wajah anaknya, lalu ia bertanya lagi, “Bagaimana bisa demikian? Kulihat ia selalu berbuat buruk kepadamu, sedangkan engkau berbuat baik kepadanya?”
Syekh berkata lagi kepada anaknya, “Engkau adalah anakku dari sulbiku. Apakah engkau mencintaiku?”
“Tentu, tetapi apa hubungan hal ini dengan apa yang kita bicarakan?” timpalnya.
“Apakah jika aku meminta sesuatu kepadamu engkau akan memberikannya kepadaku?” tanya Syekh.
“Tentu, selama itu ada dalam kemampuanku.”
Syekh berkata lagi, “Tetapi, pada hari kiamat jika engkau melihatku terbelenggu dengan rantai dalam keadaan digiring ke neraka dan aku meminta kepadamu satu kebaikan yang dapat menjadi sebab keselamatanku dari neraka, apakah engkau akan memberikan kebaikan itu untukku?”
“Tentu, Ayahku.”
Syekh lalu menandaskan, “Engkau berkata begitu sekarang, tetapi ketika engkau telah menyaksikan kengerian suasana hari kiamat, engkau hanya akan memikirkan keselamatan dirimu sendiri. Tetapi, si Fulan yang telah berbuat buruk kepadaku, ia akan memberikan berbagai kebaikannya tanpa kuminta, bahkan bisa jadi ia juga akan memikul sebagian dosaku dan mungkin pula ia akan memikul semua dosa-dosaku.”
“Oleh sebab itulah, aku memandangnya sebagai orang yang paling banyak berbuat baik kepadaku. Apakah engkau mampu berbuat baik kepadaku pada situasi dahsyat itu sebagaimana kebaikan orang tersebut kepadaku? Ibu dan ayahku pun tidak mampu begitu. Bukankah engkau juga demikian?” imbuh Syekh, sementara anaknya terus menunduk.
“Ya,” jawabnya pelan.
Sejalan pula dengan reaksi Imam Hasan al-Basri ketika menyikapi orang yang selalu mengghibahinya. Seperti dikutip dari kitab Shaid al-Afkar fi al-Adab wa al-Akhlak wa al-Hikam wa al-Amtsal juz I, al-Qadhi Husain bin Muhammad al-Mahdi menceritakan bahwa pada suatu ketika ada seseorang yang melaporkan kepada Imam Hasan al-Bashri perihal lelaki yang suka menggibahnya.
Alih-alih marah atau tersinggung, ia malah mengirimi lelaki yang mengghibahinya itu satu nampan kurma yang masih segar.
“Aku mendengar kabar kau suka mengghibahiku. Ini aku bawakan satu nampan kurma segar sebagai hadiah balasan atas seluruh kebaikan yang kau berikan kepadaku. Tetapi, mohon maaf jika hadiahku ini tidaklah seberapa ketimbang kebaikan-kebaikanmu,” ucap Imam Hasan al-Bashri.
Tiga reaksi ulama dalam menyikapi perbuatan buruk orang lain ini, tidak satu pun yang mencontohkan membalas dengan keburukan yang sama. Syekh Muhyiddin bin Arabi membalas dengan segala kebaikan dunia. Syekh Muhammad Khalid Tsabit membalas keburukan dengan kebaikan. Sedangkan Imam Hasan al-Bashri menghadiahkan satu nampan kurma segar kepada orang yang telah mengghibahinya.
Lalu, jika kita membalas perbuatan buruk orang lain dengan keburukan yang serupa, atau bahkan dengan keburukan yang lebih buruk lagi, dengan seburuk-buruknya keburukan, maka siapa yang kita teladani?
Sebagai penutup tulisan ‘muhasabah’ ini, marilah perbaiki diri kita! Jika terasa sulit menghadiahkan sepotong roti kepada setiap orang yang mengumpat kita, setidaknya kita tidak melempar umpatan yang sama. Diam saja atau langitkan doa baik untuknya!
Wallahu a’lam bi shawab…