Banyak Jalan Menjadi Wali

222 kali dibaca

Banyak jalan menjadi seorang wali. Salah satunya melalui jalan ta’lim wa ta’allum, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan ulama. Di Indonesia, ada Syaikhona Kholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari. Mereka menggunakan cara itu, yaitu ta’allum (belajar) dan ta’lim (mengajar). Keduanya tidak diragukan lagi dalam proses mencari ilmu, mengarungi lautan hingga menapaki pasir yang menyengat, menahan dahaga, dan kerinduan akan keluarga. Setelah menempuh perjalanan panjang dalam mencari ilmu, mulailah fase mengajar. Pada fase ini, ilmu-ilmu yang telah diperoleh akan mereka sampaikan dengan niat seratus persen ikhlas karena Allah.

Di suatu kesempatan, Gus Kautsar pernah mengatakan bahwa thoriqoh ini, jalan ini, —berdasarkan mukasyafah dari para ulama terdahulu— adalah cara paling cepat dan paling efektif untuk menjadi waliyullah.

Advertisements

Jalan lain adalah birrul walidayn, berbakti kepada orang tua, seperti yang dilakukan oleh seorang pemuda Yaman yang tinggal di sebuah rumah sederhana bersama ibunya yang sudah tua renta. Meskipun hidup di zaman Rasulullah, pemuda itu tak pernah sedikitpun melihat wajah Nabi. Apa sebab? Karena ia sibuk merawat ibunya dan tak tega meninggalkannya sendirian. Namun Allah yang Maha Tahu menceritakan hal tersebut kepada Nabi, hingga beliau berpesan kepada sahabatnya, jika mereka bertemu dengan pemuda bernama Uwais, maka mintalah doa kepadanya. Uwais terkenal sebagai orang yang sangat rendah hati dan sederhana, terbukti dari sifatnya yang tidak mau dikenal oleh orang banyak.

Auliya dan ulama adalah manusia yang mendapatkan kedudukan istimewa di sisi Allah. Mereka diberikan kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Juga diberikan kesempatan untuk memberikan syafaat kepada manusia yang lain, seperti disebutkan dalam hadis ini.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يشفع يوم القيامة ثلاثة: الأنبياء ثم العلماء ثم الشهداء.”

Artinya: Rasulullah SAW bersabda, “Pada hari kiamat, tiga golongan akan memberikan syafaat: para nabi, kemudian para ulama, kemudian para syuhada.” (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini menunjukkan bahwa ulama memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT dan diberikan kehormatan untuk memberikan syafaat kepada umat pada hari kiamat, setelah para nabi dan sebelum para syuhada.

Namun, di balik itu semua, Allah memiliki kuasa atas mereka. Allah bisa dengan mudah mengambil kembali kedudukan dan kemuliaan yang dimiliki para ulama semudah menganggukkan kepala. Takdir manusia itu ibarat mata, Allah berhak mengatur ke arah mana manusia itu akan melangkah dan menjadi apa manusia itu kelak. Takdir Tuhan tak ubahnya kotak misteri, tak bisa ditebak dengan mudah. Berkat kekuasaan-Nya, manusia yang hina bisa menjadi manusia yang paling dekat di sisi-Nya, dan orang yang kelihatan mulai bisa menjadi manusia paling hina di mata-Nya.

Ada sebuah kisah yang menceritakan tentang seseorang yang dikehendaki Allah untuk menjadi seorang yang baik, di mana dulunya ia adalah seseorang yang sangat buruk di mata manusia sampai dikucilkan oleh para penduduk desa. Namanya adalah Fudhail bin Iyadh, lahir di Khorasan (sekarang Iran). Pada awal kehidupannya, ia dikenal sebagai seorang perampok. Dia sering menakut-nakuti orang yang bepergian di malam hari, merampok kafilah, dan merampas harta benda mereka. Kehidupannya dipenuhi dengan dosa dan kemaksiatan.

Suatu malam, Fudhail berniat merampok sebuah kafilah. Saat mendekati kafilah tersebut, dia mendengar seseorang membaca ayat Al-Qur’an: “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?” (QS. Al-Hadid: 16).

Ayat ini langsung menusuk hatinya. Fudhail merasa seolah ayat tersebut ditujukan langsung kepadanya. Hatinya bergetar dan dia merasa sangat menyesal atas segala perbuatannya selama ini. Fudhail kemudian memutuskan untuk bertaubat dengan sungguh-sungguh. Dia meninggalkan kehidupan perampokan dan mulai mencari ilmu agama.

Dia belajar kepada banyak ulama besar pada zamannya dan menghabiskan waktunya untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Taubatnya yang sungguh-sungguh dan tekadnya untuk berubah membuatnya dihormati oleh banyak orang. Fudhail bin Iyadh kemudian menjadi ulama besar dan seorang sufi terkenal. Dia dikenal karena ketakwaannya, zuhudnya (menjauhi dunia), dan kebijaksanaannya. Banyak orang datang kepadanya untuk belajar dan mendengar nasihatnya.

Kemudian ada kisah yang sering diangkat sebagai contoh tentang seseorang yang awalnya baik namun kemudian menjadi orang yang paling buruk di sisi Allah, yaitu kisah Bal’am bin Ba’ura. Ini adalah kisah dari Al-Qur’an dan hadis yang memberikan pelajaran penting tentang bahaya kesombongan dan ketidaktaatan kepada Allah.

Bal’am bin Ba’ura adalah seorang alim yang hidup pada zaman Nabi Musa AS. Dia dikenal sebagai seseorang yang sangat dekat dengan Allah, memiliki ilmu yang luas, dan doanya sering kali dikabulkan. Bal’am adalah sosok yang dihormati oleh kaumnya karena kesalehan dan ilmunya. Namun, kehidupan Bal’am berubah drastis ketika dia menghadapi ujian besar.

Pada suatu ketika, Nabi Musa AS dan kaumnya hendak melewati suatu wilayah yang dikuasai oleh kaum yang jahat. Pemimpin dari kaum ini mengetahui bahwa doa-doa Bal’am sangat mustajab, sehingga dia memohon kepada Bal’am untuk mendoakan keburukan bagi Nabi Musa AS dan kaumnya.

Awalnya, Bal’am menolak karena dia tahu bahwa Nabi Musa AS adalah utusan Allah dan doanya yang buruk akan melanggar perintah Allah. Namun, setelah diberikan berbagai godaan, hadiah, dan janji-janji duniawi oleh pemimpin kaum tersebut, Bal’am akhirnya tergoda dan menerima permintaan itu.

Dia pun mulai mendoakan keburukan bagi Nabi Musa AS dan kaumnya. Allah SWT sangat murka dengan tindakan Bal’am. Allah mencabut berkah dan karunia yang telah diberikan kepada Bal’am. Dia jatuh dalam kesesatan yang sangat dalam dan akhirnya menjadi orang yang hina di sisi Allah. Bal’am, yang dahulu dikenal sebagai orang yang sangat dekat dengan Allah, berubah menjadi sosok yang paling buruk karena kesombongan dan ketidaktaatannya.

Kemudian, ada Fudhail bin Iyadh, satu bukti dari begitu banyak bukti bahwa manusia yang diberikan anggukan kebaikan oleh Tuhan. Semudah itu Allah mengubah tingkah laku seseorang, tak dapat dimungkiri lagi karena Allah adalah seorang penulis buku dan kita adalah tokoh dalam buku yang sedang ditulis oleh-Nya. Buruk atau baiknya seorang tokoh ada pada kehendak si penulis. Begitulah cara kita melihat kehidupan yang fana ini, kita hanya bisa bertawakal, selalu berusaha, dan bermujahadah untuk menjadi yang lebih baik dari sebelumnya.

Bal’am bin Ba’ura juga menjadi bukti yang sama akan kehendak Tuhan. Seseorang ahli ibadah yang doanya selalu diijabah malah berakhir di depan kemurkaan Allah. Tiada yang tahu akan segala hal yang akan terjadi pada seseorang karena meski seseorang terlihat baik, belum tentu ia mendapatkan khusnul khatimah.

Bahkan Nabi kita yang menjadi panutan seluruh umat muslim, meskipun ia telah diberi jaminan surga, terbebas seratus persen dari neraka, bahkan jaminan-jaminan yang diberikan Allah sangat banyak sampai amber-amber dan menjadi syafa’at yang beliau berikan kepada umatnya. Ada hadis yang menyatakan demikian, yakni hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو، ‏”‏ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي وَعَنْ يَمِينِي وَعَنْ شِمَالِي، وَمِنْ فَوْقِي، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي ‏‏.‏

Artinya: Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu khusnul khatimah, terhindar dari siksa kubur dan dari siksa neraka, dan aku memohon kepada-Mu untuk diangkat menjadi pertemuan yang paling baik dan surga yang paling baik.” (HR. Muslim).

Ada sebuah kisah yang menceritakan tentang seorang hawariyyin—ulama yang juga pengikut Nabi Isa AS—yang sedang berada dalam perjalanan. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang preman. Preman tersebut mencoba mendekati sang ulama karena ia sangat kagum kepadanya. Namun, sang ulama semakin mempercepat jalannya karena tak mau didekati oleh preman tadi. Maka Allah memberikan wahyu kepada Nabi Isa AS, bahwa ulama dan preman tadi akan memulai hidup dari awal lagi —seperti bayi yang baru dilahirkan— yang baru. Sang ulama dihapus segala amal kebaikannya karena keangkuhan yang ia lakukan, sedangkan si preman dihapus segala dosanya karena memuliakan ulama.

Tentang su’ul khatimah sendiri, Nabi Muhammad memberikan penjelasan dalam hadisnya yang berbunyi: إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ

Artinya: “Sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli neraka, padahal dia termasuk ahli surga; dan ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga, padahal dia termasuk ahli neraka. Sesungguhnya amal itu tergantung pada penutupnya.” (HR. Bukhari No. 6493).

Hadis ini mengingatkan kita bahwa penilaian akhir terhadap seseorang bukanlah hanya berdasarkan amal perbuatannya yang terlihat selama hidup, tetapi sangat tergantung pada bagaimana akhir hidupnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk senantiasa memohon kepada Allah agar diberikan khusnul khatimah.

Dari hadis tersebut kita tahu bahwa sesungguhnya kita hanya bisa pasrah kepada takdir Allah dan kita juga hanya bisa berdoa agar kelak kita termasuk orang-orang yang khusnul khatimah. Jangan pernah mengandalkan amal baik kita karena sesungguhnya yang menarik kita ke dalam surga adalah rahmat Allah SWT semata, bukan karena amal-amal yang tertata.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan