Saat aku melewati jalan menuju jembatan tanpa nama, kabut-kabut menutup jalan, sungai seperti surut berubah menjadi hamparan kabut tebal. Kendaraan yang berlawanan arah, tiba-tiba muncul dari balik kabut-kabut tebal mengandung embun. Tiang-tiang jembatan seperti menghilang, tersisa aspal untuk pijakan roda motor yang kami kendarai. Sementara, dingin menguliti tubuhku. Bapak memakai jaket loreng, sementara aku memakai seragam pesantren.
Setiap pagi akan terjadi pemandangan seperti itu. Aku teringat, ketika aku duduk di kelas lima sekolah dasar pada pelajaran IPA, bahwa sebenarnya kabut mengandung air dan gas. Apabila menempel di benda, kabut akan menjadi air, alias embun, tetapi apa bila kabut itu terbang ke udara dan terpapar sinar matahari akan berubah menjadi gas. Setiap aku melawati kabut, aku berimajinasi mengerikan. Bagaimana tidak, seorang makhluk bertaring berbadan besar dan gempal berwarna hijau, dengan mata melotot seperti hendak keluar, dan air liur menjijikkan di area mulutnya menetes setiap waktu.
Waktu aku kecil, setiap aku dibonceng bapak, aku selalu mendekam di balik punggungnya yang perkasa.
“Jangan katakan kalau kamu takut pada bayangan mengerikan yang sebenarnya itu tidak ada,” kata bapak. Aku hanya diam.
“Orang yang takut bayang-bayang di masa depan, adalah orang yang ditakdirkan untuk tidak maju. Artinya, orang seperti itu tidak mau ambil risiko. Padahal, di dunia ini tidak ada yang tidak berisiko.
Aku tidak ambil pusing dengan ucapan bapak, sebab aku tidak mengerti apa maksudnya berucap seperti itu. Yang aku tahu, kabut-kabut itu akan selalu ada di pagi hari dan kabut itu membuat baju dan bajunya tampak sedikit basah.
Bapak mengendarai motor dengan kecepatan pelan, tidak sampai 40 km/jam. Ia begitu waspada dan berhati-hati dengan jalanan yang dipenuhi kabut.
Meskipun jalanan tak seramai beberapa waktu kemudian, tetapi tetap saja berbahaya, karena kabut selalu menutupi pandangan. Bisa saja, ada kendaraan muncul dari arah berlawanan. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ketika ada truk melaju ke arah kami. Keadaan seperti itu membuat jantung kami tak karuan. Kalau kata Bapak, tentunya dengan bahasanya sendiri, katanya deg-deg serrr.
Setelah kabut agak reda, Bapak mulai menarik kecepatan hingga kecepatan 40 km/jam. Ketika matahari mulai merangkak dan sinarnya terasa hangat kabut-kabut itu sirna. Aku melihat kereta api dan mendengar deru mesinnya dengan jelas, melintas dari arah timur menuju barat. Aku juga melihat kawanan burung kuntul sedang mencari makan di area persawahan dan parit.
Bapak tampak berkonsentrasi dan siap siaga menggenggam stang motor. Kemudian telepon genggam Bapak terlihat bergetar dari sakunya. Ia tak menghiraukan. Tetapi setelah berkali-kali, akhirnya Bapak pun berhenti di pinggir jalan untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Bapak pun mengisyaratkan bahwa ia tegang saat ia hendak membuka telepon genggamnya. Aku pun demikian. Entah mengapa, firasatku berkata ada sesuatu yang buruk.
Bapak turun dari motornya. Lalu menjauh dari gemuruh kendaraan yang melintas.
Setelah diangkat oleh Bapak, aku baru tahu kalau itu telepon dari ibu. Aku mencoba menguping dari jarak beberapa meter.
Suara Bapak lirih. Aku semakin tegang dan pemasaran. Apa yang terjadi? Gumamku.
“Jangan-jangan kambing bapak ada yang mati? Tapi masak gara-gara kambing wajah bapak tampak sedih seperti itu? Tidak, bapak orang yang tak terlalu memikirkan harta benda ke dalam hatinya. Pasti ada sesuatu yang lebih penting,” pikirku.
Aku menunggu beberapa menit. Bapak menghampiriku dengan wajah muram. Ada kesedihan yang mendalam, yang seolah-olah seperti meredam energinya.
“Ada apa, Pak?” tanyaku.
Untuk sesaat, ia tidak langsung menjawab, lalu menarik napas panjang dan menelan ludah.
“Tidak salah lagi, ini pasti ada kabar buruk,” ucapku dalam hati.
Sembari menunggu bapak menjawab, suara klakson dari tronton yang melintas memekakkan telingaku.
Bapak langsung menyuruhku untuk segera naik ke motor. Setelah kami melanjutkan perjalanan, bapak baru menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Gus Ali meninggalkan dunia pagi tadi sesudah kita berangkat,” jawab bapak.
Aku tersentak, seperti tidak percaya. Kabar kematian Gus Ali seolah-olah membuat tubuhku lemas seketika.
“Sakit apa Pak, perasaan tadi malam saat kita sowan ke rumahnya beliau sehat-sehat saja?”
“Begitulah umur manusia, tidak ada yang tahu. Maut senantiasa mengintai tanpa permisi.”
“Kasian ya Pak, anak-anaknya masih kecil-kecil. Pesantren beliau siapa yang ngurus? Padahal pesantren itu masih dalam proses perintisan.”
“Entahlah, kemungkinan pesantren beliau akan dititipkan ke Gus Solah sampai putra pertama Gus Ali dewasa.”
“Tapi apa mungkin bisa? Itu kan pesantren keluarga, kalau Gus Ali tidak ada, berarti Gus Solah yang berhak memimpin pesantren itu?”
“Tetapi hak waris tetap diberikan kepada putra dari Gus Ali. Soalnya Gus Ali pewaris yang sah. Sudahlah jangan bicara tentang hal itu. Kita tidak berhak memikirkan hal itu,” tukas ayah.
Selama aku belajar di madrasah tsanawiyah, aku sudah dibiasakan hidup di pesantren oleh bapak. Pesantren pertama yang aku jajaki adalah pesantren yang diasuh oleh Gus Ali. Setelah lulus dari madrasah tsanawiyah, aku pindah ke pesantren lain, tentunya dengan rekomendasi dari Gus Ali.
Kata Gus Ali beberapa hari yang lalu, “Besok kalau kamu sudah lulus dari pesantren, kamu boleh bantu mengajar di sini.” Hal itu juga disaksikan oleh Bapak.
Hubungan Gus Ali dengan bapak memang akrab. Mereka berdua pernah belajar satu pesantren di Kediri. Meskipun bapak hanya sebentar di pesantren, karena kakek sudah tua dan tak mampu bekerja lagi. Kemudian bapak pulang, untuk membantu nenek menjadi tulang punggung keluarga. Sedangkan Gus Ali bisa belajar sampai lulus di pesantren. Tapi bapak tidak berkecil hati. Ia berharap, aku bisa belajar lebih tinggi dari pada dirinya.
Ia pernah mengatakan padaku, “Kamu jangan seperti bapak. Bapak ini orang bodoh.” Kalau aku pikir-pikir apa yang salah dari bapak sehingga ia mengatakan seperti itu?
***
Tak lama berselang, kami sudah sampai ke gerbang pesantren. Bapak hanya mengantarkan aku ke depan gerbang. Sepertinya, ia sedang buru-buru, karena ia akan takziah.
Kata yang tak luput dari ucapannya adalah “belajar yang rajin, patuh pada kiai dan guru”.
“Bapak pulang dulu ya,” pamitnya. Aku mencium tangannya, lalu bergegas menuju asrama. Aku langsung mandi dan beristirahat. Sebelum mengikuti kegiatan pesantren aku mencoba untuk tidur sejenak setelah menempuh berjalan dari rumah ke pesantren.
***
Setelah bangun tidur, aku segera dipanggil ke kantor asrama, pamanku menelepon memakai nomor ibu. Aku mengangkatnya.
“Segera pulang ya Nak, bapakmu meninggal, karena kecelakaan tadi,” ucapnya sambil terisak.
Jantungku terasa sesak. Mataku memanas, tubuhku lemas seketika. Tanpa sadar, aku menjatuhkan telepon itu ke lantai.
Dahsyat,,,
Makasih Pak 🙏