Beberapa waktu lalu, penulis sempat melakukan perjalanan plus observasi dan wawancara kecil-kecilan ke beberapa pesantren sekaligus sowan kepada para pengasuhnya di sebagian daerah Madura, Jember, dan Situbondo. Selain itu, penulis juga ngobrol santai dengan para wali santri. Di sana, penulis melihat ternyata kehidupan para santri di pondok-pondok pesantren tersebut tidak jauh berbeda. Pemandangan yang penuh dengan kesederhanaan, aturan, sansi-sanksi dan pembatasan-pembatasan kerap mengiringi langkah mereka. Hal itu tentu bertujuan untuk mendidik kaum santri agar terbiasa hidup teratur dan penuh tanggung jawab.
Yang membuat penulis mengernyitkan dahi dan sedikit membelalakkan mata, yaitu karena adanya perbedaan mencolok antara santri dahulu (1990-an) dengan sekarang (2000-an). Contohnya dalam hal makan. Dulu pada era 1990-an akhir hingga 2010-an, mayoritas santri memasak sendiri makanan yang hendak dimakan, meski ada sebagian juga yang membeli di kantin atau membayar bulanan, yang dikenal dengan istilah “indekos”.
Perkara makan bukanlah hal yang sederhana bagi santri waktu itu. Dari mencuci beras secara antre, membeli lauk pauk sendiri ke pasar, yang tentu tidak mudah bagi santri putri untuk mendapatkan izin ke sana. Atau nitip ke para khadim dhalem yang hendak berbelanja ke luar. Jika tidak, maka biasanya kami para santri menunggu tukang jual ikan, sayur, dan lauk pauk lainnya yang waktunya tidak jelas kapan mereka datang dan pergi. Hingga kebiasaan merendam dan mengonsumsi mi instan dengan air mentah jika tidak ingin membeli air masak di kantin atau di dapur dhalem pengasuh.
Untuk tempat memasak para santri, pondok biasanya menyediakan dapur khusus santri. Kompor dengan menggunakan bahan bakar minyak tanah, hingga panci dan wajan merupakan bagian terpenting dalam memasak. Yang paling naas ketika beras sudah dicuci, panci sudah siap di atas kompor, dan korek api sudah siap dinyalakan, eh minyak tanah habis dan sumbu kompor mengering. Hal ini biasanya kelakuan santri yang tidak bertanggung jawab dan tanpa izin memakai seenaknya kompor temannya.
Alhasil, santri yang mengalami hal tersebut, termasuk penulis, harus sedikit menahan lapar dan emosi yang mulai membuncah. Menahan lapar dan emosi ternyata cukup menguras tenaga dan pikiran, sehingga mulut secara tidak sengaja mulai nyeracau tak terkendali, sambil mencari-cari dan menduga-duga santri yang mana yang telah tega melakukan hal yang demikian. Sebab terkadang pengisian minyak tanah ke dalam kompor baru dilakukan tidak kurang dari 2×24 jam. Maka oleh karenanya, kami yang mengalami hal tersebut terpaksa berutang minyak tanah dan mengganti sumbu kompor ke kantin, atau mengambil jatah untuk hal lain di dalam dompet.
Dalam hal masak memasak, penulis dan sebagian santri yang lain sering mengalami dilema dalam hal waktu. Jika memasak dilakukan di waktu pagi, tidak jarang jadwal kami terbentur dengan piket membersihkan dan membereskan kamar, belum lagi terkadang pula berbenturan dengan piket membersihkan kamar mandi atau toilet dan halaman pondok. Padahal di sisi lain kami juga harus mendaftar antrean mandi.
Selain itu, jam sekolah formal yang start pada pukul 07.00 WIB juga merupakan hal yang sangat urgen. Jika terlambat beberpa menit, terutama bagi guru yang “killer”, hukuman dan sanksi atau takzir siap menanti di depan mata.
Jika pada pagi hari kami para santri tidak sempat memasak, maka terpaksa kami masak pada siang hari sepulang sekolah, yakni kurang lebih jam 1.30 siang. Padahal jam untuk berjemaah salat zuhur sudah menanti. Maka pasti kami akan kalang kabut dibuatnya. Namun bukan santri namanya jika tidak mempunyai solusi jitu untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
Salah satu solusi andalan dan “absolut” yang kami gunakan yaitu biasanya ketika kami hendak berwudhu, maka sekaligus kami membawa kastol atau panci yang telah berisi beras untuk dicuci. Setelah berwudhu dan mencuci beras, dengan tergesa-gesa kami pun menuju dapur untuk meletakkan kastol berisi beras ke atas kompor tanpa menyalakannya, dan langsung menuju musala untuk mengikuti salat berjemaah.
Setelah selesai salat berjemaah, kami langsung melempar mukena dan sajadah ke atas lemari, dan sambil terbirit-birit kami pun menuju dapur dan siap menyalakan kompor. Beberapa menit atau jam kemudian, nasi dan lauk pauk siap disantap. Sambil menyanyi-nyanyi, namun juga tidak lupa berdoa kami pun makan dengan lahap dan penuh syukur.
Tantangan-tantangan dan kebiasaan-kebiasaan semacam itu ternyata berdampak positif pada kehidupan kami para santri saat pulang liburan ke rumah. Karena kami bisa membantu orang tua kami dan bahkan bisa menggantikan mereka memasak untuk sanak keluarga di dapur. Sehingga hal itu mengurangi beban pekerjaan mereka di rumah.
Berbeda dengan sekarang. Hingga tahun 2021 ini, beberapa atau kebanyakan pondok pesantren besar sekelas Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep, Madura, sudah tidak menyediakan dapur untuk para santri, khususnya santri putri. Alasannya beragam, mulai dari bertambah banyaknya santri yang mondok, sehingga dapur digusur dan diganti bangunan pondok bertingkat atau berlantai dua sampai tiga, hingga jadwal kegiatan para santri baik yang formal, nonformal, dan informal yang sangat padat, sehingga tidak ada waktu untuk memasak.
Oleh karenanya, mayoritas atau malah seluruh santri membeli di kantin-kantin pondok atau di kantin sekolah. Tidak ada lagi cerita tentang beras, kompor minyak, kastol atau panci, wajan dan minyak tanah. Para wali santri cukup mentransfer uang untuk memenuhi kebutuhan makan mereka. Jika dulu hal itu hanya berlaku untuk santri yang jauh, tetapi sekarang berlaku secara merata, baik bagi santri yang dekat maupun yang jauh tempat tinggalnya.
Demikian juga dalam hal mengunjungi santri. Dulu, para wali santri saat mengunjungi anaknya di pondok, biasanya membawa nasi ataupun makanan lainnya dalam jumlah yang cukup banyak, malah makanan tersebut sekiranya cukup untuk santri sekamar yang jumlahnya tidak kurang dari belasan. Hal itu sangat menggembirakan, karena kami bisa seharian tidak usah memasak di dapur.
Sedangkan sekarang, para wali santri cukup membawa sebungkus nasi untuk anaknya, atau dua-tiga bungkus untuk teman akrab putrinya. Karena menurut mereka percuma membawa nasi banyak karena masing-masing santri sudah mempunyai jatah sendiri-sendiri dari para orang tua mereka, atau mereka sudah mempunyai jadwal tersendiri untuk makan di kantin-kantin tertentu sesuai dengan selera mereka. Mereka juga bebas memilih menu, mulai dari kelas teri hingga kelas sate. Mulai dari nasi jagung hingga nasi rawon.
Dalam memasak mi instan pun, santri sekarang seakan-akan merasa eneg, bahkan sakit perut dan alergi jika menggunakan air mentah. Mereka cukup mengeluarkan uang receh untuk mendapatkan air masak atau sudah mendidih dari kantin. Sungguh hal mudah yang tidak semudah di alami santri dahulu.
Kemudahan-kemudahan santri “zaman now” ternyata tidak berbanding lurus dengan keluhan-keluhan para orang tua mereka. Para wali kerap merasa kesulitan saat anaknya, yakni si santri, khusunya santri putri saat pulang liburan ke rumah. Karena mereka tidak bisa membantu orang tuanya, khususnya ibunya memasak di dapur.
Ibunya kerap dibuat pusing dan dampaknya mereka bisa ribut karena anak putrinya tidak hafal atau malah tidak tahu nama-nama peralatan di dapur. Dan saat di suruh masak pun, si anak biasanya browshing di google atau menonton terlebih dahulu tutorial-tutorial cara memasak di channel Youtube. Sehingga acara makan bersama keluarga pun cukup memakan waktu yang agak lama.
Mantab, mengingatkan saya pada zaman “batu” (dulu) waktu masih di pondok. Beli? Boro-Boro!
makasih, engki kak toan. dampak positif dari perjuangan makan dulu baru kerasa sekarang.