Ramadan bagi masyarakat desa memberikan arti yang sangat luas. Pembawaannya cendrung ekspresif.
Ramadan di desa bukan hanya menuntaskan puasa selama tiga puluh hari plus tarawih, salat Ied, membuat aneka ragam kue, ziarah makam. Ramadan di desa juga terpancar pada kesadaran sosial dan ekologi; membersihkan rumah dari ruang tamu hingga pekarangan sekitar, tak luput juga makam leluhur. Dampaknya lingkungan rapih-bersih. Kerukunan melalui gotong royong sudah pasti terjalin.

Kosar (nyekar), misalnya, kegiatan yang sudah menjadi kultur di kehidupan masyarakat desa. Nyekar biasanya akan dilakukan sejak menjelang bulan Ramadan hingga menjelang hari raya. Budaya nyekar mendorong kesadaran ekologi terhadap warga untuk menciptakan lingkungan bersih. Itu artinya ke makam tidak cukup hanya berbekal munjiat atau Al-Qur’an saja. Tapi juga sapu lidi, cangkul, atau arit untuk bersih-bersih.
Tapi itu dulu. Sebelum masyarakat desa sibuk dengan tren yang sudah mulai menggeser cara lama dalam menyambut atau bahkan merayakan Ramadan. Sejak muncul tren ngabuburit, bagi bagi takjil, hingga bukber lambat-laun Ramadhan di desa banyak mengalami perubahan.
Sebagaimana ada yang mengklaim bahwa bagi-bagi takjil adalah salah satu cara menghidupkan sedekah di bulan Ramadan. Itu benar. Tidak salah. Tapi jangan lupa juga, bahwa cara lama masyarakat desa dalam menghidupkan sedekah di bulan Ramadan juga terjalin.
Misal, cara lama masyarakat menghidupkan sedekah yakni ketika tadarus sehabis tarawih. Sedekah dilakukan secara kolektif oleh warga dengan bergantian menyediakan konsumsi kopi maupun jajanan ringan di masjid atau musala. Nah, cara ini, selain menghidupkan sedekah, juga memakmurkan jamaah tadarus. Langkah yang tidak hanya efektif, tapi juga tepat sasaran. Tidak harus ke jalanan yang tidak jarang kadang hanya akan menggangu lalu-lintas.
Kesadaran ini yang kemudian menjadi langkah awal pemuda Dusun Salak, Kembang, Tlogosari, Bondowoso, Jawa Timur untuk memilih caranya sendiri dalam merayakan Ramadan. Segelintir pemuda desa ini kemudian memulai kegiatan untuk memperbaiki jalan penghubung desa serta mengupayakan penerangan di sepanjang jalan.
Sebagaimana diunggah pada akun tiktok @Salak.id pada: (27/03), dengan modal swadaya dan semangat, mereka memulai idenya. Disadari atau tidak, mereka sudah menghidupkan kembali budayanya.
Masih dengan konten yang sama. Dalam unggahan yang lain, akun dengan nama Mas Wakik, secara sederhana memberikan caption (ngabuburit berfaedah). Ia, sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam kegiatan itu menyebutkan bahwa: kegiatan ini akan terus dirawat, bukan hanya selama bulan Ramadan, tetapi juga di bulan dan tahun selanjutnya.
Cara masing-masing orang memang berbeda. Mengingat dampak (baik ataupun buruk) tidak akan terjadi di awal, maka kecerobohan dalam mengarifi cara itu sendiri yang harus dihindari.
Tulisan ini bukan untuk melemahkan cara orang lain yang lebih gemar ngabuburit atau bagi bagi takjil di jalanan. Tidak. Melainkan, hanya untuk mengapresiasi cara yang telah dipilih oleh segelintir pemuda dari ujung timur Kabupaten Bondowoso ini. Itu saja.