Pada akhirnya, pandemi virus Corona merenggut banyak nyawa di Indonesia, setelah sebelumnya menjangkit di ratusan pasien pengidapnya. Lalu, bagaimana dengan prosesi pemandian jenazah korban Covid-19 yang beragama Islam? Apakah sama dengan proses pengurusan jenazah muslim pada umumnya? Mengingat, bahaya dan risiko yang ditanggung oleh petugas yang mengurus jenazah pasien Covid-19.
Baru-baru ini, Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nadhatul Ulama (LBM PBNU) merilis ketentuan pemulasaran jenazah pasien Covid-19 dari sudut pandang fikih, untuk selanjutnya bisa menjadi pedoman pemulasaran jenazah di kalangan medis dan masyarakat pada umumnya. Berikut beberapa poin dari bahtsul masail tersebut.
Ditegaskan bahwa Covid 19 merupakan wabah (tho’un), dan karena itu orang yang meninggal karena Covid-19 statusnya adalah syahid fil akhiroh, mati syahid. Dasarnya, mati syahid tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang maju di medan perang, namun juga mereka yang mati karena wabah penyakit.
Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan, “Rasulullah bertanya kepada sahabatnya, siapa yang mati syahid di antara kalian? Lalu para sahabat menjawab, ‘orang yang gugur di medan perang wahai Rasulullah.’ Rasululllah kemudian bersabda, ‘Kalau begitu, sedikit sekali umatku yang mati syahid?’ Para sahabat bertanya, ‘Lalu mereka itu siapa, ya Rasul?’ Rasul menjawab, ‘Orang yang gugur di medan perang itu syahid, orang yang mati di jalan Allah itu syahid, orang yang tertimpa tho’un (wabah) juga syahid, orang yang sakit perut juga syahid, orang yang tenggelam juga syahid.” (HR Muslim).
Dengan demikian, jenazah pasien Covid-19 muslim memiliki kedudukan dan perlakuan yang sama dengan jenazah muslim pada umumnya. Wajib dimandikan, dikafani, disholati, dan dimakamkan. Berdasarkan keterangan kitab Majmu’ syarah al Muhadzab berikut:
“Memandikan mayit adalah fardhu kifayah secara ijma’. Makna fardhu kifayah adalah apabila kewajiban sudah dilakukan oleh orang/kelompok yang dianggap mencukupi, maka gugurlah tanggungan yang lain. Dan apabila tidak ada sama sekali yang melakukan, maka semuanya berdosa. Ketahulilah, sesungguhnya memandikan mayit, mengkafaninya, menshalatinya adalah fardhu kifayah, tanpa khilaf (Al Majmu Syarah Al-Muhadzab, juz 5, hal 128).
Berdasarkan konteks kekinian, maka cara memandikan jenazah pasien Covid-19 harus dengan peralatan yang bisa mencegah penularan penyakit tersebut, petugas yang profesional, dan benar-benar dipastikan perlindungan dan keamanannya agar tidak tertular virus dari jenazah. Setelah dimandikan, jenazah dikafani dan dibungkus plastik yang digunakan untuk mencegah penularan virus. Lebih rincinya sebagai berikut:
Jika menurut ahli denghan standar tersebut masih membahayakan bagi petugas yang memandikan, maka boleh dimandikan dengan cara menuangkan air saja ke badan jenazah, tanpa dalku (menggosok) sebagaimana dijelaskan dalam kitab al Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah. “Adapun jika ‘tidak dikhawatirkan’ rontok bila sekadar dituangi air, maka tidak boleh ditayamumi, namun tetap dituangi air meski tanpa digosok.” (Abdurrahman al Juzairi, al Fiqh alal Madzahibil Arba’ah, jilid 1, hal 476).
Namun, jika tidak bisa dilakukan juga, boleh dimandikan dan diganti dengan ditayammumkan.
“Dan tayammum dapat menggantikan memandikan mayit karena tidak ada air, atau karena tidak dimungkinkan dimandikan, semisal orang mati tenggelam dan dikhawatirkan tubuhnya akan rontok apabila dengan digosok atau atau dituangi air tanpa digosok.”
Dan apabila tidak juga dapat dilakukan dengan tayammum karena kondisi darurat, maka boleh langsung dikafani dan disholati, tanpa dimandikan atau ditayammumkan. Ini untuk mengambil langkah kemudahan (al masyaqqoh tajlibut taisir).
Yang harus dicatat, untuk protokol atau teknis mengkafani jenazah pasien Covid-19 harus dilakukan secara ekstra dan pemakamannya harus mengikuti arahan para ahli medis. Hal ini
dirumuskan oleh tim Bahtsul Masail PBNU yang di antaranya KH Afifudin Muhajir, KH Ahmad Ishomuddin, KH Miftah Faqih, KH Solahudin Alayubi, KH Abdul Ghofur Maemun, KH Afifudin Dimyathi, dan diketuai oleh KH M Najib Hassan.