Beginilah Militansi Santri Bermedia

136 views

Normalnya, warga Jabodetabek menyambut pergantian tahun dengan liburan, entah ke Puncak yang memang menjadi favorit, Kepualauan Seribu, Pegunungan Dieng, sampai Tawangmangu. Atau, yang bujetnya lebih, malah ke luar negeri.

Namun nampaknya saya “tidak normal” karena lebih memilih menghadiri festival dan halakoh Media Pondok Jatim (MPJ) yang digelar pada 25-27 Desember 2024. Saya jauh-jauh berangkat dari Bekasi menuju Pondok Pesantren Bustanul Muta’alimin Kota Blitar, Jawa Timur, yang menjadi tuan rumah bersama Pesantren Al-Muhsin.

Advertisements

Ternyata, sesampainya di lokasi tidak hanya saya yang “tidak normal”. Di sana sudah hadir ratusan insan media di bawah naungan pondok pesantren se-Jawa Timur. Perwakilan dari pesantren besar banyak yang hadir. Ada Pak Alil, Kepala Media Pondok Sidogiri, Mas Haqin dari Media Langitan, Gus Baba dari MHI Jember, Ning Aniq dari Pesantren Manbaul Hikam Sidoarjo, dan masih banyak lagi. Saya sendiri mewakili Pondok Pesantren Lirboyo Al-Mahrusiyah.

Data terbaru, pondok pesantren yang sudah berafiliasi dengan MPJ ada 500 lebih. Tak heran acaranya begitu ramai. Mereka berkumpul selama tiga hari dalam rangka silaturahmi, menjalin relasi, dan tentu tholabul ilmi.

Malam Hari di tanggal 25, bertempat di Aula Pesantren Al-Muhsin, KH Muchtar Lubby, Pengasuh Pesantren Bustanul Muta’alimin, membuka acara. Turut hadir Wali Kota Blitar Santoso, Ketua MPJ Pertama Tajudin Zahro’u dari Pondok Gasek, dan Ketua MPJ yang sekarang, Zainul Arifin dari Pesantren Bakid Lumajang.

Potret koordinasi panitia menjamin kelancaran acara

Setelah itu, saya yang didapuk untuk memandu halakah , membeberkan beberapa tema yang akan dibahas, di antaranya terbagi dalam tiga komisi, yaitu Komisi Organisasi yang mengevaluasi kinerja MPJ tahun 2024, Komisi Tematik yang membahas pembulian di pesantren, dan Komisi Konten yang mengangkat tokoh-tokoh potensi viral di pesantren.

Namun, yang menjadi sisi paling menarik bagi saya di acara ini bukan tentang tema halakahnya. Pesantren mana yang menjadi pemenang lomba, atau hadirnya nara sumber baik itu Oki Arisandy, Cak Ahmad Kafa, Ning Sheila, bahkan bintang tamu Alfi Nindya bukanlah menjadi hal utama yang membikin saya excited. Melainkan, militansi dan pengorbanan peserta yang semuanya masih santri inilah yang membikin saya berdecak kagum sekaligus melebur lelah perjalanan panjang Jakarta-Blitar.

Ekpresi Peserta di Malam Puncak MPJ Fest nendengarkan Lantunan Alfi Nindiya

Bayangkan, ratusan santri yang berkhidmat di bidang media ini rela meninggalkan ngaji sejenak, izin musyawarah barang sebentar, demi meng-upgrade kualitas dan menciptakan sinergitas sesama khodim media pondok se-Jawa Timur. Hal yang membikin saya terharu lagi adalah pengorbanan ini tidak sekadar moril, tetapi materiil, alias dana. Ya, mereka ini sebagai delegasi dari pondoknya, namun masing-masing harus mengeluarkan uang pribadi.Tidak dikasih uang saku dari pesantren, apalagi sponsor.

Seperti pengakuan Mbak Fatma dari Pesantren Al Fattah Kikil, Pacitan. Untuk berangkat satu mobil dia dipatok membayar Rp 350 ribu, ditambah untuk daftar untuk ikut acaranya Rp 150 ribu. Itu belum lagi jajannya. Tapi, Mbak Fatma tidak ada keberatan sama sekali.

“Emang udah seneng saja dari dulu sama MPJ, terus bakal ketemu teman-teman dari ponpes lain, yang jelas pemateri-pematerinya, kayak remen mawon nderek kegiatan MPJ ini,” ujar Mbak Melly yang sudah ketiga kali ini ikut MPJ Fest.

Belum lagi yang dari pojok Bojonegoro, Madura, tau Banyuwangi yang tentu harus mengeluarkan duit yang lebih banyak. Itu untuk peserta. Panitia malah memiliki beban tugas dan pikiran jelas lebih banyak lagi. Misal, Mas Haqin dari Pesantren Langitan. Ia harus berangkat H-2. Saya sendiri sebelum bertolak ke Blitar, transit dulu di Madiun, ke rumahnya Pak Tajhudin Zahro’u. Setelah itu kami berangkat bersama, dan ternyata Ketua MOJ pertama ini mengajak istri bersama dua anaknya ke acara ini.

Saya kembali tercengang ketika mendapati 10 pemuda dari Media Pondok Lampung (MPL) turut hadir di tahunan MPJ ini. Ya, seperti peserta lain, mereka memakai uang pribadi. Ongkosnya mencapai Rp 2 juta per orang. Namun, Mas Tandhes yang berhasil kami hubungi merasa hal itu bukanlah pengorbanan.

“Ya berkhidmah dan bermilitan adalah bentuk pecahan dari mahabbah kepada guru. Menurut kami, kalau ditanya pengorbanan kita bukan korban. Mungkin lebih tepatnya mahabbah pada masyayikh kita. Intinya semangat kami sampai saat ini adalah bentuk khidmah dan militan,” jelas Mas Tandhes yang sudah dua kali ikut MPJ Fest.

Pergerakan MPJ ini sepintas mengingatkan saya pada Komite Hijaz yang diarungi KH Wahab Hasbullah dan Syekh Ghonaim al-Misri. Secara harakah dan fikrah, Komite Hijaz dan MPJ ini mirip. Ketika Kiai Wahab dan Syekh Ghonaim pada 1926 jauh-jauh ke negeri Arab, demi sebuah misi menegakkan ajaran Aswaja, mengorbankan segala-galanya. Bahkan beliau tidak berkenan dibiayai dan menggunakan uang pribadi dalam perjalanan berbulan-bulan itu, yang kemudian pulang ke Nusantara membawa kabar baik dan berdirilah Nahdlatul Ulama (NU).

Dalam porsi yang lebih kecil, khodim MPJ ini melakukan hal yang sama, sama-sama mandiri, berswadaya, menegakkan ajaran Aswaha via media. Lalu untuk tahun ini pulang membawa oleh-oleh baru berupa seruan untuk menolak bullying dan ilmu yang diperoleh dari para pemateri.

Apabila dilihat dari jumlah peserta MPJ Fest yang terus meningkat dari penyelenggaraan pertamanya pada 2021 di Pesantren Mahika Sidoarjo, bisa dikatakan milintansi MPJ terus menyala. Rentetan acara tiga hari itu ditutup dengan penampilan Alfi Nindya. Selanjutnya, Regional Jember akan menjadi tuan rumah dalam MPJ Fest 2025 mendatang.

Untuk diketahui, MPJ berdiri sejak 2020 di Malang. MPJ merupakan wadah para admin dan konten kreator media pondok se-Jawa Timur. Tidak menutup kemungkinan ke depan MPJ akan mengepakkan sayapnya menjadi Media Pondok Nusantara, dengan menggelorakan milintansi dalam berkhidmah.

Sekian, wallahu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan