Belajar Bahagia dari Tasawuf Kekinian

100 views

Meraih bahagia adalah dambaan setiap insan, baik yang miskin atau yang kaya. Sehingga tidak jarang dalam meraih kebahagiaan manusia rela mengorbankan jiwa, raga, atau keluarga. Padahal bahagia ada di dalam diri kita, dekat dengan kita.

Sebagian orang mengira bahwa bahagia hanya bisa diraih dengan harta yang berlimpah. Padahal, banyak orang dengan harga melimpah justru tak bahagia. Setidaknya itulah yang tergambar dari sebagian dari isi buku Tasawuf Modern karya Prof Dr Hamka ini.

Advertisements

Orang fakir mengatakan bahagia pada kekayaan, orang sakit mengatakan bahagia pada kesehatan, orang yang telah terjerumus ke lembah dosa mengatakan bahwa terhenti dari dosa itulah kebahagiaan, seorang rindu atau bercinta hasil maksudnya itulah bahagia, seorang jurnalis merasa bahagia jika surat kabarnya dan timbangan redaksinya dipahami orang.

Begitu penggalan kalimat ulama dengan nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah ini saat mengawali tulisannya tentang bahagia yang didambakan manusia sepanjang zaman.

Membaca buku ini membuat kita akan termangu sejenak saat menyelesaikan satu alinea, sebelum pindah ke alinea berikutnya, untuk menerka apa maksud Buya Hamka dalam tulisannya itu. Mengingat, bahasanya yang sangat filosofis dan estetis. Filosofis, karena latar belakang Buya Hamka yang seorang intelektual muslim berwawasan luas dan menyukai filsafat. Estetis, karena ia merupakan seorang satrawan terkemuka yang beberapa karya sastranya sangat populer dari masa ke masa.

Namun begitu, konsep bahagia menurut beberapa filosof Barat ada yang diterima oleh Hamka karena sesuai dengan konsep Islam. Akan tetapi, Hamka lebih banyak mengesampingkan konsep para filosof Barat tersebut karena pendapatnya tidak kuat, skeptis, dan tidak bisa di terima akal sehat. Seperti filsafat Aristoteles, Hendrik Ibsen, Thomas Hardy, Tolstoy, Bertrand Russel, dan dan George Bernand Shaw.

Derajat bahagia manusia, menurut Hamka, harus sesuai dengan derajat akal, karena akallah yang membedakan antara baik dengan buruk. Akal juga yang dapat menerangkan segala pekerjaan, menyelidiki hakikat dan kejadian segala sesuatu yang dituju dalam perjalanan hidup ini.

Apabila bertambah sempurna, indah dan murni akal, maka bertambah pulalah derajat bahagia yang kita capai. Bertambah luasnya akal dan hidup, maka bertambah datanglah bahagia. Bertambah sempit akal dan hidup, maka bertambah datanglah celaka.

Pendapat ini disandarkan Sabda Nabi yang artinya,“Allah telah membagi akal kepada tiga bagian; siapa yang cukup mempunyai ketiga bagiannya, sempurnalah akalnya; kalau kurang sebagian, tidaklah ia terhitung orang yang berakal.”

Menurut Hamka, puncak bahagia adalah makrifat (kenal kepada Allah), karena tidak ada lagi hidup yang lebih tinggi dari makrifat. Dan untuk mencapai makrifat, manusia harus menempuh suatu perjalanan spiritual yang tidak jarang penuh dengan duri dan kesusahan. Namun sesuatu perjuangan atau perjalanan akan terasa nikmat jika bisa menghalau duri dan kesusahan itu yang menjadi rintangan.

Jalan bahagia itu tidak lain adalah agama. Di sini agama bukan berarti melarang orang memperluas pikirannya, karena agamalah yang membukakan pikiran, menyuruh menjalankan akal, dan pendapat dalam segala perkara. Agama itu meliputi itikad yang bersih, yakin, dan iman. Tiga hal tersebut mempunyai definisi secara berbeda-beda.

Selanjutnya, Hamka menjelaskan bahwa untuk meraih bahagia adalah dengan ikhlas, rida, qanaah, sabar, tawakal, sehat jiwa dan badan, serta mengelola syahwat dan nafsu secara moderat. Selain itu, manusia harus menjauhi perkara-perkara yang merusak akal yang berlanjut pada rusaknya agama, seperti ujub (berbangga diri), sombong, suka bertengkar, dendam, ingkar janji, dan takut mati. Satu per satu hal tersebut dijelaskan secara gamblang dalam buku ini.

Meski buku ini diberi judul Tasawuf Modern, namun Hamka tidak terlalu banyak menguraikan tentang konsep tasawuf seperti halnya yang terdapat dalam buku-buku tasawuf lainnya. Dan meski ditulis pada tahun 1930-an, nyatanya buku ini sangat relevan untuk segala zaman. Terbukti bahwa buku ini telah mengalami belasan kali cetak yang selalu best seller, seperti buku cetakan ke-13 yang diterbitkan pada Juli 2021 ini.

Kehidupan sufi dan konsep tasawuf yang identik dengan sikap menjauhi dan membenci dunia dan hal-hal yang bersifat material karena mengedepankan akhirat, seperti bertapa dan beribadah ritual terus menerus, membuang nafsu syahwat dan mencintai kefakiran, tidaklah dibenarkan menurut Hamda.

Dalam pandangan Hamka, Islam menyuruh umatnya bekerja dengan sungguh-sungguh (ijtihad), dengan menyerahkan hasilnya kepada Allah. Karena dengan bekerja, manusia bisa memperoleh harta yang bisa digunakan untuk beramal saleh, menafkahi dirinya dan juga anak istrinya. Nabi pun selain rajin beribadah, juga tekun bekerja, menikah, dan bergaul bersama manusia lainnya.

Namun, jika manusia harus bekerja, maka hendaknya sekadar untuk memenuhi kebutuhannya saja dan jangan sampai berlebihan sehingga melupakan Allah. Jika pun dalam bekerja menjadikannya kaya raya, maka hendaklah ia hidup secara sederhana dan jangan berlomba-lomba untuk bermegah-megahan. Dan jika hasil bekerjanya sedikit, sehingga ia tetap miskin, maka ingatlah bahwa orang miskin akan ringan timbangannya nanti di akhirat.

Hidup secara sederhana meski bergelimang harta telah dicontohkan oleh Nabi dan beberapa sahabatnya. Karena harta yang mereka miliki lebih banyak digunakan untuk kepentingan agama Islam, sehingga tidak jarang mereka hanya makan sedikit dan berhenti sebelum kenyang seperti diajarkan Rasul. Karena kaya menurut mereka ini bukanlah terletak pda harta yang berlimpah, tetapi pada kekayaan hati.

Sayyidina Umar ketika ditanya mengapa jahitan tambalan bajunya pendek dan tidak panjang, memberikan jawaban mengejutkan: bahwa bagaimana dia menjahit dengan jahitan yang panjang, karena belum tentu umurnya lebih panjang dari jahitannya itu.

Tasawuf modern menurut Hamka seharusnya menjadikan manusia bersikap moderat (pertengahan). Karena hanya dengan sikap inilah manusia akan meraih bahagia yang sesungguhnya.

Sebagaimana sabda Nabi yang artinya, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.”

Data buku

Buku                : Tasawuf Modern
Penulis             : Prof Dr HAMKA
Penerbit          : Republika Penerbit
Tebal               : 377
Cetakan           : (Cetakan XIII) Juli 2021
ISBN                 :978-602-8997-98-0

Multi-Page