Pepatah bilang, hidup ini seperti roda yang terus berputar. Orang Jawa menyebutnya cakra manggilingan. Orang yang bisa “menghayati” hidup adalah yang sadar bahwa dirinya bagian dari gerak roda itu. Orang yang statis adalah zombi, mati dalam hidup.
Dalam Islam, yang seperti itu disebut jahiliyah. Segala sesuatu yang mendorong dan melanggengkan kejahiliyahan, dalam Islam hukumnya jelas: haram mutlak. Sebab itu, belajar adalah kewajiban mutlak. Sebab, ilmu adalah cahaya. Dan, cahaya memperluas cakrawala. Jika cakrawala adalah aspek suasana, cakra manggilingan adalah yang kita sadari dan kita rasakan.
Kekufuran yang pertama, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an, disematkan pada sosok Iblis, bukan karena tidak percaya ketuhanan Allah, tapi karena menolak mengakui proses pembelajaran Adam. Padahal Adam sudah melalui proses belajar, alias mendapatkan ilmu dari Allah. Para malaikat mengakui itu, sehingga bersedia sujud menghormat pada Adam. Sementara Iblis masih membanggakan “bahan dasar” penciptaan, yakni api yang ia anggap lebih daripada tanah.
Kesombongan memang ibarat api, jika tak ada lagi yang bisa dimakan, ia akan memakan habis dirinya sendiri.
Bagaimana cakrawala itu meluas? Saya akan menukil dua kisah Nabi Musa yang populer dikisahkan di kalangan pesantren.
Bayi Musa Memakan Bara
Suatu hari, Raja Firaun yang menggendong bayi terkejut saat jenggotnya dijambak. Sontak, ia melepas gendongannya, mengambil pedang dan hendak membunuhnya. Firaun punya firasat, bayi itu kelak akan menentang kuasanya. Apalagi ia bayi yang tak jelas asal-usulnya. Siapa tahu bayi itu adalah bayi Israel yang diramalkan ahli nujum tempo hari.
Firaun memang sempat bermimpi buruk, yang oleh ahli nujumnya diramalkan telah terlahir seorang bayi dari kalangan bani Israel, bangsa yang ia perbudak, yang bakal menghancurkan kekuasaannya. Suatu ramalan yang membuat Firaun gelap mata, menitahkan bala pasukan untuk mengeksekusi setiap bayi laki-laki yang baru lahir dari rahim orang Israel.
Musa adalah bayi yang terlahir zaman itu, yang demi keselamatannya oleh sang ibu harus dihanyutkan di sungai Nil. Ndilalah, bayi itu ditemukan oleh salah satu istri Firaun sendiri, yang kemudian diadopsi. Bayi yang diburu Firaun karena bakal meruntuhkan kekuasaannya adalah bayi yang ternyata dipelihara di keratonnya sendiri.
Maka insiden menjambak jenggot, bagi Firaun adalah persoalan serius. “Bayi itu harus dipenggal. Sekarang ia menjambak jenggotku, besuk bakal merobohkan singgasanaku,” begitu kira-kira gambaran ekspresi Firaun.
Tapi istri Firaun melindungi bayi itu, mengatakan bahwa ia hanya bayi, yang masih bodoh dan lemah. Namun Firaun belum puas dengan penjelasan itu. Hingga disuruhlah pembantunya menyiapkan bara dan roti. Keduanya disodorkan pada bayi itu.
Bayi Musa yang cerdas tentu saja hendak memilih roti. Tapi Jibril AS menampik tangan mungil Musa, dan memegangkannya pada bara, memaksa mengambil dan memasukkan ke mulutnya hingga kepanasan. Tentu saja bayi itu menjerit kesakitan. Namun kejadian itu membuat Firaun puas, bahwa itu bayi bodoh dan konyol saja. Sementara nyawa Musa berhasil diselamatkan.
Jika kesadaran Musa sudah dewasa, mungkin sejak awal akan langsung memilih bara. Namun cakrawala Musa masih sempit karena masih bayi sehingga lebih memilih roti. Padahal memilih roti bakal membuat dirinya mati.
Melubangi Perahu si Miskin
Dalam perjalanan hidup ketika menjalani tugas kerasulan, berlangsunglah kisah yang serupa dengan masa bayinya. Namun, kali ini subjeknya digeser.
Ini berlangsung dalam perjumpaan Musa dengan lelaki misterius, di mana Musa yang merasa paling pandai oleh Tuhan disuruh belajar darinya. Hal itu terekam dalam Surat Al-Kahfi ayat 60-82. Lelaki misterius itu oleh banyak penafsir disebut Khidir, sosok Nabi yang diyakini baru bakal wafat saat kiamat.
Dalam perjumpaan pertama, Khidir mengajukan syarat pada Musa agar tidak mempertanyakan apa yang ia lakukan, dengan batasan tiga kali. Lewat tiga kali, Musa harus berpisah dengan gurunya. Dan Musa menyanggupinya.
Dalam perjalanan, tibalah mereka pada sebuah sungai yang hendak diseberangi. Khidir dan Musa akhirnya memakai satu perahu untuk menyeberanginya.
Di tengah jalan, maksudnya di tengah sungai, tiba-tiba Khidir melubangi perahu itu. Tentu saja Musa protes. Protes yang sangat wajar. Protes yang setidaknya didasari dua hal, pertama, tindakan Khidir jelas membahayakan diri. Kedua, itu perahu bukan haknya, tapi milik orang lain. Merusak milik orang lain adalah kezaliman. Dan bukankah Musa bertugas membebaskan Bani Israel dari kezaliman Firaun?
Namun Khidir tidak menjelaskan alasannya, melainkan memperingatkan Musa atas perjanjian sebelumnya, di mana Musa dilarang mempertanyakan. Meski di akhir cerita, pembaca diberi tahu bahwa perahu itu milik seorang yang miskin. Sementara di ujung sana sudah ada perompak yang siap menjarah perahu-perahu yang ada. Dengan melubanginya, perahu itu justru akan selamat dari jarahan.
Musibah atau Anugerah?
Sebagaimana cerita Musa yang memakan bara, apakah perahu yang dilubangi itu musibah atau anugerah bagi pemiliknya?
Seperti Musa yang menangis kencang kesakitan ketika memakan bara, kadang suatu peristiwa menyakitkan menimpa kita. Kita menjerit, dan terkadang protes atas takdir.
Tapi, lewat kisah itu, Tuhan seperti memberi pelajaran, bahwa terkadang apa yang menyakitkan dan karenanya kita tidak menyukainya adalah yang terbaik, sementara apa yang kita sukai justru menjerumuskan. Rasa suka memang sering tak seiring dengan kebaikan itu sendiri.
Sebagaimana Musa bayi yang mau memilih roti, tapi justru jalan yang selamat adalah memilih bara. Bayi Musa tak jadi dipenggal oleh Firaun. Begitu juga halnya Nabi Musa yang melihat “kezaliman” Khidir yang melubangi perahu si miskin, yang ternyata adalah menyelamatkan.
Jika kita atau saya adalah Musa, pasti juga akan protes. Padahal rupanya hanya soal wawasan saya belum meluas, tapi terburu menghakimi.
Bukankah memang kodrat kita untuk tak mungkin berwasasan luas dalam hal apapun sehingga belajar adalah wajib sepanjang hayat? Saya pikir Nabi Musa juga manusia, yang dalam kisah itu adalah sosok yang tak berhenti belajar. Bahkan pada “orang aneh” yang maqamnya mungkin masih di bawahnya.
Kita memang manusia, dengan jenis perjalanan unik masing-masing. Dalam melihat kenyataan dan berkaca pada teks, kita sering melupakan diri kita dengan aneka pengalaman yang membentuk kita, membentuk asumsi dasar kita.
Nabi Musa yang terbiasa melihat penguasa yang zalim dan bertugas membebaskan masyarakat dari kezaliman, ketika melihat perahu si miskin dilubangi gurunya, pasti emosional. Maka ia tak kuat untuk segera memprotes. Baru ketika satu lapis kenyataan tersibak, Musa menyadari bahwa dirinya harus lebih hati-hati.
Tipuan iblis sering berlapis. Kenyataan juga bukan sesuatu yang statis. Baik kenyataan luar, atau kenyataan diri kita sendiri. Sikap “berjarak” atau “menangguhkan” terlebih dahulu untuk bersikap atas berbagai hal yang belum benar-benar kita pahami adalah sikap yang tepat.
Raden Ngabehi Ranggawarsita berwasiat agar kita eling lan waspada. Eling atas apa tujuan utama kita, waspada atas segala situasi yang kita lalui, yang tak jarang begitu canggihnya membelokkan kita dari tujuan utama itu.