Belajar dari Kearifan Wali Songo

114 kali dibaca

Islam bukan merupakan agama tertua di Indonesia. Sebelum Islam merambah wilayah Nusantara, agama Hindu dan Budha sudah terlebih dahulu membersamai kehidupan dan kebudayaan masyarakat Indonesia.

Menilik sejarah, agama Hindu masuk ke Indonesia pada tahun 11 SM dari India. Hal ini bisa dilihat dari artefak peninggalan kerajaan bercorak Hindu di Indonesia. Prasasti, candi, arsitek, catatan sejarah, dan lainnya bisa dilihat dari umur artefak tersebut. Kemudian masuk agama Budha yang secara sekilas memiliki kemiripan.
Kepercayaan dan budaya makin kental di masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.

Advertisements

Namun, seiring berjalannya waktu, kerajaan Hindu-Budha mengalami kemunduran dan perannya digantikan Islam yang ajarannya disebarkan Wali Songo terutama di wilayah Jawa. Gresik menjadi awal mula penyebaran agama Islam oleh Wali Songo di Jawa. Abad ke-15 dan ke-16 menjadi masa penyebaran Islam di Jawa.

Wali-wali di Jawa tidak hidup dalam satu masa, melainkan bertahap. Ada beberapa wali yang merupakan murid atau anak dari wali lainnya. Wali-wali tersebut memiliki wilayah penyebaran tersendiri dengan karakteristik dan kekhasan dakwahnya.

Pesisir utara Jawa menjadi tempat dakwah yang dipilih. Menurut beberapa sumber, daerah tersebut cukup strategis karena merupakan jalur perdagangan yang cukup terkenal dan besar. Adanya pelabuhan besar seperti Pelabuhan Gresik dan Tuban memudahkan transportasi yang menghubungkan wilayah di dalam negeri maupun luar negeri seperti Gujarat.

Selain itu, di jalur perdagangan terdapat keragaman masyarakat yang berkumpul seperti pedagang, nelayan, dan penduduk urban. Keragamanan ini mendorong penyebaran Islam lebih mudah sampai pada banyak lapisan masyarakat di Jawa.

Karakteristik gelombang di laut selatan dan utara Jawa juga saling bertolak. Di laut selatan gelombang lebih ganas dan sehingga tidak dilalui secara lansung oleh pedagang.

Wilayah Jawa yang sudah lama dibesarkan oleh kepercayaan Hindu Budha setelah animisme dan dimanisme cukup menantang dalam penyebaran Islam yang memiliki karakter lemah lembut. Untuk mengakalinya, Wali Songo memodifikasi dan perlahan menghilangkan budaya yang tidak dibenarkan dalam Islam. Akulturasi budaya diambil untuk menengahi antara kelemahlembutan Islam dan kepercayaan sebelumnya.

Artefak dari peninggalan Islam baik dari kerajaan Islam maupun peranan Wali Songo masih kental dengan budaya sebelumnya. Hal paling jelas adalah arsitektur Masjid Demak. Menara yang dibuat menyerupai candi Hindu-Budha. Bata merah tanpa semen disusun menyerupai cara penyusunan candi Hindu-Budha di Jawa sebagai penghormatan pada budaya sebelumnya. Selain itu, hal tersebut menjadi strategti yang digunakan dalam mengislamkan masyarakat.

Misalnya, menara masjid dibangun di tempat yang paling tinggi untuk azan. Hal ini seperti dalam kepercayaan sebelumnya bahwa tempat paling suci berada di paling atas. Namun, dalam Islam diletakkan di atas dengan tujuan agar memiliki jangkauan yang lebih jauh. Adanya kubah pada atas Masjid al-Aqsa Kudus menjadi ciri bangunan Islam.

Selain itu, wayang juga digunakan sebagai metode dakwah Sunan Kalijaga. Pewayangan pada awalnya merupakan cara menyampaikan pesan pada masa Hindu-Budha. Hal ini bisa dilihat pada naskah asli Mahabharata dan Ramayana. Namun, oleh Sunan Kalijaga tokoh tersebut diislamisasi untuk menyebarkan nilai-nilai Islam pada masyarakat.

Adapula tradisi seperti grebek sura, syawalan, maulidan, sedekah laut, dan sedekah bumi yang merupakan budaya Jawa yang awalnya sebagai pemujaan pada dewa-dewa. Namun, setelah Islam masuk, maknanya diislamisasi sebagai wujud syukur pada Allah SWT.

Dalam tradisi tersebut, pada makna gunungan juga diislamisasi menjadi simbol kemakmuran dan perlindungan.

Tradisi lain di daerah Kudus, yakni tidak boleh menyembelih atau berkurban sapi. Hal ini sebagai penghormatan bagi kepercayaan agama Hindu-Budha akan kesakralan sapi dan masih terbawa sampai saat ini.

Falsafah Jawa yakni “manunggaling kawula gusti“ juga memiliki kemiripan dengan ketauhidan Islam. Menggunakan analogi tersebut memberikan penguatan akan ketauhidan pada Allah SWT bagi masyrakat Jawa.

Berdasarkan contoh-contoh tersebut, pada intinya, Wali Songo bisa menjadi teladan bagi umat Islam di Jawa dalam berbagai segi kehidupan. Keluwesan pada kebudayaan dan tradisi asli masyarakat dengan halus diislamisasi. Tradisi, ajaran, kepercayaan, dan artefak digunakan sebagai media untuk memberikan pemahaman dan dakwah liwes dan tidak kaku untuk dengan memaksakan ajaran Islam diterima dengan segera. Namun, perlahan dengan memperkenalkan melalui kebiasaan dan diluruskan sesuai dengan perspektif Islam.

Hal ini secara tidak langsung mendorong masyarakat untuk memeluk Islam secara bertahap. Tidak tiba-tiba dan serta merta, seperti “sekarang ini salah, harusnya itu. Itu haram, tak boleh ini.”

Namun, yang ditanamkan Wali Songo adalah pergeseran makna yang terkandung dalam tradisi, artefak, dan budaya. Hal ini juga sudah diajarkan langsung oleh Allah SWT dalam hal larangan meminum arak bagi bangsa Arab. Yang mana tradisi meminum arak perlahan dikurangi dan kemudian baru diharamkan. Dengan alasan logis dan melihat kebermanfaatan bagi diri sendiri dan orang di sekitarnya.

Mungkin, para Wali Songo menjadikan peristiwa tersebut sebagai kiblat dalam mengislamkan masyarakat Jawa. Sebab, Wali Songo memiliki kesadaran diri yang tinggi, manajemen diri, kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, kesadaran sosial, dan kecerdasan spiritual yang tinggi.

Saat ini, kearifan Wali Songo masih sangat relevan untuk diteladani. Di mana untuk mengubah kebiasaan yang kurang baik perlu dilakukan secara perlahan atau bahkan dengan akulturasi kebiasaan sebelumnya.

Apabila saat ini marak dengan judi online, paylater, dan kekerasan seksual serta permasalahan lain, misalnya, pencegahannya perlu dilakukan dengan perlahan. Solusi-solusi dari pemegang kendali negeri ini kurang pas jika melihat dua peristiwa di atas tadi.

“Tapi dalam alam semesta ini kan tidak ada hal yang berulang?” (the butterfly effect)
Bukan gitu maksudnya. Memang peristiwanya berbeda, namun menilik dari sejarah tidak ada salahnya. Hanya penyesuaian konteks dan zaman. Pada intinya tidak ada perubahan yang instan dan semua perlu diusahakan dan dipikirkan solusinya secara logis.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan