Tiba-tiba teringat peristiwa setahun lalu. Pak Juned, panggilan akrab Anang Zunaidi, salah satu penulis di duniasantri.co, adalah salah satu teman akrab waktu saya mengikuti PPG di sebuah kampus yang berada di Kota Malang. Pada suatu malam setelah pulang kuliah, kami mengobrol santai sambil menyeruput kopi panas di kos,
“Pak, sampean berminat menulis di website DS. Lumayan dapat honor Rp 50 ribu per live (termuat)?”
“Apa saja yang ditulis dalam website duniasantri?”
“Banyak Pak, artikel, cerpen, kisah unik santri, profil kiai, humor, puisi, dan lain-lainnya. Saya kirim tautan contoh karya saya di DS ya?” Pak Juned mengeluarkan gawainya, membuka aplikasi browser, kemudian menautkan sebuah cerpennya ke WA saya.
“Sepertinya para penulis DS orang-orang yang terpilih. Saya tidak yakin bisa berkompetisi dengan mereka.”
“Saya yakin sampean mampu. Coba sampean kirim cerpen atau apa pun, siapa tahu dimuat, Pak.”
Awalnya saya kurang tertarik menulis di duniasantri. Setelah saya amati, cerpen Pak Juned memiliki karakter yang kuat dalam alur dan kelucuan tokoh yang dibawanya. Sangat berbeda dengan karakter cerpen yang dulu pernah saya tulis. Cerpen saya cenderung beralur sederhana dan tidak ada karakter lucu dalam setiap tokohnya.
“Bagus Pak, cerpen sampean wajar dimuat di DS.”
“Alah, biasa itu cerpen saya. Malah ada cerpenis DS yang bagus-bagus karyanya. Coba sampean baca cerpen karya Bisri Mustofa, pasti lebih bagus alur dan kekuatan karakter tokohnya. Banyak hal yang tidak diduga di akhir cerpen.”
Setelah mendengar saran Pak Juned, saya mencoba membuka kolom cerpen, kemudian membaca salah satu karya Bisri Mustofa, jika tidak salah berjudul Dukun Santet. Dari sebuah cerpen Dukun Santet itu saya menemukan banyak hal yang unik, mulai dari alur yang penuh dengan kejutan, pemilihan setting, kelucuan adegan, dan lain-lainnya.
Berawal dari temuan hal-hal unik di kolom cerpen, saya mulai tertarik membaca semua hal yang dimuat duniasantri. Pada awal Juli 2020, saya menemukan sebuah cerpen yang termuat di duniasantri.co. Cerpen itu mirip dengan karakteristik cerpen yang pernah saya tulis, yaitu bertema anak pesantren, alur sederhana, dengan penguatan pada amanat.
Usai membaca cerpen itu, hati kecil saya mulai tergelitik untuk mencoba mendaftar sebagai penulis pemula di duniasantri. Jika saya tidak salah ingat pada, pada awal tanggal 7 Juli 2020 akun duniasantri saya diverifikasi oleh ddmin duniasantri. Terverifikasinya akun saya ditandai dengan saya dimasukkan di grup Whatsapp Gerakan Santri Menulis.
Pada hari itu juga, saya mencoba mencari file cerpen di laptop yang dulu pernah saya tulis. Saya sangat bersyukur, file tersebut masih tersimpan dengan baik. Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya mencoba login ke website duniasantri. Karena baru kali pertama mengirim artikel di duniasantri, saya sempat bingung. Saya memutuskan mengirimkan pesan WA ke Pak Juned,
“Assalamualaikum Pak. Gimana caranya mengirimkan cerpen di DS?” Tak berselang lama, Pak Juned menjawab pertanyaan saya.
“Waalaikumsalam. Sampean sudah login?”
“Sudah Pak.”
“Sampean lihat di kolom pojok kanan bawah, pilih edit profile, terus isi data.”
“Ok Pak, tunggu sebentar ya.” Pinta saya kepada Pak Juned. Usai mengisi profil, saya kemudian chat lagi Pak Juned.
“Sudah saya isi lengkap, Pak. Terus gimana lagi?”
“Sampean tekan kembali sampai halaman home, pilih My Account, lalu pilih Tulis Artikel.”
“Oke Pak, terima kasih atas bantuannya.”
“Sama-sama. Kalau masih bingung jangan sungkan bertanya.”
“Oke.”
***
Keesokan hari pada tanggal 31 Juli 2020 pada pukul 8.39 ada sebuah pesan di Grup WA Gerakan Santri Menulis. Pesan tersebut berisi tautan “https://www.duniasantri.co/cahya-mentari/”. Perasaan terkejut bercampur bangga mengisi hati saya karena itu adalah judul cerpen yang saya kirim kemarin. Tautan tersebut saya lekas saya klik, saya lantas berucap alhamdulillahirobbilalamiin. Tidak pernah menyangka cerpen saya yang beralur sederhana bisa termuat di duniasantri.
Sejak saat itu, saya sangat termotivasi untuk menulis lagi di duniasantri. Berbagai rubrik di duniasantri, mulai dari cerpen, opini, pondok, sosok, santri way, bintang, dan teras saya coba buat. Pada awal menulis, para admin banyak membantu saya dengan mengedit ejaan, menambahkan simpulan, dan mengoherensikan kalimat dalam debut awal saya di duniasantri. Karena hal tersebut, alhamdulillah banyak karya “amatir” saya yang diloloskan.
Seiring dengan semakin banyak penulis yang profesional yang bergabung di duniasantri, maka para penulis dituntut untuk meningkatkan standarisasi karya di duniasantri. Akibat dari peningkatan standarisasi ada beberpa karya saya yang tidak lolos seleksi. Hanya karya saya yang berupa mayoritas termuat cerpen, artikel, dan santri way. Ketika ada karya yang tidak lolos seleksi, saya tidak menyerah saya mencoba untuk merevisinya.
Saya juga mencoba melakukan refleksi diri ketika ada karya yang tidak lolos seleksi berkali-kali. Dari hasil refleksi tersebut, saya menemukan bahwa pasion saya ada pada cerpen, opini, dan santri way. Sejak saat itu saya memutuskan untuk berfokus mendalami pasion saya dalam menulis cerpen, artikel, dan santri way.
Melalui refleksi itu juga saya menemukan banyak hal positif yang bisa diambil sejak menjadi penulis duniasantri. Hal positif yang pertama, ketika menulis cerpen di duniasantri, saya mendapatkan pengalaman terapan mengenai berbagai teknik cerpen.
Hal positif kedua dari pengalaman menulis artikel, saya mendapatkan pengalaman teknik menulis opini. Ternyata sebuah opini yang baik itu dengan mengkritisi lingkungan sekitar kita atau peristiwa viral dari sudut pandang Islami. Selain itu penulis harus banyak membaca literasi untuk menguatkan pendapat kita dalam opini yang kita tulis. Dari menulis santri way, saya mendapatkan ilmu tentang teknik menulis pengalaman. Menurut saya dalam menulis sebuah santri way, kita perlu menuliskan pengalaman santri yang unik.
Ada pengalaman yang menarik setelah membagikan tautan karya saya di story WA saya. Banyak teman-teman, saudara, rekan guru, serta Abah Dain (Kepala MA PP AL-Hikmah) mengapresiasi karya saya. Salah satu wujud apresiasi tersebut, yaitu saya diminta oleh madrasah untuk membantu guru senior membimbing santri-santri yang akan mengikuti lomba karya tulis ilmiah, mengisi mading, majalah sekolah, dan sebagainya. Saya juga menceritakan pengalaman menulis di duniasantri saat kegiatan belajar mengajar. Usai bercerita, alhamdulillah ada beberpa santri Al-Hikmah yang tertarik untuk ikut berkarya di duniasantri. Karena hal-hal tersebut, saya semakin antusias untuk terus berkarya di duniasantri.
Menulis memang bukan hal yang mudah bagi semua orang. Faktor niat adalah sebuah langkah awal yang konkret dan paling penting. Apalagi jika penulis itu istikomah atau konsisten terus menulis dan memperbaiki karyanya pasti karya-karyanya akan dimuat di duniasantri atau media lainnya.
Selain itu ada faktor lain yang menunjang peningkatan kualitas karya seorang penulis. Faktor-faktor penunjang tersebut adalah pemikiran kritis seorang penulis terhadap sebuah peritiswa di sekitar atau yang viral, terus berliterasi, rubrik yang memfasilitasi dan melatih penulis pemula seperti duniasantri. Yang terus saya asah adalah rasa menulis bukan sekadar mendapatkan honor, tetapi harus ikhlas lilalahi ta’alla, diniati terus meningkatkan kemampuan berpikir, terus berinovasi, dan saling bertukar pengetahuan dengan penulis lain.