Berkurban Atas Nama Cinta

1 view

Nabi Ibrahim adalah khalilullah, kekasih Allah. Gelar demikian sungguh dahsyat. Ia bukan cinta sepihak dan pengakuan sebelah. Nabi Ibrahim mencintai Allah dan Allah pun demikian.

Yang namanya cinta jelas penuh ujian. Nabi Ibrahim diuji di titik kelemahan dirinya sebagai orang tua. Allah memerintahkan agar dia menyembelih putra semata wayang yang sangat dia cintai.

Advertisements

Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya proses penyembelihan Nabi Ismail jika Ismail, yang kala itu masih remaja, menolak keras karena beragam alasan. Herannya, Nabi Ismail dengan keyakinan yang kuat justru memantapkan hati si ayah bahwa dia siap disembelih.

Begitu juga andaikata Siti Hajar, sang istri, menolak sang suami untuk menyembelih putra tercintanya. Andaikan si ibu itu bukan Siti Hajar, kemungkinan besar dia akan menolak keras dan akan menganggap si suami psikopat yang termakan halusinasi.

Fakta sejarah yang kita baca menegaskan bahwa kala Ismail dibujuk setan, dia lempar makhluk itu dengan batu agar enyah. Begitu pula saat Siti Hajar dirayu setan agar menolak keras tindakan sang suami, juga melempari makhluk laknat itu dengan batu.

Ibrahim berhasil menomerduakan sisi kebapakannya, Siti Hajar mengesampingkan rasa keibuannya, begitu pula Nabi Ismail mengenyahkan rasa sakit saat disembelih dan perasaan takut akan kematian. Itu semua dilakukan demi cinta mereka bertiga kepada Allah, sebuah cinta yang hakikatnya menjadi muara semua cinta.

Dengan kata lain, cinta ibu kepada anak haruslah menunjang cinta si ibu kepada Allah. Itulah yang dilakukan Siti Hajar. Cinta ayah kepada anak juga harus demikian. Itu yang dicontohkan Nabi Ibrahim. Takut pada kematian wajib menebalkan cinta pada Allah. Itu yang diperagakan Nabi Ismail. Itulah keluarga rabbani.

Bukan malah sebaliknya, cinta pada keluarga jadi hijab yang makin menjauhkan pada Allah. Jika ini yang terjadi, atas nama cinta pada anak, orang tua akan tega melakukan apa saja, walau pun hal demikian tidak disukai Allah

Mencintai Manusia

Sulit bagi kita menafsiri mimpi yang mengandung pesan bahwa itu adalah perintah dari Allah untuk menyembelih anak kita sendiri. Pun juga bagi Nabi Ibrahim. Sebab itu, dia perlu tiga tahap mimpi untuk memastikan mimpi itu memang demikian maksudnya, dari keraguan, pengetahuan, dan pelaksanaan.

Kalau masih ragu, berarti informasi yang diterima setengah diterima dan ditolak. Kalau sudah masuk pada level pengetahun, artinya tahu bahwa itu memang perintah Allah, informasi itu akan diterima sepenuhnya. Namun belum tentu dilaksanakan. Baru pada tahap ketiga, pengetahuan masuk pada ranah keyakinan yang menggerakan tindakan.

Keyakinan Nabi Ibrahim sudah mantap, tapi dia tidak otoriter. Dia bermusyawarah dulu dengan keluarganya. Keluarganya pun setuju. Memiliki kemantapan hati yang sama. Menurut Prof Quraish Shihab, ini menunjukkan keberhasilan Nabi Ibrahin menempa kepribadiannya sehingga menjadi pribadi yang mulia dan keberhasilannya pula menanamkan hal serupa pada keluarganya.

Jadi tak heran, jika anak remaja seperti Nabi Ismail -yang biasanya labil dan skeptis sehingga terperangkap pada kenakalan remaja – justru memiliki kemantapan hati setara sang ayah kepada Allah. Kunci keluarga ada pada bapak sebagai kepala rumah tangga.

Ketika Allah memerintahkan Nabi menyembelih anaknya, ada tiga pesan penting yang tertanam di dalamnya:

Pertama, penyembelihan manusia saat itu sebagai tumbal pada ritus tertentu sudah lazim. Ritus persembahan nyawa ini berjalan begitu lama. Sudah jadi budaya. Jika manusia berani mengorbankan nyawa manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka mengorbankan segalanya, termasuk manusia, untuk Allah haruslah didahulukan dan diperjuangkan. Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya berada dalam kerangka ini.

Kedua, peristiwa digantinya Nabi Ismail dengan domba merupakan pesan penting bahwa Allah sangat menghargai manusia. Tak layak nyawa dikorbankan atas nama apa pun, termasuk atas nama Allah. Di samping Allah menolak tumbal manusia, Dia juga menegaskan agar manusia menjaga dirinya sebaik mungkin. Menjaga diri termasuk salah satu dari lima hal yang wajib dipertahankan.

Hakikat mencintai Allah adalah mencintai manusia sebagai hamba-Nya. Berjuang untuk Allah, berjuanglah untuk menghormati sesama. Korbankan seluruh yang dimiliki untuk Allah dengan cara membantu sesama. Jika ada orang sakit. Jenguklah, sebab di sana ada Allah. Jika ada orang lapar, berilah makan, sebab di sana juga ada Allah. Sungguh pesan yang sangat manusiawi.

Ketiga, saat domba disembelih oleh Nabi Ibrahim di situ pesan ada penting pula bahwa kita harus menyembelih hewan yang bersamayam dalam jiwa kita. Dalam diri kita ada sifat kebinatangan yang tak henti-henti menyuruh kita menyakiti sesama, menghabiskan sumber daya alam, dan egois tidak alang kepalang. Itu harus disembelih. Ia harus dikorbankan agar kita semakin bisa mencintai Allah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan