Bila Santri Lirboyo Dilarang Jadi Pegawai Negeri

247 kali dibaca

Menjadi pegawai negeri sipil (PNS) masih menjadi impian banyak orang. Tapi kenapa ada larangan santri Lirboyo menjadi PNS? Beranikah santri Lirboyo melanggar dawuh kiainya?

Di lingkungan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, ada dua pantangan bagi santrinya: menjadi hakim dan PNS. Pantangan itu datang dari pesan yang sering diungkapkan KH Abdul Karim, pendiri dan pengasuh Pondok Lirboyo.

Advertisements

KH Abdul Karim mendirikan Pondok Lirboyo pada 1910. Meskipun tokoh yang dikenal wara’ ini wafat pada 1954, ajarannya terus hidup hingga kini, termasuk pantangan menjadi hakim dan PNS tersebut.

Pantangan itu terus ditularkan pada santri Lirboyo dari generasi ke generasi dengan sistem gethok tular, disampaikan dari mulut ke mulut.

Belakangan, sumber larangan itu terkutip dalam buku berjudul Tiga Tokoh Lirboyo yang ditulis oleh alumni Pondok Lirboyo. Salah satunya berupa kesaksian Dr H Rofi’i, yang menjadi guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam buku tersebut H Rofi’i memberikan kesaksian sebagai berikut: “Yang sering saya dengar waktu itu, beliau (KH Abdul Karim) sering berpesan agar para santri tidak menjadi hakim. Hakim itu tempatnya di neraka paling bawah. Jadi Hakim itu harus adil dan bisa menerapkan hukum Allah.”

Di buku yang sama, H Rofi’i melanjutkan, “Jangan jadi pengusaha yang dibayar (menerima gaji, seperti pegawai negeri). Maksudnya kira-kira, ‘jadilah kiai di desa kayak saya (KH Abdul karim-pen)’. Gak Usah minta gaji, gak usah minta pangkat. Gak usah minta honorium. Jadilah pribadi yang tidak ngejar-ngejar pangkat dan harta kekayaan.”

Begitulah H Rofi’i menafsirkan dawuh KH Abdul Karim tersebut. Dengan terbitnya buku Tiga Tokoh Lirboyo tersebut, larangan untuk menjadi hakim dan PNS di lingkungan Pondok Lirboyo tak lagi hanya bersumber dari cerita lisan, tapi juga tertulis.

Sebelumnya, sebagai alumni saya merasa bersyukur karena telah mengiyakan, patuh, dan ngugemi ajaran tersebut. Namun, belakangan saya mendapat “tafsiran” yang berbeda; bahwa sebenarnya menjadi PNS juga boleh, tapi ada syaratnya.

Ceritanya, di suatu siang saya sedang satu majelis dengan seorang guru yang masih dzuriyah Pondok Lirboyo. Di tengah perbincangan itu, tiba-tiba beliau dawuh begini:

“Alasan Yai Sepuh dulu melarang jadi PNS itu ya karena meskipun cuti tetap digaji, meskipun ndak masuk kerja tetap digaji. Maka beliau menyarankan di sektor swasta yang digaji kalau benar-benar kerja saja.”

Rupanya, ajaran KH Abdul Karim yang biasa disapa Yai Sepuh itu didasarkan fenomena saat itu. Yaitu, meskipun cuti atau bolos, alias tidak kerja, seorang PNS tetap menerima gaji tetap. Sementara, untuk pengajar di sekolah swasta, misalnya, jika bolos, bahkan izin tak masuk pun, ada risiko gajinya tak dibayar atau dipotong.

Berdasarkan keterangan dari dzuriyah Lirboyo tersebut, terisyaratkan bahwa menjadi PNS sebenarnya tidak dilarang secara mutlak. Tidak dilarang menjadi PNS asalkan bekerja sesuai dengan peraturan yang ada. Jangan sampai menerima gaji yang tidak sebanding dengan kinerjanya.

Ajaran Mbah Yai Sepuh ini seolah mengingatkan kita agar tetap dalam koridor hadis Nabi mengenai pekerjaan terbaik, yaitu “عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ “Pekerjaan seseorang dengan tenaganya sendiri dan jual beli yang sah.”

Lalu bagaiamana perihal jadi hakim?

Pada dasarnya jadi hakim bukanlah haram. Dawuh Yai Sepuh ini hanya memberi peringatan keras kepada para santrinya bahwa boleh jadi hakim namun musti benar-benar adil. Sementara, unuk menjadi adil sulitnya minta ampun. Mungkin karena itu, daripada tidak mampu melewati hal sulit itu, lebih baik tidak. Alias makai konsep akhofu dlororain, mengambil risiko terkecil.

Simpang siur tentang larangan menjadi hakim ini juga pernah bahas bersama Dr Hery yang tergolong alumni Lirboyo. Dr Hery memberi pandangan mengenai kaidah fikih, yakni taghoyurul ahkam bitaghoyiril zaman wal makan (aturan hukum itu berubah sesuai berubahnya zaman dan tempat).

Karena itu, bisa jadi dulu Yai Sepuh melarang jadi hakim karena hakim kala itu banyak yang ingkar. Karena itu, justru, jika tidak ada santri yang jadi hakim, posisinya akan diisi orang-orang yang tidak bisa jamin keadilan. Boleh jadi sekarang adalah waktunya santri untuk tampil ke permukaan, termasuk menjadi hakim.

Belakangan terbukti bahwa dua larangan atau pantangan tersebut memang tidak bersifat mutlak. Terbukti, belakangan KH Mahrus Aly malah mendirikan Kampus Tribakti di lingkungan Pondok Lirboyo yang terdapat fakultas syariahnya lagi. Keberadaan fakultas ini yang sama saja memberi jalan tidak langsug kepada santri Lirboyo untuk menjadi PNS dan hakim.

Walhasil,  larangan Yai Sepuh itu (selama bukan larangan syariat) semacam tanbih, pepeling, dan peringatan keras bagi kita untuk mawas diri terhadap amanah yang kita emban. Saya kira di pondok-pondok lain banyak pula larangan semacam ini, larangan untuk profesi dan posisi terntentu kepada santri.

Jadi, buat para santri yang sekarang sedang berjuang untuk menjadi PNS, semoga khasil maksud. Tapi kalau sudah lolos, jangan lupa pegang erat pepiling-pepiling beliau. Sekian, wallohu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan