Bila Santri Putri Antre Mandi

392 views

Cerita ini flash back ke tahun 1997-2006, saat penulis mondok di Pondok Pesantren Annuqayah Putri daerah Lubangsa, Sumenep. Banyak cerita seru bersama santri putri lain. Mulai dari soal masak, belajar, sampai antre mandi.

Waktu itu, jumlah santri putri kurang lebih 700-an orang, dengan jumlah kamar mandi yang sangat minim, berkisar 13 dengan satu sumur dan satu kolam. Khusus kolam, waktu itu hanya untuk berwudhu. Sementara saat ini, menurut salah satu pengurus pusat Pesantren Annuqayah yang bernama Ali Faruq, jumlah santri putrid daerah Lubangsa ini sudah mencapai 1000 orang lebih.

Advertisements

Seperti biasa, saat hendak mandi atau berwudhu, santri diwajibkan mematuhi tata tertib antrean. Seperti, tidak boleh meninggalkan tempat antrean terlalu lama, harus berurutan sesuai nomor antrean, tidak boleh menyerobot masuk sebelum mendapat giliran, dan lain-lain.

Selalu, saat waktu mandi tiba, kami pun harus berjejer, mengular dari depan pintu kamar mandi hingga ke belakang. Santri bergiliran masuk kamar mandi satu per satu. Akan menjadi masalah serius ketika antren mandi belum habis, bel tanda salat berjamaah berbunyi. Jika ini yang terjadi, sontak para santri pun kalang kabut dan mulai ribut. Antrean pun menjadi kacau, pintu kamar mandi mulai digedor-gedor dari luar, sehingga santri yang sedang mandi di dalam mulai merasa tidak tenang. Yang semula bisa mandi sambil nyanyi-nyanyi, berubah jadi teriakan kegaduhan.

Tanpa pikir panjang, santri yang di dalam harus segera membuka pintu, dan kegaduhan pun kian menjadi tatkala santri yang di luar berebutan masuk. Yang seharusnya bergantian satu-satu, kini kamar mandi bisa diisi sampai tiga atau bahkan lima orang mandi bersmaan.

Laksana di padang mahsyar, satu orang tidak peduli lagi dengan yang lainnya, begitu pun saat itu. Maka berlakulah ayat Al-Quran surat Annur ayat 31, wa qul lilmu’minati yaghdudna min abshᾰrihinna  (Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya).

Sebenarnya, santri putri diwajibkan mandi dalam keadaan memakai sarung atau menutup aurat. Namun, terkadang apabila dalam keadaan darurat, peraturan tersebut dibaikan. Kaidah fikih menjadi dalih pembenar: addarurotu tubῑhul mahdzurat (kemudaratan dapat membolehkan perkara yang di larang).

Bagi santri putri, bel salat berjamaah merupakan perkara horor, dikarenakan sanksi bagi yang tidak mengikuti salat berjamaah cukup berat. Bahkan, santri yang salat berjamaah telah (masbuk) pun ada sanksinya, meski sedikit ringan. Sanksinya macam-macam, seperti membuang sampah, membersihkan toilet, menguras bak dan membersihkan kamar mandi, mengaji surat yasin dan surat-surat lainnya di depan kantor pesantren, yang bisa menjadi tontonan gratis ratusan santri lainnya. Sehingga pada gilirannya, khusus santri yang sering melanggar, maka waktu liburan pun dikurangi.

Pada kenyataannya, selalu ada santri yang dijatuhi sanksi. Biasanya mereka itu santri yang memang malas mengantre dari awal sebelum masuk waktu salat. Sedangkan, mereka yang dawam menjaga salat berjamaah, pasti tidak molor dan selalu berada di shaf paling depan.

Bagi santri putri, perkara mandi dan budaya antre bukan hal yang bisa dianggap enteng, karena selain menunggu aliran air yang harus mencapai dua qullah atau lebih, mereka juga harus membuka pakaian yang melekat di badan dan mengganti dengan pakaian berbeda saat masuk kamar mandi, semisal sarung. Hal itu memakan waktu yang tidak singkat, yang mungkin berbeda dengan santri putra.

Begitu teraturnya kehidupan di pondok pesantren, mulai dari perkara kecil seperti mandi dan yang lainnya harus diatur sedemikian rupa. Hal tersebut sebagai bekal untuk kehidupan yang lebih luas dan kompleks sebagai human society ketika hidup di lingkungan sosial budaya di tengah-tengah masyarakat, dan juga sebagai human being yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Dalam Islam, budaya antre merupakan pembiasaan agar istikamah dalam beramal saleh. Karena, Allah lebih menyukai amalan yang sedikit namun istikamah. Hal itu sesuai dengan pepatah Arab, Al istiqamatu khairun min alfi karomah, tsubutul karomati bidawamil istiqamah (Istikamah itu lebih baik dari pada seribu karomah, sedangkan tumbuhnya karomah dengan istikamah).

Lebih dari itu, dampak yang penulis rasakan secara pribadi, salah satunya dapat menerapkan budaya antre dalam kehidupan keluarga, yang pada gilirannya pembiasaan antre menumbuhkan kesadaran hidup bersosial. Sehingga menuju kepada karakter yang lebih bermartabat. Oleh karena itu penulis bersyukur pernah mondok dan merasakan suka duka hidup di dalam pesantren. Semoga bermanfaat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan