Bila Tuhan Tak Berbagi Lokasi

94 views

Ditilik dari sampul saja, buku ini sudah menyimpan setandan keunikan dan segepok hal menarik. Benar-benar menyiratkan sesuatu yang berbeda. Coba kita cermati! Silakan, pandangi lekat-lekat sampul buku ini!

Pertama, dari tulisan “Kumpulan Cerpen Main-Main”. Pikiran kita diajak bermain-main di seputar kata main-main. Bagaimana bentuk dan lekuk wajah makhluk yang bernama Cerpen Main-Main? Apakah berasal dari kalimat yang dipungut asal-asalan? Ataukah ditulis secara sembarangan sesuka hati?

Advertisements

Kedua, penulis yang bernama Embah Nyutz. Kita digiring ke sosok laki-laki tua keriput yang biasa dipanggil kakek atau embah. Apakah benar buku ini ditulis oleh kakek-kakek berusia senja, lalu bagaimana hasil tulisannya? Apakah sesegar penulis-penulis muda yang tentunya semuda pemikirannya? Atau apakah hanya sekadar catutan nama pena? Lagi-lagi kita dibuai penasaran.

Ketiga, judul Gusti Mboten Shareloc. Kita digelitik dari frasa judul yang tertera. Gusti Mboten Shareloc diambil dari bahasa Jawa yang berarti Gusti (Allah) tidak berbagi atau memberi tahu titik lokasi terkini. Sebuah judul yang ganjil. Kian tidak sabar ingin cepat-cepat tahu sejelas-jelasnya.

Keempat, bubuhan kata “Beberapa Cerita Tidak Jelas Lainnya”. Apa yang dimaksud dari kata tidak jelas? Aliran, gaya bertutur, proses kreatif, ataukah isi ceritanya? Kita semakin bertanya-tanya, dan semakin tidak jelas jika kita tidak berupaya mencari tahu kejelasannya. Jadi, dari sampul saja, sudah ditemukan empat keunikan yang memeram perkara ganjil untuk segera dikulik. Lalu, bagaimana dengan isinya? Rasa penasaran semakin mencuat dan menggebu.

Edi AH Iyubenu selaku pemilik Penerbit Diva Press dan pengamat masalah-masalah Embah Nyutz mengomentari bahwa cerita-cerita yang terhimpun dalam buku ini adalah cerpen-cerpen beraliran “sastra embuh”. Jika candaan-candaan sastrawi Jokpin telah sampai pada derajat “jaminan”, maka candaan-candaan sastrawi Embah Nyutz ini kiranya sangat tepat didudukkan pada derajat “wallahu a’lam” saja.

Lebih lanjut, CEO Kafe Basabasi ini juga menyarankan agar ketika membaca cerpen-cerpen ini kita tepikan ekspektasi cerpen sastra yang estetis, sebab cerpen-cerpen dalam buku ini sepenuhnya candaan dan humor yang akan membuat kita geleng-geleng kepala. Tak ada keteraturan struktur, narasi, apalagi estetika sastrawi. Semuanya serba tak teratur, sesukanya dan semaunya. Justru karena demikianlah gaya cerita yang dipilih Embah Nyutz dapat digolongkan pembaharuan dalam bercerita. Menghadirkan kisah dengan kemasan gaya unik ini menjadi tendangan telak dalam tradisi bercerita dan mendapat perhatian khusus.

Cerpen “Gusti Mboten Shareloc” yang sengaja dijadikan judul buku ini berkisah tentang orang yang dianggap kurang waras. Suatu waktu datang ke sebuah warung. Bercerita kepada pengunjung warung lainnya bahwa dirinya sedang putus cinta. Tapi, ia kini sedang merasakan kerinduan kepada kekasihnya yang baru.

Ketika pengunjung warung bertanya di mana kekasihnya sekarang, apakah sedang menjalin asmara jarak jauh? Ia menjawab enteng, “Ya dan tidak.” Saat ditanya bagaimana maksudnya? Ia malah menjawab dengan nyanyian, “Aku jauh, dia jauh. Aku dekat, dia dekat.” Sewaktu pengunjung warung bertanya lagi sambil tertawa geli, di mana kekasihnya sekarang? Ia jawab singkat, “Aku tidak tahu. Sebab, Gusti mboten shareloc” (hlm. 166).

Kisah ini kemudian dialihkan dengan kedatangan pengunjung warung berikutnya yang ternyata mengenali orang yang dikira kurang waras itu. Pengunjung baru tersebut duduk di sebelah kanan lelaki itu dan terperangah saat menengok mukanya. Dengan agak gugup, ia bertanya, “Loh, Pak, kok sudah di sini? Bukannya Bapak masih….” Lelaki itu seketika membentak kepada pengunjung baru itu agar diam. Ia berdiri, lalu membayar minumannya, kemudian melangkah pergi.

Pemilik warung angkringan serta pengunjung lain bertanya kepada pengunjung baru itu perihal perkenalannya dan kronologis kepergiannya yang buru-buru. Tamu yang baru datang itu tak menjawab, malah mengeluarkan handphone-nya dan menunjukkan foto di galeri yang baru dikirim oleh kakaknya langsung dari Arab Saudi setengah jam yang lalu. Tampak di foto tersebut, lelaki itu sedang bersama kakak si pengunjung, foto berdiri berdampingan di luar dinding pagar makam Nabi di Madinah (hlm. 167).

Cerpen unik lainnya bisa dijumpai dalam “Cerita Menyebalkan di Hari Jum’at.” Cerpen yang berada di bagian pertama di buku ini mengisahkan tokoh “aku” yang digelayuti kesebalan demi kesebalan tepat di hari Jumat. Keunikan kisah ini terletak pada konsistensi akhir kalimat yang berbunyi sama.

Berikut petikannya: Mandi kilat. Yang penting badan bau sabun, biar dikira baik-baik dirawat. Dandan cepat. Asal baju bersih dan lengkap menutup aurat. Rambut cukup diusap tangan sebab tak panjang-panjang amat. Bercermin sekejap, lihat-lihat barangkali masih ada kotoran mata menempel lekat. Jam setengah dua belas lewat detik keempat aku berangkat cepat. Takut tak kebagian tempat. Saat kututup pintu kamar seekor cicak dari sudutnya merayap, mendadak tanganku hangat. Ah, sialan, di gagang pintu ada tahi cicak melekat. Tentu saja tanganku terkena tahi cokelat. Bangsat! Harus membasuh dua kali lipat (hlm. 7).

Kisah pada paragraf di atas berakhiran “at”, dan kelanjutan kisah pada paragraf berikutnya berakhiran “ah”. Demikian kutipannya: Di luar panas sudah. Matahari telah naik melebihi sepenggalah. Aku berjalan lekas hingga terasa gerah. Sesampai di masjid masih belum banyak jamaah. Lalu aku cepat-cepat duduk sembari melepas lelah. Oh ya, sebelum duduk tentu saja aku shalat sunnah. Pengeras suara memutar rekaman tilawah. Jam dua belas lebih tiga menit setengah. Pak khatib mulai khotbah (hlm. 8).

Kisah menyebalkan yang terdapat dalam cerita ini terjadi secara beruntun. Mulai saat hendak menutup pintu, di gagangnya ada tahi cicak. Terus berangkat ke masjid di tengah terik matahari. Ditambah kemunculan lelaki berjenggot di masjid yang minta posisi duduknya digeser, padahal sudah sempit. Lalu si khatib yang berkhutbah tiga puluh lima menit belum juga selesai, sampai pantatnya mulai terasa panas. Yang disampaikan mengandung nada-nada politik, menyalah-nyalahkan pendapat yang tak sepaham dengannya. Kemudian lelaki berjenggot di sebelah kanannya yang tidur mendengkur seperti suara burung tekukur. Dan akhirnya saat hendak pulang dari masjid, sandalnya raib.

Masih banyak cerpen-cerpen unik dan menarik lainnya yang bisa disimak dalam buku ini. Secara umum, cerita-cerita dalam buku ini disampaikan secara luar biasa alias keluar dari kebiasaan. Namun kendati demikian, cerpen-cerpen karya Embah Nyutz tak layak diremehkan. Ia merupakan salah satu cerpenis yang mempunyai kekhasan dalam bercerita. Keunikannya adalah menempati ruang kosong cerpenis lain: menyindir tanpa menimbulkan marah.

Data Buku

Judul                  : Gusti Mboten Shareloc
Penulis               : Embah Nyutz
Penerbit             : Diva Press
Cetakan             : I, Juli 2020
Tebal                  : 168 halaman
ISBN                  : 978-602-391-995-6

Multi-Page

Tinggalkan Balasan