Bioteknologi dan Tantangan Fikih Kesehatan

176 kali dibaca

Fikih sering kali kita pahami sebagai pedoman hidup, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dengan landasan syariah. Ia berfungsi sebagai filter moral dan etika, menjadi penjaga agar setiap tindakan kita tetap di dalam koridor agama.

Namun, ketika dunia terus berubah dan teknologi melaju dengan pesat, fikih juga perlu bergerak dinamis. Salah satu tantangan terbesarnya saat ini datang dari bidang kesehatan dan bioteknologi—dua ranah yang saling beririsan namun tetap mengundang perdebatan.

Advertisements

Mari kita bicara soal bioteknologi. Di satu sisi, ini adalah alat ajaib yang memberi umat manusia harapan besar. Kita bisa melihat berbagai manfaat luar biasa, seperti pengembangan vaksin, terapi gen, pengobatan penyakit genetik, hingga makanan hasil rekayasa genetika yang bisa menyelesaikan masalah kelaparan.

Namun, di sisi lain, teknologi ini juga membawa pertanyaan yang sangat dalam: Sejauh mana kita boleh ‘bermain-main’ dengan ciptaan Tuhan?

Kesehatan, dalam pandangan Islam, adalah bagian dari maqashid syariah, yakni tujuan syariat yang melindungi lima hal penting: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Fikih kesehatan kemudian muncul sebagai wujud perlindungan terhadap jiwa dan keturunan, salah satu aspek maqashid tersebut.

Namun, di era bioteknologi, pertanyaan-pertanyaan baru muncul yang membuat para ulama perlu menggali lebih dalam untuk memahami dampaknya terhadap kehidupan kita.

Contoh yang paling jelas adalah dalam kasus rekayasa genetika. Di satu sisi, ini bisa digunakan untuk memperbaiki gen yang rusak dan mencegah penyakit yang mematikan. Tapi, di sisi lain, bagaimana kita menyeimbangkan antara menyembuhkan dan memodifikasi? Apakah mengubah gen manusia bisa dikategorikan sebagai ‘mengubah ciptaan Tuhan’? Inilah dilema etis yang memerlukan jawaban fikih.

Kesehatan sebagai Amanah

Salah satu prinsip dasar dalam Islam adalah bahwa tubuh kita adalah amanah, titipan dari Allah. Kita diperintahkan untuk menjaga kesehatan, merawatnya, dan tidak merusaknya dengan cara apapun.

Dalam konteks bioteknologi, maka kita perlu mempertanyakan, sejauh mana teknologi ini dapat membantu menjaga amanah itu, atau justru bisa menjadi ancaman?

Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dilihat dari niat dan tujuan. Jika tujuan bioteknologi adalah untuk menyelamatkan nyawa, maka ini sangat mungkin sejalan dengan maqashid syariah. Sebaliknya, jika teknologi digunakan untuk hal-hal yang mengarah pada penyalahgunaan atau kesombongan manusia yang melampaui batas, fikih akan dengan tegas melarangnya.

Fikih kesehatan, dalam hal ini, harus merespons perkembangan bioteknologi dengan hati-hati dan bijak. Jangan sampai kita terjebak dalam euforia teknologi tanpa mempertimbangkan dampaknya pada manusia secara keseluruhan—baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

Pertimbangan Etis

Salah satu prinsip fikih adalah dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih—mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat. Prinsip ini sangat relevan ketika kita berbicara tentang bioteknologi.

Kita tidak bisa semata-mata melihat teknologi ini sebagai solusi tanpa memikirkan potensi dampak negatifnya. Misalnya, ketika berbicara tentang kloning manusia atau bahkan pengembangan bayi dengan “gen yang dimodifikasi,” apakah kita benar-benar siap menghadapi konsekuensi sosial dan moralnya? Atau, apakah kita hanya terpesona oleh kemungkinan menghilangkan penyakit tanpa mempertimbangkan risiko lain yang mengintai?

Fikih kesehatan harus menjawab pertanyaan-pertanyaan besar ini, dengan pertimbangan yang matang dan penuh kehati-hatian. Di sinilah ulama dan ilmuwan harus bekerja sama. Mereka tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, karena bioteknologi bukan hanya soal hitung-hitungan ilmiah, tapi juga menyentuh aspek moralitas, spiritualitas, dan hukum agama.

Namun, kita juga perlu memahami bahwa Islam tidak anti terhadap sains. Rasulullah SAW sendiri mendorong kita untuk menuntut ilmu, bahkan sampai ke negeri Cina sekalipun. Ilmu pengetahuan adalah anugerah dari Allah, yang harus digunakan untuk kebaikan umat manusia.

Fikih kesehatan dan bioteknologi harus ditempatkan dalam konteks ini: bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan yang ada untuk kemaslahatan umat, dengan tetap menjaga batas-batas syariah.

Batasan Syariat

Lantas, bagaimana kita seharusnya bersikap? Keseimbangan antara menerima manfaat bioteknologi dan menjaga etika syariat menjadi kunci. Jalan tengah selalu menjadi pedoman dalam Islam.

Kita tidak bisa menolak perkembangan bioteknologi begitu saja hanya karena takut akan hal-hal baru. Namun, kita juga tidak boleh dengan sembrono memeluk teknologi tanpa mempertimbangkan dampaknya.

Dalam soal kesehatan, bioteknologi bisa menjadi solusi yang besar—baik untuk pencegahan penyakit maupun pengobatan yang belum ada di masa lalu. Tapi tetap, prinsip dasar dalam Islam adalah menjaga kehidupan dan keturunan dengan cara yang halal dan baik.

Fikih di sini harus menjadi panduan, bagaimana bioteknologi dapat digunakan untuk menyelamatkan nyawa, tanpa melanggar batas-batas syariah.

Sebagai umat Islam, kita perlu bijak. Teknologi boleh maju, tapi hati nurani kita harus tetap terjaga. Ketika ilmuwan menemukan cara untuk mengubah gen manusia, kita bertanya: Apakah ini untuk kebaikan? Apakah ini sesuai dengan ajaran Islam?

Jika jawabannya ya, maka bioteknologi dan fikih kesehatan bisa berjalan beriringan, memberi manfaat yang besar bagi umat manusia tanpa meninggalkan nilai-nilai agama yang menjadi panduan hidup kita.

Jalan tengah ini yang harus kita pegang erat. Fikih dan bioteknologi, bukan dua hal yang saling bertentangan, tapi justru bisa menjadi pasangan yang harmonis jika digunakan dengan bijaksana.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan