Blumbang

80 views

Siang menjelang sore, Mbah Nyai tergopoh-gopoh membuka pintu, lalu tangannya yang ringkih menggaruk-garuk tanah di depan rumahnya untuk menemukan kerikil atau pecahan genteng atau bata. Apa yang ditemukannya kemudian ia lemparkan ke arah timur, ke blumbang. Plung-plung-plung!

“Berisiiiiikkk…!” suara Mbah Nyai melengking.

Advertisements

Anak-anak yang sedang bluron, berlompatan terjun ke air byar byur-byar byur dengan tawa yang berhamburan, sontak mentas dan berlarian ke segala arah untuk bersembunyi dengan tubuh mereka yang masih telanjang. Lalu sunyi. Ketika sayup-sayup terdengar Mbah Nyai menutup pintu rumahnya, dengan berjalan jinjit, anak-anak itu kembali ke blumbang, menceburkan tubuh-tubuh mereka ke dalam air tanpa menimbulkan riak.

Persis di sisi utara langgar blumbang itu berada. Panjangnya sekitar sepuluh meter dengan lebar enam meter. Kedalaman blumbang itu satu setengah meter, namun di sisi masuk blumbang diberi undakan cukup tinggi sehingga kedalamannya tak lebih dari semeter.

Ke arah barat dibuat saluran air untuk menyodet sungai yang tak jauh dari blumbang itu. Aliran sungai itu berhulu di Dambuntung, tak jauh dari langgar. Disebut Dambuntung karena ia merupakan bendungan terakhir dari salah satu kanal irigasi di Banyuwangi selatan. Air dari sungai itu kemudian mengalir ke blumbang, dan ketika blumbang penuh airnya akan meluber melalui pembuangan ke sisi timur. Melalui sungai kecil yang berkelok-kelok, air buangan dari blumbang itu jatuh ke kali yang lebih rendah.

Jika di sisi selatan adalah langgar, di sebelah timur terdapat bangunan seluas langgar itu yang menjadi tempat anak-anak saban malam mengaji. Mereka, yang sering keluyuran malam atau enggan pulang ke rumah, juga tidur di bangunan itu. Langgar dan bangunan itu dihubungkan oleh jalan yang sebenarnya berupa batu dan bongkahan semen yang dijejer memanjang. Anak-anak yang dari langgar hendak berpindah ke bangunan itu atau sebaliknya harus berjalan melewati batu-batu, kadang dengan sedikit melompat jika jarak antara batu-batu itu terlalu lebar untuk kaki anak-anak.

Dulunya ada bangunan-bangunan lain di sekitarnya, berupa gothakan yang hampir semuanya terbuat dari bambu, entah untuk tiang atau dindingnya. Atapnya dari ijuk, sebelum akhirnya diganti dengan genteng. Bilik-bilik panggung itu ditempati oleh santri-santri yang mondok. Ya, dulunya memang berdiri pondok pesantren di sini. Santrinya datang dari berbagai daerah. Namun, sejak kiainya wafat, pesantren itu surut dan satu demi satu santrinya pergi. Lama kemudian, yang tersisa hanyalah seorang santri yang mengalami gangguan jiwa. Salah satu anak kiai mencoba membangun kembali pesantren itu, namun tak pernah lagi ada santri yang mondok sampai gothakan-gothakan itu roboh dan satu-satunya santri yang tersisa itu dikirim ke rumah sakit jiwa. Yang tersisa dari pesantren itu memang hanya blumbang itu, lalu langgar dan satu bangunan tempat mengaji anak-anak sekitar.

Ada satu rumah tak jauh dari blumbang. Rumah itu persis berada di sisi barat dari blumbang, sekitar lima belas meter, namun dipisahkan oleh tegalan dengan rerimbunan pohon pisang, pohon jambu, beberapa pohon kelapa, pohon lamtoro, dan semak-semak. Hanya ada jalan setapak di sisi utara blumbang yang menghubungkan rumah itu ke arah halaman luas bekas bangunan pondok. Rumah itu ditinggali Mbah Nyai seorang diri setelah suaminya wafat. Usianya sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Tubuhnya kurus dan kulitnya sudah kering keriput, yang selalu dibungkus kebaya berlengan panjang dan kain. Rambutnya disanggul ke belakang. Hanya sesekali ia ditemani oleh cucu yang kadang datang untuk bermalam bersamanya yang hanya satu atau dua malam. Mbah Nyai juga jarang sekali terlihat bepergian, kecuali jika menerima kabar ada anaknya atau cucunya sedang sakit. Yang sering membuat Mbah Nyai membuka pintu rumahnya justru tingkah bocah-bocah di blumbang itu, dan sebentar kemudian ia akan masuk kembali ke rumah sambil membanting pintu setelah suaranya terdengar melengking,

“Mentas setan-setan kecil, berisik!!!”

Yang menjadi daya tarik bocah-bocah betah berada di lingkungan langgar memang blumbang itu. Meskipun airnya kecoklatan, blumbang itu multifungsi. Selain untuk berwudhu, orang-orang sekitar sering memanfaatkan air di blumbang itu untuk mencuci pakaian dan mandi. Anak-anak sekitar, yang saban malam mengaji di langgar samping blumbang, menjadikannya sebagai tempat bermain. Bluron. Siang hari sepulang dari belajar di madrasah ibtidaiyah, biasanya anak-anak berkumpul di blumbang. Jumlahnya kadang sampai belasan. Setelah bugil dan menyampirkan baju-baju di dinding blumbang, di bawah terik matahari, mula-mula mereka hanya berendam, lalu berenang bolak-balik dari sisi timur ke barat. Mereka saling bercakap dan tertawa di antara kecipak air.

Ketika berenang sudah terasa mulai membosankan, selalu ada yang mengawali untuk permainan baru. “Lompat, yuk!” satu dari bocah-bocah itu kemudian mentas, lalu berdiri di pagar blumbang yang terbuat dari beton dengan tinggi lebih dari satu meter. Dengan gerakan akrobatik ia melompat ke udara, salto, dan byurrrrr….  jatuh di air, menyelam, kemudian muncul di sisi yang lain. Kawan-kawannya tertawa dan bersorak. Bocah-bocah itu kemudian saling berebut untuk memulai aksi serupa, byar-byur saling bersicepat untuk melompat ke air dari pagar, sehingga blumbang itu begitu riuh, airnya begitu keruh.

Biasanya keriuhan blumbang itu akan terhenti ketika terdengar desingan batu atau kerikil yang lalu menghantam air diiringi lengkingan suara Mbah Nyai, “Mentas setan-setan kecil!!!” Tapi bocah-bocah itu tak pernah tahu, lama sebelum mengambil apa saja di depan pintunya yang bisa dilemparkan ke arah blumbang, Mbah Nyai duduk menghadap dinding rumahnya yang bolong melompong. Cukup lebar untuk mengamati apa yang terjadi di blumbang itu. Bahkan, terkadang Mbah Nyai sudah duduk di sana sebelum bocah-bocah itu datang. Mbah Nyai hampir tak pernah melewatkan momen bisa mengintip keriangan bocah-bocah bermain air tanpa diketahui oleh mereka. Di sana terkadang ada dua atau tiga cucu lelakinya yang ikut bluron. Sesekali Mbah Nyai terkekeh lirih ketika dari jauh melihat burung cucu-cucunya yang belum disunat kopat-kapit saat hendak melompak ke dalam air. Wajah Mbah Nyai berseri, matanya berkaca-kaca. Kepalanya menggeleng pelan.

Tapi, ketika dari lubang dinding bambu itu bibir bocah-bocah sudah terlihat membiru, dan blumbang begitu gaduhnya, airnya begitu keruhnya, Mbah Nyai lekas membuka pintu, dan mencari-cari batu atau kerikil atau pecahan genteng di pekarangan depan rumahnya, lalu tanpa ampun melemparkannya ke arah blumbang, selalu dengan teriakan yang sama. Karuan saja bocah-bocah itu lekas mentas dan berlarian mencari tempat berlindung atau bersembunyi di dalam langgar atau tempat mereka mengaji. Dari sana mereka mengintip sosok Mbah Nyai. Ketika sosok Mbah Nyai sudah lenyap di balik pintu, mereka kembali ke blumbang, nyemplung ke dalam air pelan-pelan. Tak lama kemudian mereka akan mentas lagi, mengenakan pakaian lalu masuk langgar. Ada yang menabuh beduk, ada mengumandangkan azan asar.

Begitulah suasana blumbang itu saban siang hari, sampai ketika Mbah Nyai diketahui meninggal dengan damai, sendiri dalam sepi. Hari itu tak ada lemparan batu ke arah blumbang dan teriakan Mbah Nyai hingga anak-anak selesai bluron. Beberapa bocah memberanikan diri mengendap-endap ke rumah sepi itu. Dari lubang kunci pintu, mereka mengintip Mbah Nyai terbujur kaku di ranjang ruang tengah dalam keadaan masih mengenakan mukena. Itu hari terakhir bocah-bocah melihat sosok Mbah Nyai.

Keesokan harinya, sepulang dari sekolah, bocah-bocah itu memang kembali ke blumbang. Namun, hanya sebentar mereka berendam dalam air di blumbang itu. Wajah-wajah mereka tidak terlihat sesumringah seperti hari-hari sebelumnya.

“Ayo main ke tempat lain. Tak seru, ih,” kata salah satu dari mereka.
“Iya…,” sahut yang lain.

Mereka kemudian mentas dan berpakaian, lalu berjalan melintasi halaman langgar ke arah selatan, menyusuri gang sempit yang pendek, lalu muncul di jalan besar, persis di mulut pasar yang selalu ramai. Mereka kemudian berjalan-jalan tak tentu arah mengelilingi los-los pasar. Sesekali mereka melihat poster-poster yang tertempel di tiang-tiang bangunan pasar itu. Ada poster berwarna kuning dengan gambar pohon beringin. Ada juga poster lain berwarna hijau, tapi tak sebanyak yang berwarna kuning, bergambar Kakbah. Di tiang lain juga ada poster berwarna merah. Di sana ada gambar banteng. Dan sejak itu, mereka lebih sering bermain petak umpet di los-los pasar ketimbang bluron di blumbang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan