Branding Kaum Santri Lewat Literasi

108 views

Ihwal literasi dalam dewasa ini era 4.0 menuju 5.0 (baca: post-truth) merupakan suatu yang urgen serta “wajib” dimiliki. Saya memberikan petik kata wajib karena, jika seseorang tidak dibekali dengan literasi yang kuat, maka gampang tergelincir “masuk jurang” informasi provokasi. Sebaliknya, jika literasinya kuat, maka akan survive di era gempuran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam banyak hal telah dijelaskan bahwa literasi bukan hanya mencakup baca dan tulis. Jika orientasi cuman baca tulis, masyarakat Indonesia berarti telah berkembang. Karena, berdasarkan penelitian-penelitian, buta aksara masyarakat Indonesia di zaman sekarang ini telah mengalami penurunan dan untuk tulis, hampir semua masyarakat telah bisa menulis.

Advertisements

Kang Maman dalam banyak kesempatannya selalu mengatakan bahwa literasi secara makro itu merupakan life skill (kecakapan hidup). Kecakapan hidup, menurut Brolin, adalah suatu kontinum kemampuan dan pengetahuan yang diperlukan seseorang secara independen dalam menghadapi berbagai problema kehidupan. Menurut Depdiknas, macam-macam kecakapan hidup meliputi ada kecakapan personal (self-awareness, thinking skill), kecakapan sosial, kecapakan akademik, dan kecakapan vokasional.

Sederhananya begini. Implikasi jika kita memiliki life skill (kecakapan hidup), maka kita akan lebih aware, mengolah berpikir kritis dalam pelbagai hal dan nantinya akan menjadi orang yang lebih bijak dalam menerima informasi. Contohnya, jika mau menyebarkan informasi, tentu kita akan melakukan kajian riset mini dulu terkait informasi tersebut.

Bagaimana jika literasinya orang tidak kuat? Apa yang terjadi? Begini penejelasannya. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa minat baca masyarakat kita kaitannya dengan Ilmu itu masih rendah (malas), tetapi kalau masalah bikin status, berkomentar, bak kereta ekspres (baca: gercep). Bisa dibayangkan, tidak punya landasan bacaan tapi suka berkomentar (tentu hal-hal negatif yang keluar).

Hal tersebut kemudian dibenarkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Microsoft. Pihak Microsoft menyebutkan bahwa netizen Indonesia merupakan perhimpunan netizen dengan kategori yang tidak beretika, sangat tidak ramah. Secara mengejutkan memang betul, tidak berselang lama Instagram Microsoft diserang, dihujat oleh netizen Indonesia dengan nada yang sebenarnya tidak pantas untuk dikeluarkan.

Alih-alih instropeksi diri buat pembenahan diri, netizen Indonesia justru semakin liar. Mereka melakukan scroll mencari akun Microsoft, kemudian menyerang akun tersebut dengan berkomentar dengan nada caci maki, hate speech. Aneh, memang, justru dengan perbuatan tersebut malah mengkonfirmasi dari riset yang dilakukan pihak Microsoft.

Itulah dampaknya jika masih minim life skill. Semua yang ada dipikiran ditambah dengan tersulut emosi langsung keluar tanpa disaring sebelum sharing, tanpa dicek dan direcek, tanpa diverifikasi dan dikonfirmasi

Dari fakta yang telah tergambarkan itu, mari hendaknya menjadi pembelajaran bersama untuk diambil ibrah. Di dunia dengan segala kekompleksitasan digitalisasinya, etika literasi memang harus dipegang dan dipedomani kuat-kuat.

Dalam menanamkan sumber inspirasinya, mari mereguk keteladanan dari para santri. Dalam dunia kepesantrenan, para pengasuh secara kontinu tanpa kenal lelah mendidik menekankan aspek tradisi muwajjahah (face to face) dalam belajar, dan tradisi istinbath (mencari referensi) ke kitab-kitab turats.

Selain menjadi lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pondok pesantren juga memiliki tujuan yang mulia, yakni mendulang generasi insan al-kamil. Dalam pelaksanaanya, para kiai memberikan brainwash santri untuk selalu menggiatkan tafakkarun, ta’qilun, dan tadabbur. Tidak hanya fokus pada ranah kognitif, tapi menyentuh juga pada ranah afektif dan psikomotorik. Para santri juga ditekankan untuk mempunyai moral, perilaku budi pekerti luhur, serta berkeadaban.

Semua santri dididik secara langsung oleh para kiai dalam mencari Ilmu. Hal ini tentu yang bikin terkesima karena dengan inilah ilmu mampu didapat secara langsung dari gurunya dengan sanad yang jelas. Di sisi lain juga, para santri senantiasa mutholaah dari kitab-kitab turats. Kitab-kitab ini merupakan kitab kredibel yang telah ditulis oleh ulama-ulama terdahulu dengan kompetensi dan keahlian yang tidak perlu diragukan lagi.

Pada hakikatnya, budaya literasi yang dikembangkan pondok pesantren dari dulu hingga kini diorientasikan supaya para santri mampu mengolah otak untuk berpikir kritis dalam merespons perubahan zaman yang disertai dengan hasil proses membaca dan menulis, sehingga menghasilkan kajian yang lebih bermutu karena didasari dengan sumber kredibel.

Sikap kritis dan kreatif terhadap pelbagai kejadian atau peristiwa kehidupan inilah dengan sendirinya akan menuntun pada kecakapan personal (personal skill) yang berwujud pada kecakapan berpikir rasional (thinking skill); menggali, mencari informasi dan menemukan informasi. Dan ketika dalam konteks ingin membagikan informasi akan berpedoman pada Socrates Triple Filter Test, yakni Truthfulness (pikirkan dulu informasinya benar atau tidak), Goodness kalau sudah benar, baik atau tidak kalau disebar), dan Usefulness (kalau sudah benar dan baik, bermanfaat tidak kalau misal disebar).

Pada akhirnya, melalui budaya literasi inilah mampu melejitkan ghirah santri menjadi literat. Makanya untuk sekarang, santri menempati posisi sentral dalam mengembangkan dunia keliterasian. Jika tulisan-tulisan santri di-share secara terus menerus, saya yakin banyak orang yang iri untuk kemudian terjun di dunia literasi: “santri aja bisa, masa saya tidak”.

Dalam pengembangan kemampuan soft skill-nya, kita sangat terbantu dengan salah satu platform literasi yang mengangkat marwah santri, yakni duniasantri.co. Di dunia yang serba digitalisasi ini, platform duniasantri.co hadir menjawab tantangan serta mengajak dan mewadahi para santri menuangkan ide atau gagasannya untuk ditampilkan di Internet.

Dengan demikian, duniasantri.co telah memberikan warna tersendiri karena secara tidak langsung mem-branding para santri di mata masyarakat umum. Para santri itu kritis, para santri itu berpikir kritis, para santri itu kreatif dan inovatif.

Akhir kata, mari kita secara terus menerus menjadi bagian kecil dalam membangun geliat literasi dalam negeri. Menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang belum terjun ke dunia literasi. Karena saya yakin, para kontributor di sini telah mempunyai life skill. Contoh sederhananya, ya tidak asal cemplang-cemplong berkomentar di media baru.

Dengan konsisten menghasilkan gagasan tulisan yang sehat dan moderat tanpa adanya unsur caci maki, diskriminatif, agitasi, dan mendeskreditkan pihak lain. Tentu bukanlah suatu hal yang mustahil akan menjadikan sumber inspirasi generasi selanjutnya untuk meneruskan ikhtiar kebaikan (baca: literasi) dalam skala yang lebih besar (lokalitas-nasionalitas-globalitas). Semoga!!!

Multi-Page

2 Replies to “Branding Kaum Santri Lewat Literasi”

Tinggalkan Balasan