Diro, yang telah berusia 84 tahun, tetap hidup di tempat pembuangannya. Pria yang lahir di Boyolali pada 1936 ini, pada November 1969 diangkut dengan kapal KM Tokala, yang bergerak lamban karena penuh muatan dari Pulau Nusa Kambangan menuju Pulau Buru. Di sana, ia dibuang sebagai tahanan politik.
Di pulau pembuangan itu, ia menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang petani. Sejak ditahan di Nusa Kambangan dan kemudian dikapalkan ke Buru, Diro tak pernah lagi bertemu dengan istrinya. Istrinya meninggal karena tak kuasa menahan derita hidup bersama bayi yang ada dalam kandungan.
Saya secara tak sengaja membaca kisah Diro ini yang dimuat pada laman viva.co.id bertanggal 30 September 2020 —hari-hari saat isu komunisme dan kebangkitan PKI kembali menjadi dagangan politik. Belum selesai membaca kisahnya, ingatan saya melayang pada sebuah buku: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Diro pastilah salah seorang, atau bagian, dari cerita yang terekam dalam buku ini.
Saat itu saya masih seorang mahasiswa. Mungkin di tahun 1989 atau 1990. Buku nonfiksi karya Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, ini sering disebut dengan bisik-bisik di kalangan mahasiswa secara terbatas. Saya termasuk yang beruntung bisa memperoleh buku ini walaupun dalam bentuk fotokopian buram —mungkin karena terlalu sering difotokopi. Mata harus melotot untuk bisa mengeja huruf-hurufnya yang kabur.
Bukan perkara mudah untuk bisa memperoleh buku ini, di zaman itu. Ia hanya beredar di kalangan terbatas, sekali lagi hanya dalam bentuk fotokopian. Kita hanya bisa mendengarnya, dan memperolehnya, dari orang-orang yang benar-benar mempercayai siapa kita. Karena itu, perlu perjuangan khusus, dan juga jaringan khusus, untuk bisa memperolehnya.
Kenapa? Menyimpan, membaca, atau menyebarkan buku-buku Pram bisa menggiring kita ke bui. Di zaman keemasan rezim Orde Baru, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah salah satu barang haram dan terlarang. Menyimpannya, atau membacanya, atau menyebarkannya, kita akan dituding sebagai antek PKI, komunis, pendukung Pram, dan “selesailah kita”.
Yang saya ingat, saya memperoleh fotokopian Nyanyi Sunyi Seorang Bisu itu dari Dwijo Maksum, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Jember, yang belakangan menjadi wartawan Majalah Tempo. Tangan saya gemetaran menerimanya, dan buru-buru menyembunyikannya. Setelah itu saya sering menyendiri, sembunyi-sembunyi, untuk membacanya halaman demi halaman, dengan penuh debar dan sensasi. Sensasi menantang tirani.
Fotokopian itu benar-benar hanya saya baca sendiri, dan kemudian saya simpan rapi, hingga kini. Tentu karena saya tak berani berurusan dengan bui. Kini, Anda bisa memperolehnya dan membacanya di mana saja dan kapan saja, tanpa takut diperiksa, tanpa takut dikuntit agen-agen spionase. Tentu karena kita sudah hidup di era yang berbeda.
***
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah rekaman ironi dan tragedi kemanusiaan, lebih-lebih jika kita sandingkan dengan buku serupa, Gulag karya Aleksandr I Solzhenitsyn.
Pram memang tokoh Lekra yang terafiliasi dengan PKI. Posisinya itulah yang membuatnya diasingkan di Nusa Kambangan pasca-untran-untran 1965. Tanpa pernah diadili di depan majlis hakim, Pram kemudian diangkut kapal untuk diisolasi di Pulau Buru, pulau pembuangan itu. Di kapal itu, atau di Pulau Buru, mungkin sudah ada Diro dan puluhan ribu orang lainnya —sumber lain menyebut ratusan ribu. Mereka adalah orang-orang buangan.
Geger 1965 memang menandai pergantian rezim. Pusat kuasa berpindah dari Sukarno ke Suharto. Bandul ideologi digeser dari kiri ke arah kanan. Dan dimulailah episode balas dendam itu. Pembantaian yang satu dibalas dengan pembantaian lainnya. Pembunuhan yang satu dibalas dengan pembunuhan lainnya. Persekusi yang satu dibalas dengan persekusi lainnya. Rezim yang baru melakukan apa yang dilakukan orang-orang sebelumnya.
Sebagian kecil sisanya adalah orang-orang buangan itu, yang sebagian kisahnya terekam dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu itu.
Mereka menjadi orang-orang buangan tanpa proses peradilan. Karena tanpa melalui proses peradilan, maka tak ada bedanya apakah mereka itu benar-benar dedengkot atau anggota PKI, atau simpatisan, atau tak ada hubungannya sama sekali. Begitu sebuah nama tercatat atau tersebut, ia harus di-Buru-kan. Lalu semuanya di-dehumanisasi; begitulah yang terbaca dari Nyanyi Sunyi Seorang Bisu itu.
Mereka dibuang di pulau antah berantah itu untuk menjalani kerja paksa dengan segala siksaannya. Ada yang mati karena tak tahan melawan ganasnya alam. Ada yang mati karena intimidasi dan poporan senjata. Ada yang mati dibedil begitu saja. Ada yang menyebut jumlahnya 310. Ada yang mengira lebih. Yang tersisa adalah orang-orang seperti Diro —orang buangan di negeri sendiri.
***
Jika di Nusantara ada Buru, di Rusia (dulu Uni Soviet) ada Gulag. Apa yang terjadi di Gulag terekam dalam buku yang ditulis Aleksandr I Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago.
Episode paling gelap di Rusia ini bermula dari Revolusi Oktober 1917 atau Revolusi Bolshevik. Dipimpin Vladimir Ilyich Ulyanov atau Lenin, Revolusi Bolshevik berhasil menumbangkan rezim Karensky, dan bandul ideologi politik pun digeret ke arah kiri. Di bawah naungan ideologi komunis, Rusia, yang kemudian menjadi Uni Soviet, diperintah dengan tangan besi. Untuk menyokong kekuasaan sang rezim maka dibangunlah Gulag, satu sistem pemenjaraan paling sadis sepanjang sejarah manusia di Siberia.
Solzhenitsyn menuliskan pengalamannya berada di Gulag antara 1958 hingga 1968, dan untuk kali pertama Gulag terbit pada 1973. Jika Buru adalah tempat pembuangan orang-orang yang dituduh komunis, maka Gulag sebaliknya. Gulag adalah tempat pembuangan dan penyiksaan orang-orang yang dianggap menentang pemerintahan komunis. Setiap nama yang tercatat, atau dibisikkan seseorang, maka akan langsung dikirim ke kamp-kamp di Gulag.
Konon, sedikitnya ada 20 juta tahanan politik (plus penjahat sungguhan) yang pernah dijebloskan ke kamp-kamp dan penjara-penjara di Gulag untuk menjalani kerja paksa. Jumlah orang mati di Gulag diperkirakan 1,7 juta orang atau lebih. Ada yang mati karena kelaparan, kelelahan, sakit, tidak tahan menahan siksaan, atau tertembus timah panas yang bersarang di kepala. Seperti halnya di Buru, Solzhenitsyn menyebut apa yang terjadi di Gulag adalah dehumanisasi.
Dari Buru dan Gulag kita tahu bahwa brutalisme bisa datang dari mana saja, oleh siapa saja, tak peduli apa ideologinya, tak peduli apa agamanya. Dendam dan balas dendam adalah tempat persemaiannya.