Cahya Mentari

73 views

Deretan tebing gamping menjulur dari ufuk timur menuju ufuk barat di Pegunungan Kendeng. Nama desa ini adalah Gondang, tempat orang-orang marjinal mempertahankan hidup. Konon, tebing dan Lembah Gondang ini tercipta karena adanya proyek kereta api di Jawa pada masa penjajahan Belanda. Akhirnya tanah di sini dipendahkan oleh para pekerja rodi menuju ke jalur kereta api yang menyusuri Lamongan−Cepu dan Madiun−Kertosono. Mungkin itu hanyalah legenda, yang dikatakan oleh orang-orang tua dulu.

Ada kelompok masyarakat yang tinggal di bawah tebing itu, Lembah Gondang. Mereka hanya bisa melihat matahari di bulan November, Desember, dan Januari. Selepas itu, matahari bersembunyi di balik tebing. Penampakan matahari selama tiga bulan itu disambut dengan upacara Nyadran oleh masyarakat Gondang. Karena, bagi mereka itu adalah berkah, berkah untuk menanam berbagai sayuran dan padi yang pasti berlimpah ruah hasilnya. Selepas itu mereka hanya bisa menambang balok-balok batu kapur di kampung seberang bukit.

Advertisements

***

Sesosok bayi telah lahir tepat pada pagi pertama di bawah sorotan matahari bulan November, bertepatan dengan datangnya Ramadan. Ngaisah menyambut gembira kedatangan bayi perempuannya. Masyarakat Desa Gondang juga sangat berbahagia, karena bersamaan dengan musim tanam. Mereka serentak membuka lahan. Semua benih disemai di tanah. Dihangati sinar matahari, benih-benih itu akan tumbuh subur. Ngaisah pun memberi panggilan Cahya Mentari kepada bayinya, dengan harapan agar kelak sang anak bisa memberi penghidupan yang layak kepada orang-orang desa Gondang ini.

Selang tiga tahun setelah kelahiran Cahya Mentari, kebahagian Ngaisah tergantikan oleh duka yang dalam. Suaminya yang dicintainya telah pergi untuk selamanya. Kini ia harus menghidupi dirinya dan Cahya Mentari sendirian. Semua beban hidupnya juga harus dipikul sendirian.

***

Di suatu senja yang temaram, Ngaisah bercerita tentang masa-masa jingga bersama suaminya, Jayadi, kepada Cahya Mentari.

“Dulu Cah, ayahmu ketika masih hidup ia sama seperti kamu. Cerdas, ulet, dan ambisius. Ia berambisi ingin menggeser matahari agar selalu di atas Desa Gondang ini. Tapi aku tidak percaya, dan malah mencomohnya. Sejak itu, ia memutuskan menjadi kuli batu kumbung. Ayahmu tidak mau bermimpi lagi, padahal aku sudah meminta maaf.”

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan