Deretan tebing gamping menjulur dari ufuk timur menuju ufuk barat di Pegunungan Kendeng. Nama desa ini adalah Gondang, tempat orang-orang marjinal mempertahankan hidup. Konon, tebing dan Lembah Gondang ini tercipta karena adanya proyek kereta api di Jawa pada masa penjajahan Belanda. Akhirnya tanah di sini dipendahkan oleh para pekerja rodi menuju ke jalur kereta api yang menyusuri Lamongan−Cepu dan Madiun−Kertosono. Mungkin itu hanyalah legenda, yang dikatakan oleh orang-orang tua dulu.
Ada kelompok masyarakat yang tinggal di bawah tebing itu, Lembah Gondang. Mereka hanya bisa melihat matahari di bulan November, Desember, dan Januari. Selepas itu, matahari bersembunyi di balik tebing. Penampakan matahari selama tiga bulan itu disambut dengan upacara Nyadran oleh masyarakat Gondang. Karena, bagi mereka itu adalah berkah, berkah untuk menanam berbagai sayuran dan padi yang pasti berlimpah ruah hasilnya. Selepas itu mereka hanya bisa menambang balok-balok batu kapur di kampung seberang bukit.
***
Sesosok bayi telah lahir tepat pada pagi pertama di bawah sorotan matahari bulan November, bertepatan dengan datangnya Ramadan. Ngaisah menyambut gembira kedatangan bayi perempuannya. Masyarakat Desa Gondang juga sangat berbahagia, karena bersamaan dengan musim tanam. Mereka serentak membuka lahan. Semua benih disemai di tanah. Dihangati sinar matahari, benih-benih itu akan tumbuh subur. Ngaisah pun memberi panggilan Cahya Mentari kepada bayinya, dengan harapan agar kelak sang anak bisa memberi penghidupan yang layak kepada orang-orang desa Gondang ini.
Selang tiga tahun setelah kelahiran Cahya Mentari, kebahagian Ngaisah tergantikan oleh duka yang dalam. Suaminya yang dicintainya telah pergi untuk selamanya. Kini ia harus menghidupi dirinya dan Cahya Mentari sendirian. Semua beban hidupnya juga harus dipikul sendirian.
***
Di suatu senja yang temaram, Ngaisah bercerita tentang masa-masa jingga bersama suaminya, Jayadi, kepada Cahya Mentari.
“Dulu Cah, ayahmu ketika masih hidup ia sama seperti kamu. Cerdas, ulet, dan ambisius. Ia berambisi ingin menggeser matahari agar selalu di atas Desa Gondang ini. Tapi aku tidak percaya, dan malah mencomohnya. Sejak itu, ia memutuskan menjadi kuli batu kumbung. Ayahmu tidak mau bermimpi lagi, padahal aku sudah meminta maaf.”
“Apa ayah tiadanya sewaktu bekerja menggali batu kumbung?”
“Iya, saat hujan deras melanda kampung ini, saat kamu berusia tiga tahun, aku sebenarnya sudah melarangnya. Tapi katanya, ‘jikalau tidak bekerja sekarang, besok kita makan apa?’ Sejak saat itu ayahmu tidak pernah pulang ke rumah. Tiada orang yang menemukan di lokasi longsor di Gunung seberang.”
Ngaisah tidak mengeluarkan air mata ketika bercerita itu. Air matanya sudah kering bersama kabar suaminya yang hilang.
“Aku berharap kamu yang akan menggeser matahari agar bisa setiap hari menerangi Gondang ini. Seperti mimpi ayahmu. Bisakah kamu mewujudkannya, anakku?”
“Doakan aku, Ibu. Aku telah belajar keras dan bekerja keras untuk membantu Ibu. Sejak saat ini aku berjanji, aku akan mewujudkan impian ayah membuat tanah di sini menjadi subur, bisa panen setiap hari bagaimanapun caranya.”
***
Cahya memang anak yang pandai. Hari ini adalah kelulusannya dari SD Gondang. SD satu-satunya di desanya. Dengan mendapatkan peringkat satu dari dua puluh delapan murid yang ada di SD itu, dia melanjutkan ke SMP di kecamatannya.
Setiap subuh dia tidak lupa untuk berdzikir, membaca al-Quran, dan salat dhuha sebelum berangkat ke sekolah. Kadang, jika ia sibuk membantu ibunya menyiapkan alat untuk merawat atau memanen tembakau, ia sempatkan untuk salat dhuha di sekolahnya. Setelah pulang sekolah, ia membantu ibunya untuk memanen tembakau di desa seberang.
Ketika tekadnya mulai kendur, ia membangkitkan gairah impian ayahnya dengan cara memadang tebing yang menjulang tinggi yang berbaris dari timur ke barat. Sejauh mata memandang, di atasnya tak ada matahari. Jika malam, pemandangan di langit hanya ada separo langit selatan, bintang-bintang hanya separo, bulan pun sering malas muncul, dan bersembunyi di balik bukit-bukit angkuh. Seandainya Cahya mampu, ingin saja ia robohkan bukit-bukit angkuh itu, bukit yang rakus menelan matahari sendirian.
***
Dengan perjuangan keras, ia mampu menjadi bintang kelas untuk semester ini di SMP Gondang. Tapi dirasanya masih belum maksimal, karena ia ingin menjadi peringkat satu di SMP Gondang. Ia merasa belajarnya kurang keras, karena ia merasa sudah dianugerahi oleh Allah kecerdasan dan daya juang yang tinggi. Cuma, belum bisa mengoptimalkan waktu. Masih banyak waktu yang ia pakai tiap malam hanya untuk memandangi bukit. Beristirahat setelah membatu Ibu dan sebagainya.
Satu semester kemudian ia mencoba mengakrabi guru-guru mata pelajaran yang dirasanya sulit. Cahya mencoba menanyakan soal-soal yang tidak bisa dikerjakan ketika istirahat atau seusai bel pulang berbunyi. Syukurlah ia mulai merangkak menjadi peringkat atas di sekolahnya.
***
Siang ini setelah UAN berakhir, Pak Wicaksono, wali kelas Cahya, memanggilnya untuk menghadap. Cahya pun segera menghadap dan menuju ruang guru, namun Pak Wicaksono tak terlihat. Bu Amanda memberi tahu bahwa Pak Wicaksono sedang ada di BK, menunggu Cahya.
Langkah kecil namun cepat diayunkan oleh Cahya dari ruang guru menuju ruang BK. Langkah ini membuat Cahya tersengal-sengal saat sepatunya menginjak ruang BK. Napas itu terdengar oleh Pak Wicaksono.
“Selamat siang Cah, silakan masuk. Saya bersama Pak Ali sudah menunggumu. Silakan duduk.”
Cahya pun duduk di sebuah kursi, di depan meja dan menghadap Pak Wi dan Pak Ali. Percakapan hangat pun dimulai.
“Saya dengar kamu ingin menjadi seorang petani yang pandai, yang bisa mengubah masa depan desamu.”
“Benar Pak, saya ingin menjadi seorang yang pandai di bidang pertanian. Saya belajar keras selama ini ingin membuat masyarakat desa saya, yang hanya disinari matahari tiga bulan dalam setahun menjadi desa yang subur.”
“Kebetulan ini ada sebuah informasi, ada dua SMK yang menerima siswa berprestasi seperti kamu. Yag satu letaknya dekat sini, yaitu SMK N Gondang. Cuma, SMK ini baru dibuka dan fasilitasnya belum maksimum. Ada satu di Pasuruan, SMK N Purwosari. SMK ini sudah lama buka jurusan pertanian, laboratoriumnya lengkap, dan sudah bekerja sama dengan universitas-unversitas di Jawa Timur. Banyak siswa-siswa yang berprestasi seperti kamu yang masuk PTN tanpa tes. Jika kamu masih bisa mempertahankan prestasi seperti di sini, dan kamu berminat, saya akan membantu kamu dalam mendaftarkan.”
“Saya harus bertanya dulu kepada ibu saya, Pak.”
“Ya, jawabanmu saya tunggu, semoga keputusanmu tepat.”
***
Ngaisah belum bisa memutuskan. Keinginannya hanya melihat senyum suaminya di wajah Cahya. Semua kenangan Jayadi melekat pada Cahya. Jika Cahya pergi jauh, ke Purwosari, maka kenangan itu akan hilang dan ia akan merindukan warisan satu-satunya yang berharga dari Jayadi.
Pandangan Ngaisah tetap ke arah tebing-tebing yang angkuh, yang kekar berdiri, yang rakus menelan cahaya matahari. Jika Cahya Mentari tetap sekolah di dekat sini, maka ia sulit untuk berkembang, tapi jika jauh, apa Ngaisah mampu menahan gempuran kangen kepada anak semata wayangnya. Napas ditariknya panjang dan dilepaskan secara perlahan.
“Bagaimana menurut Ibu? Apa sebaiknya aku merantau jauh menimba ilmu di sana?”
“Mungkin iya, anakku. Jika kamu hanya di sini saja ilmu yang kamu peroleh tidak sebanyak jika kamu merantau ke luar kota.” Kata-kata ini sebenarnya menggambarkan kondisi sebaliknya dari isi hati Ngaisah.
“Ibu bisa menjaga diri, kan? Aku khawatir jika aku tidak ada di sini, ibu akan terlalu capai bekerja karena tidak ada yang membatu.”
“Ibu akan beristirahat jika merasa lelah. Ibu tak akan bekerja sekeras kemarin-kemarin, karena sekarang kamu kan sudah mendapatkan sekolah gratis. Tenangkan pikiranmu tentangku. Sekarang cuma kamu satu-satunya anak yang akan mengubah kodisi kemiskinan di desa Gondang ini.”
***
Di bulan Ramadan ini, Caya berangkat. Suara deru bus datang sambil membawa puluhan mimpi anak-anak menuju Purwosari. Bus itu menjemput Cahya Mentari, satu-satunya anak Gondang yang terpilih. Cahya Mentari pun salaman dan mencium semua tangan guru, dan yang terakhir ia mencium mesra tangan Ngaisah, ibu tercintanya. Seakan Ngaisah enggan melepaskan genggaman tangan Cahya Mentari. Semakin lama semakin erat tangan itu menggenggam jemari Cahya Mentari.
“Nak, jika kamu rindu aku, kamu bisa menelepon Pak De Mul. Kemarin, aku sudah pesan kepadanya. Nanti jika upah ibu memanen tembakau sisa, aku kirimkan uang untuk kamu beli HP. Biar aku bisa telepon atau SMS kamu Nak. Jangan lupa salat, ngaji, dan berdoa. Semoga kamu menjadi anak sukses ya, doa ibu selalu menyertaimu.”
Cahya hanya mengangguk. Ucapan itulah yang terakhir di dengar Cahya untuk beberapa minggu ke depan. Karena mulai kini, sampai bulan depan, Cahya akan disibukkan dengan kegiatan memilih asrama, mendaftar ulang, belanja kebutuhan sehari-hari, MOS, dan tetek bengek lainnya.