Carok: Hegemoni dan Kontestasi Kuasa Orang Madura

45 kali dibaca

Membaca judulnya, Carok: Praktik Kekerasan Hegemonik dalam Kontestasi Kuasa di Ranah Sosial-Kultural dan Politik, awalnya saya menerka bahwa buku ini akan memaparkan seputar carok sebagai kekerasan yang disajikan apa adanya tanpa adanya kajian terbaru.

Sebab, carok yang beredar di media sosial maupun di dunia nyata kebanyakan selalu disajikan sebagai bagian dari kekerasan semata. Ketika membincang kekerasan carok, maka pandangan jamak orang langsung tertuju pada etnis Madura, karena dianggap mempunyai ciri khas yang identik dengan stereotipe citra carok dan celurit.

Advertisements

Mendengar berita tentang carok, seolah yang ada di pikiran dan benak banyak orang tiada lain selain carok pertunjukan kekerasan yang berujung saling kelahi, babat-membabat, bunuh-membunuh satu sama lain.

Carok yang disajikan dalam buku ini memang mengurai kekerasan carok yang ada di daerah ujung Timur pulau Jawa: Madura. Namun, kekerasan carok yang diangkat dalam buku ini berbeda dengan kajian tentang carok pada umumnya.

Kali ini carok mendapatkan atensi dan perhatian serius dari berbagai kalangan, termasuk salah satunya dari para akademisi, para peneliti, dan pemerhati kekerasan dari dua perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, yaitu Universitas Airlangga Surabaya dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya.

Dalam menyajikan carok, para peneliti dan pemerhati ini mencoba menguraikan aksi kekerasan tersebut menjadi beberapa jenis, yaitu kekerasan kultural dan kekerasan kekuasaan ataupun politik.

Artinya, carok telah mengalami pergeseran nilai substansial dari kekerasan langsung menjadi kekerasan tidak langsung. Para peneliti dengan minat yang bervariasi ini memulai melakukan penelitiannya dari sejak tahun 2007 hingga tahun 2023 (hlm. 38 dan 63-70); sebuah penelitian yang sangat serius dan mendalam.

Jenis penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi terhadap informan di empat kabupaten di Madura. Masing-masing wilayah diambil beberapa informan untuk memperoleh datanya.

Tentu, kehadiran buku ini, dengan membawakan penyajian berbeda seputar kekerasan carok di Madura, patut diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya karena telah ikut serta berkontribusi menyumbangkan ide-idenya baru berupa pemikiran-pemikirannya yang begitu mendalam seputar carok.

Meskipun, sebenarnya kekerasan carok sangat sulit dihentikan dengan cara melakukan pendekatan kerja-kerja intelektual, akan tetapi sumbangsih pemikiran dari para akademisi bukan berarti tidak penting. Kerja-kerja intelektual dalam bentuk pemikiran akan sangat membantu meningkatkan kemampuan pengetahuan berpikir masyarakat Indonesia, khususnya etnik Madura tentang pentingnya menciptakan sebuah perdamaian dan kerukunan bangsa demi terselenggaranya negara aman dan kondusif (baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur).

Ada beberapa catatan penting mengapa kekerasan carok harus mendapatkan perhatian serius dari kita semua.

Pertama, carok, sebagai sumber konflik dan sebagai tindakan kekerasan sosial-kultural maupun politik, seakan-akan sudah dianggap alamiah dan diterima masyarakat sebagai suatu kebenaran. Tidak semua permasalahan harus selalu diselesaikan dengan cara-cara kekerasan atau mencarok.

Nabi Muhammad dulu pernah menghapus kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat jahiliyah, seperti praktik kekerasan, ketidakadilan, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan yang digantikan dengan mempersaudarakan mereka satu sama lain. Persaudaraan ini bukan hanya bagi umat muslim (ukhuwah islamiyyah), melainkan juga dengan komunitas non-muslim yang tinggal bersama komunitas muslim (ukhuwwah wathaniyyah).

Terkait dengan pentingnya menjaga persaudaraan ini, sehingga Nabi sendiri sampai menegaskan sendiri bahwasannya memperbaiki keadaan sekitar itu berimplikasi pada pahala yang jauh lebih utama ketimbang pahala ibadah puasa dan shalat. Mengapa pahala menjaga keadaan sekitar sangat utama, karena dampak yang dirasakan dari saling menjaga keadaan sekitar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Sementara ibadah salat dan puasa memiliki nilai pahala terhadap pelakunya secara individual.

Kedua, carok menjadi penghalang membumilabuhkan potensi cinta dalam konteks kehidupan. Perlu diketahui, etnik Madura identik dengan persaudaraan yang kuat, ramah, adem, dan santun. Sampai di sini dapat dipahami bahwa orang Madura pada dasarnya adalah penyabar dan ramah terhadap siapapun.

Bagi etnik Madura, merealisasikan kedamaian dalam konteks kehidupan ialah merupakan bentuk dari aktualisasi iman. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah, “la imana liman la amanatillah, tidak beriman orang yang tidak ada amanah.”

Kata “amanah” menurut Jalaluddin Rahmat (2021) mempunyai akar kata yang sama dengan kata iman dan aman. Sehingga, mu’min berarti yang beriman, yang mendatangkan keamanan, juga memberi dan menerima amanah.

Karena itu, ketika carok dianggap sebagai sesuatu yang alamiah, maka merealisasikan potensi cinta dalam konteks kehidupan akan menghadapi kompleksitas.

Carok mengandung dimensi negatif yang harus dihindari, energi negatif tersebut-meminjam bahasa M Quraish Shihab-musuh-musuh kemanusiaan kita semua. Dan, musuh-musuh kemanusiaan inilah yang nantinya akan mempersulit tegaknya keadilan, keramahtamahan, ilmu, dan kecukupan.

Sementara merealisasikan sahabat-sahabat kemanusiaan harus diwujudkan supaya dapat menghindari beragam penyakit seperti kebodohan, pengangguran, kemiskinan, kekerasan, penganiayaan, dan lain-lain sebagainya.

Ketika musuh-musuh kemanusiaan ini tidak segera ditangani, maka akan sangat mungkin bibit kekerasan akan terus berkembang.

Sejauh ini, kekerasan carok yang dipaparkan buku ini telah mengalami pergeseran dari kekerasan langsung yang merupakan perilaku yang mengancam individu, kini telah berubah menjadi kekerasan tidak langsung.

Dalam skema (Johan Gantung: 1969), kekerasan dapat dibedakan menjadi tiga istilah; pertama, kekerasan langsung, kedua, kekerasan struktural; ketiga, kekerasan kultural (hlm. 27). Ini menunjukkan bahwa musuh-musuh kemanusiaan (carok) itu telah benar-benar mengalami perkembangan, dan perkembangannya bergeser sebagai kekerasan yang disebut nyelep, tidak bersifat individual, bisa juga berubah menjadi carok kolektif, tidak hanya memuat dimensi kultural, namun sosial juga politik. Karena itu carok membutuhkan upaya pencegahan dari kita semua.

Buku ini hemat penulis sangat menarik karena di dalamnya memberikan perspektif berbeda tentang carok. Carok yang semula hanya dipahami sebagai kekerasan langsung yang merupakan perilaku yang mengancam kehidupan individu, tapi kini buku ini menghadirkan pembahasan carok yang tidak lagi dipahami seperti itu. Terjadi pergeseran carok, dalam arti menjadi kekerasan tidak langsung yang nantinya disebut nyelep.

Barangkali penting memiliki buku ini biar pembaca menjadi semakin paham mengenai perbedaan dari keduanya: yang mana yang dikategorikan carok, dan yang mana yang disebut nyelep. Selamat membaca.

Data Buku:

Judul : Carok: Praktik Kekerasan Hegemonik dalam Kontestasi Kuasa di Ranah Sosial-Kultural dan Politik

Penulis : Siti Aminah dkk.

Penerbit : Prenadamendia Group (Kencana)

Tahun : Mei 2024

Tebal : xviii, 146 halaman

ISBN : 978-602-383-201-9

Multi-Page

Tinggalkan Balasan