Persatuan Insan Kolintang Nasional Indonesia (PINKAN Indonesia) bekerjasa sama dengan PP Jalasenastri dan Yayasan Limeka menyelenggarakan lomba kolintang berselawat untuk memperebutkan piala bergilir Menteri Agama RI. Babak final dan pengumuman pemenang dilaksanakan tanggal 25 September 2021 di auditorium Abdurrahman Saleh RRI Jakarta.
Lomba kolintang berselawat ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan Unesco (PBB) agar kolintang diakui sebagai warisan kesenian tak-benda.. Melalui kegiatan ini, diharapkan musik kolintang dapat masuk ke berbagai komunitas yang ada di Indonesia, seperti pesantren, sekolah, majlis taklim, dan kalangan lain, khususnya generasi milenial. Selain itu, lomba ini juga dimaksudkan untuk menghidupkan budaya selawat di kalangan masyarakat Indonesia.
Lomba yang diselenggarakan secara virtual ini diikuti peserta dari seluruh Indonesia, dengan berbagai latar belakang sosial dan profesi. Mulai kalangan pesantren, ibu-ibu dari TNI, sampai komunitas ana-anak muda. Yang menarik, meskipun selawat identik dengan Islam, namun peserta lomba ini tidak hanya umat Islam, tetapi juga dari kalangan non-muslim.
Banyak kalangan yang merasa surprised dengan kegiatan lomba ini. Karena alat musik kolintang ini merupakan musik tradisional Minahasa yang identik dengan kaum Nasrani. Bagaimana alat musik yang identik dengan kaum Nasrani ini bisa mengiringi selawat yang identik dengan Islam?
Sebagai alat musik umat Nasrani, sudah pasti peserta lomba ini ada dari umat non-muslim. Lalu bagaimana hukumnya jika ada non-muslim yang ikut melantunkan selawat dalam lomba ini?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang muncul sebelum lomba ini dilaksanakan. Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, panitia bertanya kepada beberapa orang. Bahkan ketua panitia sempat menemui penulis untuk mengajukan pertanyaan tersebut.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan dan keraguan panitia, penulis menjelaskan beberapa pandangan ulama dan sejarah Islam yang terkait dengan sikap non-muslim yang membela dan mencintai sehingga ikut menyenandungkan pujian dan berjuang bersama Nabi.
Mengenai hukum non-muslim yang ikut membaca atau atau menyenandungkan selawat, pandangan beberapa ulama menyatakan bahwa hukumnya adalah boleh. Pandangan ini didasarkan pada suatu riwayat yang menyebutkn bahwa non-muslim boleh ikut membaca azan. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Bayan fi Madhahibil Imam Syafi’I, bahwa Abu Mahzurah dan Abu Samiah ikut-ikutan meniru mengumandangkan azan ketika keduanya masih berstatus non-muslim. Jika non-muslim boleh mengumandangkan azan, maka puji-pujian yang berupa selawat juga boleh disenandungkan atau dikumandangkan oleh non-muslim.
Alasan kedua, selawat adalah bentuk ungkapan puji-pujian kepada Nabi, suatu syair yang ditujukan untuk memuliakan Nabi. Dalam sejarah Islam, ada banyak orang non-muslim yang memberikan penghormatan dan perlindungan kepada Nabi. Mereka tidak sekadar menyenandungkan syair pujian berupa selawat, tetapi bahkan ada yang ikut berjuang bersama Nabi hingga gugur di medan perang.
Hal sini sebagaimana dintunjukkan oleh Mukhayriq. Mukhayriq adalah seorang Yahudi penduduk Madinah yang ikut berjuang bersama Nabi Muhammad dalam perang Uhud. Diceritakan oleh Ibn Ishaq, saat Madinah sedang dikepung musuh, Nabi mengajak kaum Yahudi berjuang bersama-sama mempertahankan Madinah, sesuai dengan perjanjian yang tertulis dalam Piagam Madinah. Tapi, ajakan Nabi tidak direspons oleh kaumYahudi. Melihat hal ini Mukhayriq akhirnya mendesak orang-orang Yahudi agar menepati perjanjian tersebut dengan berjuang bersama Nabi untuk mempertahankan Madinah. Namun tetap saja tak ada satu pun orang Yahudi yang menanggapi apalagi memenuhi ajakan Mukhayriq tersebut.
Melihat sikap kaumnya yang mengingkari janji, akhirnya Mukhayriq sendirian menepati janji, turun ke medan perang, berjuang bersama Nabi. Saat bersiap menuju medan perang dia berjanji, kalau sampai dia terbunuh dalam pertempuran seluruh hartanya diserahkan kepada Nabi. Dan Nabi berhak menggunakan harta tersebut untuk kepentingan apa pun. Dalam perang Uhud Mukhayriq ikut bertempur di pihak Nabi hingga terbunuh. (Dhahabi; 242)
Non-muslim lain yang melindungi dan membela Nabi adalah Mut’im bin Adi. Ketika Nabi Muhammad sedang dalam tekanan dan ancaman fisik, Mut’im dengan gagah berani memberikan perlindungan secara fisik kepada Nabi. Disebutkan dalam sejarah Islam, dalam lindungan dan pengawalan Mut’im, Nabi dapat melaksanakan salat dua rakaat dan setelah selesai salat, Mut’im dan anak buahnya mengantar Nabi ke rumah (Al-Qahtani; 144). Jasa Mut’im ini dikenang oleh Nabi, sehingga saat terjadi perang Badr di mana umat Islam memenangkan pertarungan, Nabi menyatakan bersedia memaafkan kaum Quraish yang menjadi tawanan demi Mut’im (Hadis Bukhari; 4023).
Sososk non-muslim lainnya yang membela Nabi Muhammad adalah Raja Abyssinia, sering juga disebut Habasyah (Etiopia) yang bernama Najashi. Raja Najashi ini memberikan perlindungan kepada Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang hijrah ke Habasyah karena diancam dan dikejar-kejar oleh kaum Quraish. Ketika Nabi dan para sahabat sudah dalam perlindungan Raja Najashi, kaum Quraish tetap berusaha mengejar dan mempengaruhi sang raja agar mengusir atau menyerahkan Nabi dan para sahabatnya kepada mereka.
Untuk memepengaruhi raja Najashi, kaum Quraish mengirim utusan dan hadiah untuk raja. Namun, Raja Habasyah menolak hadiah tersebut dan menyatakan tidak bersedia mengembalikan Nabi dan para sahabat yang telah menjadi tamu terhormatnya (Al-Qahtani; 140). Sikap Raja Najashi timbul setelah dia mengetahui keindahan ajaran Islam yang tidak mencela Yesus dan Maria.
Jelas di sini terlihat, membela Nabi Muhammad tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, tetapi juga boleh dilakukan oleh umat non-muslim. Demikian juga memuji dan mengagumi Nabi Muhammad boleh dilakukan oleh orang non-muslim. Logikanya, umat non-muslim membela dan berjuang bersama Nabi diperbolehkan, apalagi sekadar memuji dan menghormati Nabi dengan membaca syair dan selawat. Inilah yang menjadi dasar dibolehkannya umat non-muslim menyenandungkan selawat dan syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad.
Dalam pandangan Islam, umat non-muslim boleh menjalankan dan menggunakan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan mereka, termasuk memuji dan menghormati Nabi Muhammad. Yang tidak diperbolehkan adalah mencaci, melecehkan, dan mencela Nabi Muhammad dan ajaran Islam. Jangankan umat non-muslim, umat Islam sekalipun tidak diperbolehkan meniasta ajaran dan amalan ummat Islam, meskipun hal itu dilakukan atas nama Islam.
Melalui lomba kulintang berselawat ini, kita dapat menyaksikan bagaimana indahnya beragama. Karena melalui lomba ini, semua orang bisa memuja Nabi dan mengekspresikan keindahan dalam beragama meski berbeda-berbeda.
Selawat dengan kearifan lokal?