Siang menjelang sore, 15 Juni 2021, penulis kedatangan rombongan panitia lomba kolintang berselawatyang dimpimpin oleh Ibu Nany Suryo, di kampus UNUSIA Jakarta. Setelah memperkenalkan diri dan menyampaikan rencana penyelenggaraan acara lomba kolintang berselawat, Bu Nany langsung bertanya pada penulis.
“Apakah boleh mengiringi selawat dengan musik kolintang?”
“Memang kenapa, Bu?” penulis balik bertanya .
“Kan, kolintang musik tradisional Minahasa yang identik dengan alat musik Nasrani.”
“Sejak kapan alat musik punya agama?”
“Iya sih, tapi saya khawatir lomba kolintang berselawat ini akan menimbulkan kontroversi. Kita, dari panitia, kan niatnya baik, ingin mensyiarkan selawat dan memasyarakatkan kolintang sebagai khazanah musik Nusantara.”
“Lha itu piano, organ, gitar, kan semuanya alat musik kafir, sekarang malah dipakai mengiringi selawatan dan tak ada masalah.”
“Berarti tidak apa-apa, ya, berselawat diiringi kolintang?”
“Ya tidak apa-apa, wong niatnya untuk kebaikan. Yang tidak boleh itu kalau digunakan untuk merusak dan berniat membuat permusuhan.”
Mendengar penjelasan penulis, Bu Nany mengaku makin mantap untuk menyelenggarakan event tersebut. Untuk menguatkan hati panitia dan pengurus PINKAN, penulis menjelaskan dasar argumen mengenai transformasi alat musik dalam Islam.
Di depan rombngan panita lomba kolintang berselawat itu, penulis menjelaskan, secara historis dan antropologis musik rebana yang dianggap sebagai musik Islam. Sebelum diidentikkan sebagai musik Islam, rebana juga dipakai oleh kaum Quraisy jahiliyah untuk mengiringi pembacaan pusisi dan nyanyi. Pada era jahiliyah (pra-Islam), sering diselenggarakan kontes pembacaan puisi diiringi dengan berbagai alat musik, termasuk rebana. Festival puisi ini biasanya dilakukan di sekitar Kakbah. Puisi terbaik akan dipajang di dinding Kakbah untuk dibaca dan dihafal. Selain untuk mengiringi puisi, rebana (dan alat musik lainnya) juga berperan dalam ritual yang bersifat mistik dan sihir.
Pada era Nabi Muhammad, alat musik rebana yang sering digunanakan kaum jahiliyah Quraisy untuk mengiringi pembacaan syair dan riutal mistik ini digunakan oleh kaum Anshor untuk menyambut kedatangan Nabi di Madinah. Sejarah mencatat, sebagai ekspresi kebahagiaan atas kedatangan Nabi Muhammad yang hijrah ke Madinah, mereka berbaris di tepi jalan sambil menabuh rebana dan menyanyikan syair “thala’al bdru” (terbitnya sang rembulan). Setelah itu, rebana banyak dimainkan kaum muslimin saat hari pernikahan dan hari raya. Bahkan pada hari-hari bahagia seperti saat merayakan kemenangan perang, para sahabat memainkan rebana.
Peristiwa ini menunjukkan adanya transformasi penggunaan alat musik rebana yang semula identik dengan alat musik jahiliyah yang musyrik ternyata dapat diadopsi oleh ummat Islam untuk mengekspresikan kebahagiaan dan suka cita sebagai wujud rasa syukur kepada Allah. Bahkan musik yang berasal dari kaum jahiliyah ini sekarang menjadi indentitaas sebagai musik Islam.
Pola adaptasi alat musik oleh kaum muslimin ini juga terjadi pada beduk. Menurut pemaparan Dwi Cahono, seorang arkeolog dan Universitas Negeri Malang, beduk merupakan alat musik yang sudah ada sejak zaman pra-sejarah. Artinya, zaman sebelum Islam datang. Dalam Kidung Malat, kitab yang ditulis pada era Majapahit, disebutkan fungsi beduk adalah sebagai media untuk memanggil masyarakat agar berkumpul untuk melakukan persiapan perang (pupuh XLIX). Sedangkan, di daerah lain, beduk berfungsi sebagai maskawin, upacara minta hujan, dan ritual keagamaan lainnya.
Seorang ahli etno musikologi, Joko Suratno, menyatakan, beduk juga menjadi penanda pelaksanaan ibadah, sehingga banyak dipasang di kuil dan wihara umat Hindu dan Buddha. Selanjutnya, oleh Wali Songo, beduk yang identik dengan alat musik umat Hindu dan Buddha ini dipasang di masjid sebagai penanda waktu salat, sekaligus alat untuk mengundang masyarakat agar datang ke masjid untuk melakukan salat jamaah. Sebelum era Wali Songo, transformasi fungsi alat musik beduk sudah dilakukan Laksamana Cheng Ho, seorang pemimpin pasukan China yang melakukan ekspedisi ke Nusantara dan memperkenalkan beduk sebagai penanda mengumpulkan pasukan dan waktu salat. Sejak saat itu, di kalangan masyarakat Nusantara beduk menjadi identik dengan Islam.
Selanjutnya, proses transformasi fungsi alat musik dilakukan oleh Wali Songo untuk gamelan. Pada awalnya gamelan adalah alat musik yang identik dengan agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan lokal Jawa. Banyak narasi mistik yang dikonstruksi terhadap alat musik gamelan ini.
Misalnya, dalam mitologi Jawa, gamelan merupakan hasil karya Sang Hyang Guru. Penciptaan gamelan dilakukan di Gunung Mahendra di Medangkamulan (Gunung Lawu) pada era Saka. Pertama diciptakan satu gong untuk memanggil para dewa, kemudian berkembang menjadi seperangkat gamelan.
Dalam kepercayaan umat Hindu, gamelan merupakan salah satu unsur dari Panca Swara. Bunyi gamelan dalam ritual keagamaan Hindu diyakini dapat menghadirkan arwah para dewa dan menjadi media utuk mengantarkan manusia mencapai moksa. Sebagaimana disabdakan oleh Hyang Bagawan Naradha kepada seluruh umat maanusia, bahwa untuk mencapai moksartan jagadnata ya caiti dharwa dapat dilakukan melalui seni bunyi-bunyian yang bersusmber dari gamelan (Wayan Sueca). Dengan demikian, gamelan memiliki fungsi dan peran penting dalam agama Hindu. Ia tidak sekadar alat musik, tetapi menjadi bagian dari instrumen peribadatan.
Peran dan fungsi gamelan dalam agama Hindu-Budha ini diadopsi oleh Wali Songo dalam berdakwah. Dalam konsteks Islam, Wali Songo mentransformasikan makna, ajaran, dan nilai-nilai yang ada dalam gamelan dengan mempertahankan fungsinya. Artinya, Wali Songo tetap memperthaankan fungsi gamelan sebagai sarana mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai dan ajaran agama dengan memberikan tafsir baru yang bernuansa Islam. Di sini terjadi transformasi nilai dan ajaran dari Hindu-Budha ke Islam.
Hal ini terlihat pada pemaknaan terhadap berbagai unsur yang ada dalam gamelan. Misalnya, “gong” dimaknai sebagai “Yang Maha Agung,” yaitu Allah Swt. “Bonang” yang berasal dari kata “babon” dan “menang” yang berati kemenangan sejati adalah ketika seseorang dapat mengalahkan nafsunya. “Penerus”, yang berarti orang yang meneruskan dan dimaknai ajaran dan dakwah Islam harus disampaikan secara terus-menerus oleh generasi berikutnya. “Saron”, berarti seru (lantang), maknanya dakwah Islam harus dilakukan dengan suara lantang dan tekun. Dan sebagainya.
Selain memberikan makna terhadap jenis-jenis alat musik gamelan, para wali di masa itu juga memberikan penafsiran terhadap bunyi gamelan. Misalnya, bunyi “ning” yang berarti “wening” atau “hening” tafsinrnya manusia harus selalu hening agar dapat mendengarkan suara hatinya, sehingga tidak hanyut dalam realitas dunia. “Nang” yang berarti “menang”, orang yang dapat “ning” akan memperoleh kemenangan. “Nung” berarti “ndunung” maknanya dalam ‘nung” sejati akan mampu menangkap cahaya suci ilahi. “Gung” yang berarti Allah yang Maha Agung.
Secara keseluruhan bunyi gamelan dimaknai, siapa saja yang mampu menjaga diri tetap dalam suasana hening dia akan mampu menangkap caha ilahi dan tampil sebagai pemenang saat menghadap Ilahi.
Dari paparan ini jelas terlihat bahwa alat musik itu tidak memiliki agama. Alat musuk apa saja dan berasal dari mana saja bisa dijadikan sebagai sarana untuk menanamkan ajaran agama dan mengekspresikan keindahan agama. Dengan demikian, alat musik kolintang yang selama ini identik dengan umat Nasrani Minahasa, dapat digunakan oleh siapa pun dan pemeluk agama apa pun untuk menyampaiakan pesan kebaikan dan mengekspresikan keindahan dari setiap agama.
Setelah mendapat penjelasan panajang lebar dari penulis, Bu Nany langsung berkoordinasi dengan Ibu Peny Marsetio sebagai Ketua PINKAN Indonesia. Panitia menjadi semakin mantap melangkah untuk menyelenggarakan event lomba kolintang berselawat. Sehingga, akhirnya lomba ini dapat terselenggara secara sukses, karena berhasil merajut keberagaman Nusantara melalui seni kolintang.