Catatan Ramadan: Meneguhkan Spiritualitas Kemanusiaan

15 views

Memasuki malam-malam Nuzulul Quran, tentu sangat membutuhkan kekuatan ekstra untuk tetap konsisten dalam menjalani ibadah puasa dan amal ibadah yang lain selama Ramadan. Kebaikan-kebaikan terus dilantunkan bersama dengan bunyi-bunyi TOA di kampung dan kota-kota besar.

Seakan-akan puasa Ramadan tidak lengkap tanpa nyanyian ayat-ayat suci, serentak azan dan selawat di surau dan masjid. Bulan Ramadan adalah ladang untuk menanam pahala dan membajak keangkuhan dan sifat buruk lainnya. Lagi-lagi ini tahun kedua, ibadah puasa dilaksanakan dengan keterbatasan, kondisi terpuruk dan persoalan-persoalan sosial, budaya, dan keagamaan belum selesai.

Advertisements

Kemarin, pada Englightenment Session Ramadan #12, Nurcholish Madjid Society melaksanakan diskusi online di Instagram. Kebetulan pembicaranya adalah Buya Husein Muhammad. Dengan gaya khasnya, Buya Husein menjelaskan ibadah puasa dan relasi kemanusiaan dalam ruang lingkup Indonesia.

Beliau menyoroti agama yang bermakna ad-din, adalah ruh sekaligus cahaya yang hadir kepada manusia dalam kerangka kemanusiaan. Hal ini berbeda dengan makna syariah yang dikatakan sebagai jalan atau jarak manusia untuk menelusuri jalan menuju Tuhan.

Tuhan mempunyai hak otoritas dalam ibadah puasa, sehingga kontrol atas pikiran, hati, dan tindakan manusia berada di tangan Tuham. Tapi, puasa bukan hanya ibadah yang mengandalkan kedalaman dan kesalehan individu dan spiritual, melainkan harus menyentuh dimensi kemanusiaan. Karena puasa sepenuhnya diprogram dalam ranah kemanusiaan.

Mencintai manusia pada dasarnya adalah mencintai Tuhan. Dari sini Buya Husein ingin menegaskan bahwa ibadah puasa lagi-lagi bukan hanya tentang relasi hamba dan Tuhannya, tetapi juga ada persinggungan hamba dengan hamba yang lain.

Selain kita diperkenalkan dengan banyak tokoh, dalam kesempatan ini, juga syair-syair yang begitu puitis kerap terdengar. Secara tidak sadar, kekuatan sastrawi inilah yang bikin jatuh cinta pada beliau.

Buya Husein juga mengutip perkataan Imam Al-Ghazali, bahwa “Jangan remehkan orang-orang yang membutuhkan bantuanmu, yang menunggu lama di depan pintu rumahmu, berhati-hatilah karena itu bahaya sekali, manakala ada orang yang membutuhkanmu, kamu jangan sibuk ibadah sunah, karena memenuhi kebutuhan kaum muslimin yang membutuhkan lebih utama dari mengerjakan ibadah sunnah.”

Jadi, aspek kemanusiaan dalam ibadah puasa juga sangat ketat. Kita dituntut untuk bersahabat dengan manusia yang lain, mengupayakan untuk terus mengulurkan tangan, salah satunya dengan kegiatan bagi-bagi takjil serta mengeluarkan zakat mal dan zakat fitrah di bulan Ramadan bagi yang mampu. Hal ini merupakan ekspresi dari cinta terhadap orang-orang yang hidupnya berada di posisi kurang beruntung, mereka yang hatinya terluka dan mereka yang ruang hidupnya dieksploitasi sedemikian rupa. Inilah potret dari puncak cinta kepada Tuhan, selalu mencintai manusia atas dasar kemanusiaan.

Buya Husein juga menegaskan bahwa visi utama agama adalah minimal menyembuhkan hati orang yang terluka. Dalam artian bahwa, ketika ada tetangga atau teman yang sedang ditimpa musibah, hatinya dirundung sedih dan mengalami kesusahan, maka kewajiban kitalah untuk menolong dan menjadi teman yang baik. Hal ini seperti yang Al-Ghazali katakana, bahwa mengutamakan orang yang membutuhkan kita adalah suatu keharusan dari pada melaksanakan ibadah sunnah.

Lebih lanjut, dalam ibadah puasa ada tiga hal yang perlu untuk terus diperhatikan secara serius: Pertama, mampu mengendalikan anggota tutuh. Tubuh kita bukan hanya dicegah untuk tidak diisi dengan makan dan minum saja, tetapi juga tidak menyakiti orang lain, tidak menjadikan individu atau kelompok lain sebagai objek yang harus dijarah habis-habisan. Pengendalian ini merupakan kegiatan yang mencoba untuk melakukan sesuatu yang tampak di luar kita dan dirasakan secara nyata setiap hari.

Kedua, bisa mengelola akal dan pikir, berangkat dari pemahaman bahwa struktur pengetahuan manusia seperti piramida, semakin ke atas akan tambah mengerucut; mayoritas, (menerima keagamaan dengan tekstualitas), berakal (mengelola akal pikiran, akal yang mengendalikan anggota tubuh kita), dan mengelola hati (tingkatan sufistik) berbicara pengalaman diri. Akal harus berfungsi karena dari sini akan melahirkan sebuah tindakan yang amat besar pengaruhnya terhadap relasi manusia dengan Tuhan, manusia, dan alam.

Ketiga, mampu mengelola hati. Kita harus punya sifat-sifat seperti Tuhan. Seperti kasih sayang, di mana Tuhan mampunyai sifat penyayang terhadap makhluknya. Tanpa memandang agama, suku, dan bahasa. Karena kita tahu, bahwa Tuhan dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda untuk saling kenal satu sama lain, bukan hanya untuk mengenal, melainkan untuk saling berbagi, menghormati, dan mencintai di atas perbedaan tersebut.
Pada dasarnya ibadah puasa adalah proses menjadi manusia spiritual untuk mencintai kemanusiaan.

Tanpa kemanusiaan ibadah puasa hanya menjadi ritual yang kosong, gersang, dan tidak mempunyai roh apa pun. Dengan demikian, tujuan puasa ialah bagaimana bisa mewujudkan cita-cita agama, yaitu etika dan moralitas kemanusiaan. Bukan hanya dimensi individual, tetapi perlu hadirnya dimensi sosial yang perlu diperbaiki dalam masyarakat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan