Dalam menulis, saya seringkali diselamatkan oleh waktu yang meminta menunggu atau kadang oleh sesuatu yang menganggu. Endingnya, beruntung saya tak jadi menuliskannya —tapi kadang juga sebaliknya.
Tentu saja ini berkaitan dengan pengalaman menulis artikel atau opini atau esai tentang suatu subjek. Kalau berkaitan dengan menulis berita atau news, misalnya, tak boleh ada waktu yang meminta menunggu; tak boleh ada sesuatu yang menganggu. Sebab, berita atau news memang wajib dihadirkan sesegera mungkin. Atau yang berkaitan dengan karya fiksi yang punya kaki bernama imajinasi, yang memiliki kebebasan menjelajah sampai ke ruang antah berantah.
Hal-hal itu lain dengan penulisan artikel atau opini atau esai tentang suatu subjek yang memerlukan permenungan dengan teliti. Saya tidak tahu apakah umumnya para penulis juga mengalami hal-hal seperti ini, atau punya pengalaman seperti yang saya alami.
Seringkali ketika saya hendak menulis suatu subjek, dalam bentuk opini atau esai, kadang malah sudah menyiapkan judulnya atau bahkan menuliskan kalimat pembukanya, tiba-tiba proses itu terhenti. Seperti ada perintah dari sang waktu: tunggu dulu! Akhirnya tulisan itu saya tinggalkan dan mengerjakan yang lain.
Atau, seringkali ada sesuatu yang mengganggu sehingga saya tak jadi menuliskannya. Mungkin terantuk dengan kesibukan lain. Mungkin direbut oleh topik tulisan yang berbeda. Mungkin direcoki oleh perkara-perkara teknis nan sepele. Mungkin saja juga oleh kemalasan. Tapi, apa pun penyebabnya, akhirnya rencana menulis jadi tertunda.
Belakangan, di kemudian hari, ketika terjadi suatu peristiwa, atau ketika ada fenomena baru muncul yang berkaitan dengan subjek-subjek yang hendak saya tulis itu, saya sering berguman sendiri: beruntung saya tak jadi menuliskannya. Betapa pilonnya jika saya jadi menuliskannya berdasarkan perspektif yang terbangun ketika itu.
Ada beberapa contoh, yang tanpa perlu merujuk ke nama-nama tertentu, kita akan tahu subjek yang dimaksud. Salah satunya ini: ada seorang pemuda dari Gen-Z yang tiba-tiba menjadi ketua umum sebuah partai politik. Fenomenal sekali. Kepada seorang teman, saya bercerita sudah punya judul menarik untuk membuat tulisan tentang fenomena ini dari satu perspektif baru. Dia lantas memberikan jempolnya. Tapi ketika hendak menuliskannya, saya seperti menerima bisikin sang waktu: tunggu dulu. Akhirnya saya batal menulis, dan di arsip laptop hanya tersisa judulnya: “Selamat Datang Sang …” Andai tulisan itu jadi dirilis, hari ini ia akan memojokkan saya ke ruangan sempit yang berbau busuk.
Hal-hal seperti itu sering saya alami. Berdasarkan pengalaman itu, menulis ternyata memang bukan sebatas perkara keterampilan teknis tentang bagaimana membuat tulisan yang baik dan enak dibaca. Juga bukan sebatas perkara memiliki segudang pengetahuan dengan perspektif yang beragam. Apalagi sekadar agar tulisan kita dibaca banyak orang. Tapi, saya merasa ada sesuatu yang berada di luar ruang-diri, yang bisa mendorong untuk menulis atau sebaliknya. Ada selain kita yang “cawe-cawe” dalam proses penulisan. Entah apa namanya.