Cerita, Bahasa, dan Lingkungan Kita*

119 kali dibaca

Setiap tiba di angka 29 bulan Mei, saya seolah melihat sosok yang melambaikan tangan, memaksa untuk kembali mengenang tragedi semburan lumpur Lapindo Sidoarjo, Jawa Timur. Kebetulan saya memang memiliki imajiansi personal tentang semburan dan pengalaman-pengalaman menyesakkan yang menyertainya. Kala semburan itu muncul, saya sedang nyantri di sebuah pesantren yang tak jauh dari lokasi semburan. Saya menjadi orang yang menikmati sungai Porong pra dan pascasemburan. Sungai Porong yang berlimpah ikan (terutama ikan sapu-sapu) mendadak berubah menjadi tempat pembuangan lumpur dengan aroma yang menurut kacamata medis cukup berbahaya saat dihirup dari jarak dekat.

Ironisnya, pengalaman menyesakkan itu harus ditambah dengan ‘cerita-cerita’ yang tampak menyembunyikan fakta, yakni ‘cerita’ tentang semburan lumpur Lapindo dan semburan lumpur Sidoarjo. Di beberapa media lokal dan nasional, judul-judul berita tidak secara ‘sepakat’ menyebutnya semburan lumpur Lapindo, tetapi ada juga yang menyebutnya dengan semburan lumpur Sidoarjo.

Advertisements

Berdasarkan perspektif studi wacana kritis, ada dugaan upaya pengaburan aktor kerusakan ekologis lewat pemilihan kosakata: antara menyebut aktor (Lapindo) atau domain (Sidoarjo). Saat semburan lumpur dibentuk menjadi frasa semburan lumpur Lapindo, fokus ‘cerita’ yang saya terima adalah aktor di balik semburan lumpur (PT Lapindo). Sementara, ketika semburan lumpur dibentuk menjadi frasa semburan lumpur Sidoarjo, fokus ‘cerita’ yang saya terima adalah lokasi semburan lumpurnya. Sederhananya, pihak yang bertanggung jawab atas semburan lumpur adalah PT Lapindo (jika menggunakan frasa semburan lumpur Lapindo) atau wilayah Sidoarjo itu sendiri (jika menggunakan frasa semburan lumpur Sidoarjo). Sebagai domain, Sidoarjo tidak bisa dimintai pertanggungjawaban karena ia bukan aktor.

Oleh sebab itu, frasa semburan lumpur Sidoarjo menyiratkan bencana alam, sedangkan frasa semburan lumpur Lapindo menyiratkan kesalahan kerja. ‘Cerita-cerita’ seperti inilah yang kian menyesakkan dada saya; bahwa dalam program dengan tujuan keuntungan personal (baik perorangan maupun kepentingan kelompok), alam tetap saja menjadi pihak yang dikambing-hitamkan. Yang jauh lebih berbahaya, ‘cerita’ merupakan sumber rahasia nilai-nilai dalam masyarakat. Bahkan Okri (1996) dalam Birds of Heaven mengungkapkan bahwa cerita-cerita yang dijalani oleh sebuah bangsa dapat mengubah nilai-nilai yang diyakini oleh bangsa tersebut. Tak jauh berbeda dengan hipotesis yang diajukan oleh Sapir-Whorf yang menyatakan bahwa bahasa memengaruhi pikiran. Jika ‘cerita’ yang lebih dipercaya masyarakat adalah semburan lumpur Sidoarjo daripada semburan lumpur Lapindo, bagaimanakah masa depan lingkungan kita ini?

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan