Cerita, Bahasa, dan Lingkungan Kita*

120 kali dibaca

Setiap tiba di angka 29 bulan Mei, saya seolah melihat sosok yang melambaikan tangan, memaksa untuk kembali mengenang tragedi semburan lumpur Lapindo Sidoarjo, Jawa Timur. Kebetulan saya memang memiliki imajiansi personal tentang semburan dan pengalaman-pengalaman menyesakkan yang menyertainya. Kala semburan itu muncul, saya sedang nyantri di sebuah pesantren yang tak jauh dari lokasi semburan. Saya menjadi orang yang menikmati sungai Porong pra dan pascasemburan. Sungai Porong yang berlimpah ikan (terutama ikan sapu-sapu) mendadak berubah menjadi tempat pembuangan lumpur dengan aroma yang menurut kacamata medis cukup berbahaya saat dihirup dari jarak dekat.

Ironisnya, pengalaman menyesakkan itu harus ditambah dengan ‘cerita-cerita’ yang tampak menyembunyikan fakta, yakni ‘cerita’ tentang semburan lumpur Lapindo dan semburan lumpur Sidoarjo. Di beberapa media lokal dan nasional, judul-judul berita tidak secara ‘sepakat’ menyebutnya semburan lumpur Lapindo, tetapi ada juga yang menyebutnya dengan semburan lumpur Sidoarjo.

Advertisements

Berdasarkan perspektif studi wacana kritis, ada dugaan upaya pengaburan aktor kerusakan ekologis lewat pemilihan kosakata: antara menyebut aktor (Lapindo) atau domain (Sidoarjo). Saat semburan lumpur dibentuk menjadi frasa semburan lumpur Lapindo, fokus ‘cerita’ yang saya terima adalah aktor di balik semburan lumpur (PT Lapindo). Sementara, ketika semburan lumpur dibentuk menjadi frasa semburan lumpur Sidoarjo, fokus ‘cerita’ yang saya terima adalah lokasi semburan lumpurnya. Sederhananya, pihak yang bertanggung jawab atas semburan lumpur adalah PT Lapindo (jika menggunakan frasa semburan lumpur Lapindo) atau wilayah Sidoarjo itu sendiri (jika menggunakan frasa semburan lumpur Sidoarjo). Sebagai domain, Sidoarjo tidak bisa dimintai pertanggungjawaban karena ia bukan aktor.

Oleh sebab itu, frasa semburan lumpur Sidoarjo menyiratkan bencana alam, sedangkan frasa semburan lumpur Lapindo menyiratkan kesalahan kerja. ‘Cerita-cerita’ seperti inilah yang kian menyesakkan dada saya; bahwa dalam program dengan tujuan keuntungan personal (baik perorangan maupun kepentingan kelompok), alam tetap saja menjadi pihak yang dikambing-hitamkan. Yang jauh lebih berbahaya, ‘cerita’ merupakan sumber rahasia nilai-nilai dalam masyarakat. Bahkan Okri (1996) dalam Birds of Heaven mengungkapkan bahwa cerita-cerita yang dijalani oleh sebuah bangsa dapat mengubah nilai-nilai yang diyakini oleh bangsa tersebut. Tak jauh berbeda dengan hipotesis yang diajukan oleh Sapir-Whorf yang menyatakan bahwa bahasa memengaruhi pikiran. Jika ‘cerita’ yang lebih dipercaya masyarakat adalah semburan lumpur Sidoarjo daripada semburan lumpur Lapindo, bagaimanakah masa depan lingkungan kita ini?

‘Cerita-Cerita’ yang Bisa Dipercaya

Berkaca dari deksripsi tersebut, media memiliki peran yang sangat penting terhadap keyakinan manusia karena posisinya sebagai pemroduksi sebuah ‘cerita’. Melalui ‘cerita-cerita’ yang disuguhkan oleh media, manusia akan membangun sebuah ruangan kecil di pikirannya yang bernama pertimbangan, yang pada akhirnya nanti dimasukkan ke dalam ruangan kecil di dalam hatinya yang bernama keyakinan. Fenomena #AllEyesOnPapua telah menjadi bukti tentang pola ini, karena penolakan suku Awyu terhadap projek perkebunan sawit sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2017 (projectmultatuli.org ) —namun dukungan kian masif saat media sosial benar-benar dimanfaatkan untuk kampanye ekosentris. Atas dasar inilah, (semua) media sudah saatnya menyajikan ‘cerita-cerita’ yang selama ini disembunyikan lewat ‘permainan’ bahasa.

Martin Lee Mueller (2017) dalam Being Human Being Salmon menulis sebuah kalimat reflektif bahwa kita masih hidup dalam ‘cerita’ yang berorientasi manusia —alam dianggap sebagai bagian yang jauh terpisah dari manusia. Kita hidup di tengah-tengah ekosida yang sistemik, sehingga sebelum kehancuran itu terjadi, manusia perlu menjalani ‘cerita-cerita’ baru untuk dipercayai. Sebuah cerita yang bukan antroposentris, tetapi ekosentris yang menempatkan lingkungan sebagai pusat ‘cerita’ dengan segala makhluk hidup (termasuk manusia) di dalamnya.

‘Cerita-cerita’ ini menurut Stibbe (2021) dalam Ecolinguistics, tidak cukup hanya disajikan dalam novel di sudut-sudut baca yang sepi pengunjung; dikisahkan dalam dongeng-dongeng pengantar tidur; atau diceritakan dalam kehangatan di hadapan api unggun. ‘Cerita-cerita’ ini seyogianya hadir dalam teks-teks yang menjadi bagian cerita keseharian manusia, seperti iklan-iklan dan laporan berita di berbagai media massa. Iklan maupun berita-berita tersebut setidaknya memiliki pertimbangan keberlangsungan ekologis, karena ‘cerita-cerita’ dalam iklan dan berita sebagai struktur kognitif dapat memengaruhi cara manusia berpikir, bertutur, dan bersikap.

Secara garis besar, menurut Stibbe, ‘cerita’ yang desktruktif membutuhkan ‘cerita’ alternatif untuk menjaga keberlangsungan ekologis. ‘Cerita’ yang destruktif berarti menentang konsep ekosentris, sedangkan ‘cerita’ alternatif hadir untuk memberikan penawaran yang mendukung konsep ekosentris. Contoh ‘cerita’ desktruktif dapat diamati pada judul berita “Waka MPR Bicara Kepekaan Sosial Masyarakat Hadapi Ancaman Bencana Alam” (Detik, 15 Mei 2024). Frasa ancaman bencana alam menyiratkan ‘cerita’ bahwa alam adalah aktor yang mampu mengancam dengan membawa bencana, alam ditempatkan sebagai pelaku aktif yang seolah mampu menebar ancaman —padahal aktor utama sebuah bencana adalah manusia yang merusak alam. Berbeda dengan ‘cerita’ alternatif yang dapat diamati pada judul berita “Hutan dan Air Menghidupi Masyarakat Rantau Kermas” (Kompas, 14 Desember 2023). Kata kerja “menghidupi” yang bergaya personifikasi ini menempatkan hutan dan air sebagai aktor yang alih-alih mengancam, mereka berdua justru memberikan kehidupan untuk manusia.

Pada akhirnya, kehadiran ‘cerita’ alternatif tidak bertujuan untuk menyebut pembuat ‘cerita’ destruktif sebagai penjahat/perusak/penghancur, tetapi untuk memberikan saran (yang bermula dari kritik) agar ‘cerita-cerita’ destruktif ditulis ulang dengan memanfaatkan fitur-fitur lingual yang berwawasan ekosentris untuk ‘dituturkan’ kembali kepada dunia. Selain itu, gagasan maupun ide dalam tulisan ini tentu saja bersifat terbuka yang menanti untuk dipertanyakan maupun diperdebatkan. Sekian.

*Naskah peserta Lomba Karya Tulis Ekologi Kaum Santri dengan judul sama.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan