Cerita-cerita Santri dalam Lukisan yang Kesepian

275 kali dibaca

Antologi cerpen berjudul Lukisan yang Kesepian ini merupakan karya perdana yang berbentuk buku dari seorang santri bernama Abdul Khalim. Tidak hanya konsen dengan ngajinya, Abdul Khalim juga mem-branding dirinya sebagai cerpenis, pegiat seni lukis, gambar, bahkan kaligrafi sekalipun.

Karyanya yang berupa cerpen sebenarnya sudah banyak. Beberapa di antaranya tertuang di majalah dan media Bilqolam. Bilqolan merupakan komunitas yang mewadahi para santri Al-Iman Bulus Purworejo dalam hal literasi yang sekarang sudah dewasa merangkap menjadi sebuah penerbit.  Namun yang kemudian olehnya dibukukan, ya buku ini Lukisan yang Kesepian ini.

Advertisements

Buku ini mengandung beberapa judul cerita pendek. Ada 14 cerita pendek yang membawakan temanya masing-masing. Penulis memang sepertinya sengaja menampilkan cerita-cerita yang beraneka ragam topik pembahasan. Tidak hanya berkutat ke satu tema, melainkan menyajikan berbagai tema untuk memperkaya sebuah karya antologi cerpen Lukisan yang Kesepian.

Di sisi lain, penulis sengaja menampakkan beragam tema supaya para pembaca tidak cepat bosan dan jenuh dalam membacanya. Keberagaman tema yang demikian justru akan lebih memberikan warna kepada pembaca dalam menikmati dan tenggelam dalam lembar-lembar buku antologi ini.

Akan tetapi, sepengamatan saya selaku pembaca, ditemukan ada tema yang lebih mendominasi, yaitu tema santri berikut keunikannya. Kurang lebih ada lima cerita yang membahas persoalan santri. Hal ini wajar adanya, tersebab sang penulis sendiri berangkat dari latar belakang seorang santri. Jadi lazim jika cerita-cerita yang ditampilkan bertemakan santri.

Namuni tidak mengagetkan jika ada santri menulis tentang santri. Fenomena demikian juga menjadi nilai plus tersendiri bagi Lukisan yang Kesepian. Pasalnya, ini berarti menunjukkan bahwa cerpen yang disajikan penulis memang berangkat dari pengalaman atau pengetahuan penulis sendiri sekaligus secara tidak langsung menunjukkan bahwa Lukisan yang Kesepian merupakan karya orisinil dari cerpenis asal Purworejo, Abdul Khalim.

Lima cerita tersebut berjudul, “Ayahku Pembohong”, “Semur Warteg Kang Bahar”, “Sarung Bapak”, “Bolehkah Aku Menjadi Penari?”, dan “Alif”. Kelima cerpen ini menceritakan persoalan santri dengan keunikan tingkah lakunya.

Santri yang dari pandangan orang kebanyakan tak lain adalah pencari ilmu yang hidupnya seputar ngaji, ngaji, dan ngabdi, namun oleh penulis tidak ditampilkan gambaran santri yang sebatas demikian. Lebih dari itu, penulis menghidangkan fragmen dan drama-drama santri dalam panggung kehidupannya.

Seperti cerita dalam judul “Semur Warteg Kang Bahar” yang menceritakan dua orang santri yang mendorong motor dalam gelapnya malam karena terdampak ban bocor setelah mereka berdua mengambil bekal dari rumahnya. Kemudian kedua santri itu rehat sejenak di sebuah warteg milik Kang Bahar.

Awalnya mereka hanya hendak istirahat sejenak untuk meminum es teh, sebab salah satu darinya sudah bermandikan keringat. Singkat cerita, mereka berdua ditawari makan oleh Kang Bahar. Usut punya usut ternyata Kang Bahar merupakan alumni pondok Angkatan 2015 yang saat ini digunakan oleh kedua santri tersebut mengaji. Oleh karena itu, dia dengan senang hati menawarkan dan mengajak makan santri tersebut. (Hlm. 35) Dalam benak saya, “Mungkin Kang Bahar pernah di posisi seperti kedua santri itu. Sehingga ia tidak berat hati memberikan jualannya, cuma-cuma.”

Selama berada di warteg, kedua santri tersebut yang bernama Saipul dan Wawan saling berdebat disebabkan adanya keganjilan di Warteg Kang Bahar.

Pertama, adanya suara gonggongan anjing yang terdengar jelas. Kedua, daging pada semangkuk semur yang terasa hangat dalam perut. Ketiga, bercak darah di lengan baju Kang Bahar.

Kejanggalan-kejanggalan ini yang kemudian membuat mereka segera bertolak dari Warteg Kang Bahar untuk melanjutkan perjalanannya menuju pondok pesantren. Terkhusus Saipul yang lebih waspada dan curiga terhadap Warteg Kang Bahar, selama perjalanan, tatapan Saipul benar-benar kosong. (Hlm. 43)

Dari cerita di atas contohnya, penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat potret santri yang ditampar kenyataan yang tak terduga-duga, yang mungkin tidak terbayangkan dalam pikirannya. Penulis menghadirkan keunikan santri ketika dihadapkan dengan persoalan halal-haram, senantiasa berprasangka baik kepada sesama, dilarang suudzon (prasangka buruk) terhadap yang lain. Membaca Lukisan yang Kesepian seolah-olah kita diajak penulis untuk ikut terjun dan mengalami fragmen-fragmen yang yang ada dalam ceritanya.

Antologi cerpen ini cukup recommended untuk dibaca baik dari kalangan santri maupun yang bukan dari latar belakang santri. Bagi para santri, dengan Lukisan yang Kesepian akan diajak mengarungi samudra keragaman tingkah laku seorang santri atau mengenang kembali masa-masa nyantri di pondok pesantren berikut dengan dramanya bersama teman sejawat dalam menghadapi aturan-aturan pondok. Sedangkan, bagi pembaca yang bukan dari kaum sarungan, akan diajak menonton potret santri dalam menimba ilmu dan pengetahuan di asrma pesantren. Di mana ada peraturan dan norma-norma tertentu yang harus dijalankan oleh para santri yang sifatnya mengikat dan tidak bisa diganggu gugat. Peraturan yang lebih ketat dibanding di sekolah-sekolah pada umumnya.

Cerpen berjudul “Bolehkah aku menjadi penari?” (Hlm. 113), merupakan satu dari gambaran sebuah pondok pesantren memang secara fundamental mengedepankan nilai-nilai agama, akhlak, pendidikan karakter dan berupaya untuk melahirkan generasi-generasi yang melek akan keagamaan dan budi pekerti serta akhlakul karimah.

Dalam cerpen ini, pembaca dipertontonkan seorang santri baru bernama Fatma, di saat kecil ia diajak oleh ayahnya menonton sebuah pagelaran seni yang menampilkan tarian-tarian, sampai-sampai ia sangat antusias dalam menontonnya sehingga ia mendapat sebuah hadiah berupa sampur dari penari. Seketika itu, ia lantas banting stir, mengubah cita-citanya yang tadinya berkeinginan menjadi seorang dokter berubah dengan tekad bulatnya menjadi seorang penari profesional. (Hlm. 116).

Akan tetapi, setelah lulus SMP di usia 15 tahun, Fatma dimasukkan ke sebuah pesantren oleh ayahnya. Meski ia sempat melakukan pertimbangan yang lama, pada akhrinya, Fatma bersedia masuk pesantren karena dalam brosur pesantren tertulis “Ekstrakulikuler Kesenian”. Sehingga masuk pesantren tidak akan menumpas jalan Fatma untuk menjadi seorang penari militan.

Namun drama ini baru dimulai. Di hari pertamanya di pondok, semua santri baru termasuk Fatma harus menghadapi keamanan pondok yang bertugas mengecek barang-barang santri yang boleh dan dilarang untuk dibawa apalagi dioperasionalkan di pondok. Sampailah ia pada perdebatan sengit antara dirinya dengan keamanan pondok. Mengapa hanya sebatas sampur merah yang biasa Fatma gunakan untuk menari dan merupakan pemberian dari seorang penari di sebuah pagelaran seni, tidak boleh dibawa di pondok dan harus dibawa pulang. Kalau tidak, justru disita oleh keamanan? (Hlm. 117).

Bagi saya pribadi, Lukisan yang Kesepian mengandung banyak nilai unik selain cerita-cerita di atas. Di sisi lain, di setiap judul cerpennya juga dibubuhi ilustrasi yang setidaknya dapat membantu menggambarkan sekaligus memicu daya imajinasi pembaca dalam menyelami tiap-tiap cerpen dalam buku ini.

Akan tetapi yang sedikit disayangkan adalah tata letak tulisan yang kurang ke tengah alias terlalu ke samping membuat saya pribadi merasa kurang nyaman. Tapi ini penilaian subjektif saya atas kekurangan buku ini. Namun, itu tidak terlalu berpengaruh sebenarnya. Tulisan tetap aman dan mudah dibaca. Agar Anda tidak penasaran, bacalah bukunya. Selamat membaca dan jangan lupa bahagia!

Data Buku

Judul: Lukisan yang Kesepian
Penulis: Abdul Khalim
Penerbit: CV Bilqolan Al Iman
Isi: 130 Halaman
Tahun Terbit: Februari 2024.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan