Cerita dari Balik Layar

216 kali dibaca

Ada seorang santri dari daerah Jawa Tengah yang bertanya: Apakah ketua atau pengurus jejaring duniasantri merupakan santri Al Hikam? Ketika saya jawab bukan, ia masih bertanya lagi: Kok bisa ulang tahun duniasantri diadakan di Al Hikam?

Nah, memang ada cerita menarik kenapa perayaan ulang (ultah) tahun ke-5 jejaring duniasantri dilaksanakan di Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam Depok, sebanyak cerita-cerita “menarik” dari balik layar yang kami tertawakan sendiri seusai layar ditutup.

Advertisements
Dima Miranda
Dima Miranda

Semula, kami merencanakan tempatnya di AdaKopi Original, kafe yang dikelola sastrawan Mahwi Air Tawar. Acaranya pun sekadar tumpengan, diskusi kecil, baca-baca puisi sendiri, ditutup dengan mendoakan diri sendiri.

Namun, mendekati akhir Juli, ada kabar kafenya tak bisa digunakan. Kami pun harus memutar otak, mencari-cari alternatif. Pilihannya kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, atau kafe lain sesuai kriteria (dompet), atau jika mungkin di pesantren. Beberapa nama pesantren muncul, salah satunya Al Hikam.

Maka, suatu sore, Cak Tarno mengajak saya sowan ke ndalem Gus Arif, yang tak lain KH Arif Zamhari, pengasuh Al Hikam. Kami diterima layaknya santrinya. Sebelum memasuki ndalem, saya sudah mewanti-wanti Cak Tarno agar soal rencana mau meminjam tempat jangan diungkap di awal. Yang penting silaturahmi, minta saran, minta doa. Sebab, ketika menghadap seorang kiai, yang pertama harus diminta adalah nasihat dan doa –setelahnya kita bisa minta apa saja.

Dan benar, memang itulah yang disampaikan Cak Tarno: meminta saran dan doa sehubungan jejaring duniasantri mau ultah. Tapi sepertinya Gus Arif memang waskita. Cak Tarno belum selesai berbicara, sudah dipotong oleh Gus Arif.

“Kalau mau diadakan di sini ya boleh. Tapi tempatnya ya seperti ini, seadanya,” kata Gus Arif sambil menunjuk selasar masjid.

Saya dan Cak Tarno terdiam kaget, saling berpandangan. “Oh ya Gus, terima kasih, kami rasa tempatnya cukup memadai, acaranya juga sederhana saja,” kata Cak Tarno.

Sejak itu, tempat acaranya sudah pasti. Yang belum pasti justru materi acaranya. Sebab, Kang Zastrouw rupanya sudah menyiapkan sejumlah musisi untuk tampil, di antaranya Abel dan Dima Miranda. Sementara, dari informasi yang dia terima, di Al Hikam tidak boleh ada musik. Jika itu benar, maka konsep acaranya bisa berubah total atau malah berantakan.

Saya kemudian menghubungi seorang ustaz, yang kebetulan namanya juga Arif, yang oleh Gus Arif ditunjuk sebagai titik simpul koordinasi teknis acara. Kepada Ustaz Arif, saya bertanya apakah dimungkinkan di acara ultah di selasar masjid itu, ada yang memainkan satu-dua alat musik sekadar untuk mengiringi pembacaan puisi atau musikalisasi puisi. Bukan bermain band atau dangdutan!

“Oh, kalau alat musiknya kurang, di pondok ada satu, organ, tapi tak ada santri yang bisa main. Tak pernah dipakai. Kalau mau dipakai monggo,” jawab Ustaz Arif.

Selamet. Wajah Kang Zastrouw sumringah mendengar jawaban dari Ustaz Arif itu. Maka, materi acaranya dirancang secara matang. Para penampil pun mulai latihan.

Penanggung jawabnya adalah Mahwi Air Tawar. Mahwi sebenarnya tidak tercatat sebagai pengurus jejaring duniasantri. Tapi, karena sastrawan asal Madura yang berlatar belakang santri itu menjadi orang yang paling ngotot agar jejaring duniasantri mengadakan perayaan ultah, maka dia kami tunjuk sebagai penanggung jawabnya. Ia cuma dibantu 3-4 orang. Tapi ia sering bekerja sendirian, dalam kesepian.

Bahkan, saat harus menyelesaikan ini-itu, Mahwi masih sering dihantui masalah dana. Karena secara resmi tak dibentuk panitia, maka tak ada yang diberi tugas mencari sponsor. Tugas saya pun hanya membesarkan hatinya: “Tenang saja Pak Mahwi, pada last minute biasanya akan ada…”

Makam Kiai Hasyim

Apa yang tergelar di panggung Malam Apresiasi Budaya pada 17 Agustus 2024 itulah hasil kerja kami dalam serba keterbatasan itu. Terlihat cukup bagus dan sukses. Tapi sesungguhnya tidak benar-benar seperti itu acara yang kami rancang. Cerita-cerita “menarik” sudah mulai muncul sebelum acara dimulai.

Sabtu malam itu, sesuai salat isya berjamaah di masjid sebelum acara dimulai, kami dijamu makan malam oleh Gus Arif. Turun dari masjid menuju ndalem Gus Arif, saya berjalan berdua bersama Kang Zastrouw melintasi lapangan.

“Di sana sebenarnya lebih pas buat panggung acara kita,” kata Kang Zastrouw menunjuk sebuah tempat. Saya cuma menjawab pendek, “Ya.” Toh panggung sudah jadi dan acara siap digelar.

Yang ditunjuk Kang Zastrouw adalah sebuah bangunan terbuka di seberang lapangan. Dalam suasana malam hari, bangunan terbuka itu terlihat menyisih-menyendiri dilingkupi keteduhan dan kesyahduan. Bangunan itu sepertinya benar-benar menyedot perhatiannya.

Mungkin tak puas dengan jawaban pendek saya “Ya” tadi, sehabis makan malam ketika berjalan ke tempat acara melewati lapangan yang sama, Kang Zastrouw bertanya untuk kedua kalinya.

“Kenapa bukan di tempat itu saja kita bikin panggung? Cocok tempatnya,” kata Kang Zastrouw menunjuk tempat yang tadi sudah dia tunjuk.

Akhirnya saya memberikan jawaban yang diperlukan, “Ya memang cocok. Tapi itu makamnya Kiai Hasyim Muzadi.” Kang Zastrouw langsung terenyak, “Waduh!” Cerita ini membuat tawa kami meledak ketika beberapa saat usai acara saya tumpahkan di meja warkop pancong.

Warkop Pancong

Sepertinya Malam Apresiasi Budaya akan berjalan sesuai rencana sampai sesi orasi budaya oleh Kang Zastrouw berlangsung. Tapi pengaturan acara mulai harus berubah ketika KH Ahmad Solechan memimpin tahlil dengan durasi yang begitu panjang, jauh melampaui waktu yang ditetapkan.

Gus Alec, panggilan KH Ahmad Solechan, seorang yang kami tunggu-tunggu kedatangannya menjelang acara dimulai. Sebab, Ketua PCNU Depok tersebut akan memimpin pembacaan Al-Fatikhah dan doa. Namun, ketika kami dalam cemas menunggu, rupanya Gus Alec sedang duduk termenung di rumahnya memikirkan sesuatu.

“Saya ingat kalau harus menghadiri undangan, tapi saya lupa siapa yang mengundang,” cerita Gus Alec ketika akhirnya saya menyambut kedatangannya. Mungkin hari itu Gus Alec kelelahan karena sepanjang hari harus melakukan wawancara untuk kepentingan disertasi program doktornya. Beruntung Cak Tarno mengirim pesan melalui WhatsApp, sehingga Gus Alec ingat siapa yang mengundangnya.

Cerita itu, seperti ceritanya Kang Zastrouw, juga membuat tawa kami meledak ketika saya tumpahkan di meja warkop pancong. “Bayangkan, dia lupa siapa yang mengundang,” ujar Dahris Siregar tak bisa menahan tawa. Dahris merupakan salah satu Dewan Juri Lomba Penulisan “Ekologi Kaum Santri” yang ikut begadang di warkop pancong.

Inilah bagian yang harus mengubah jalannya acara. Gus Alec dipersilakan memimpin pembacaan surat Al-Fatikhah dan doa yang ditujukan kepada KH Hasyim Muzadi dan Bisri Effendy. Rupanya, justru Gus Alec memimpin tahlil panjang, mungkin durasinya lebih dari 30 menit. Kami saling celingukan, tapi Gus Alec khusyuk memimpin tahlil.

Saya sempat cemas, tapi segera menenangkan diri. Malah pasrah. Mungkin, pikir saya, karena yang dikirimi Al-Fatikhah adalah Kiai Hasyim Muzadi, maka tahlil yang dibacanya harus lengkap, tidak berani memotong pendek.

Tapi kecemasan muncul lagi ketika, setelah pemotongan tumpeng yang dilakukan oleh Dr Ahmad Suaedy, grup hadrah dari santri Al Hikam juga tampil dengan durasi yang lebih panjang. Padahal, kami cuma diberi waktu dua jam, dari pukul 20.00 sampai 22.00.

“Harus ada yang menjadi time keeper!” pesan singkat Kang Zastrouw menggetarkan handphone saya. Di tengah acara berlangsung, saya mendekati Gus Arif, mohon maaf meminta tambahan sedikit waktu. Plong, diizinkan, tapi cuma 30 menit. Artinya, banyak penampilan yang harus dipotong atau dibatalkan.

Akhirnya, Dima Miranda hanya bisa membawakan tiga dari tujuh lagu yang disiapkan, dan duetnya dengan Kang Zastrouw dibatalkan. Beberapa penampil lain juga urung tampil. Ketika duo musisi Umam & Deri tampil, saya membisiki Mahwi: masih berapa penampil lagi? Masih ada dua atau tiga, pembacaan puisi dan cerpen.

“Kalau diteruskan, pasti akan antiklimak!” Ahmad Suroyo, yang sedianya akan membacakan puisinya WS Rendra, pun menyergah.

Saya akhirnya meminta Mahwi untuk “memaksa” pembawa acara membacakan ini: “Dengan berakhirnya penampilan Umam & Deri, maka berakhir sudah acara Malam Apresiasi Budaya…”

Begitulah akhirnya acara terlihat berlangsung mulus, bagus, dan cukup sukses. Tapi tetap menyisakan wajah-wajah kecewa, kurang puas, karena tak semua penampil bisa tampil. Seperti wajahnya Gilang Sulaeman yang urung membaca cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari.

Usai acara, saya mengajak panitia dan para penampil meriung di warkop pancong. Tentu saja Mahwi bersungut-sungut menagih janji: “Katanya mau leha-leha ke kafe yang luksuri, kok jadi ke warkop pancong?!”

Tapi di sanalah akhirnya kami bisa menertawakan hal-hal ketidaksempurnaan kami.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan