Kalau ada pertanyaan kapan cerita seru dalam perjalanan mencari ilmu di pesantren dimulai, sekarang saya akan menjawabnya dengan penuh tawa, dengan mengenang ketika masih menjadi santri cilik.
Itulah saat menjalani tahun-tahun berlalu belajar dengan sungguh-sungguh di pesantren, berlomba-lomba mengkhatamkan hafalan kitab Imrithi di tingkat Tsanawiyah dan kitab Alfiyah di tingkat Aliyah. Rasanya tak ada yang lebih seru dibandingkan dengan pertama kali harus belajar menulis tulisan pegon dan membaca serta memaknani kitab Mabadi Fiqih hasil tulisan sendiri. Hasilnya lucu, bentuknya lebih terlihat melungker daripada miring lurus.
Bukan hanya itu, banyak sekali cerita beragam yang saya rekam, entah pengalaman sendiri atau dari sekeliling saya.
Ketika menyadari madrasah yang saya tempuh berbeda dengan yang di rumah, saya seketika menjadi asing dengan semua pelajaran di pesantren. Meskipun di rumah mengaji TPQ, tetapi saya rasa di pesantren lebih dari itu. Perlu banyak sekali penyesuaian dalam berbagai hal, mulai dari pelajaran, pertemanan, suasana yang serba antri, sampai urusan masak bersama, makan, dan mencuci baju.
Perkara-perkara kecil seperti itu membentuk diri saya dan kawan kawan lainnya menjadi lebih mandiri dalam banyak hal, yang tentu saja akan berbeda cerita ketika dilakukan di bangku madrasah Tsanawiyah atau Aliyah.
Kami memang tidak dibebani banyak kegiatan seperti mbak-mbak santri lainnya. Pesantren sendiri pun sudah menjadwal rutin setiap tingkat madrasah dengan jadwal kegiatan yang berbeda satu sama lain. Santri Madrasah Ibtidaiyah memiliki jam tidur satu jam lebih cepat dibandingkan dengan santri di kelas lebih tinggi.
Meskipun begitu, jadwal bangun kami tetap dipukul rata, jam tiga pagi, namun kegiatan kami di siang hari tidak sepadat mereka. Tidak ada kamar mandi khusus untuk kami. Untuk mandi setiap hari, kami harus mengantre seperti santri-santri lainnya. Tetapi, biasanya, santri-santri di kelas lebih tinggi lebih sering mendahulukan kami. Kami lebih sering “mandi bebek” (mandi cepat) daripada mandi yang sebenarnya. Anak-anak memang lebih suka yang simpel dibandingkan yang ribet.
Menjadi murid Madrasah Ibtidaiyah milik pesantren, di mana siswanya bukan hanya dari pesantren, tetapi juga penduduk kampung di sekitarnya, menjadikan kami semakin memiliki banyak kawan. Tidak jarang mereka mengajak kami bermain atau mampir ke rumahnya ketika jam istirahat sekolah, meskipun hal ini sebenarnya dilarang. Tapi, banyak dari kami yang tetap melakukannya. Namanya juga anak-anak, hal-hal yang dilarang adalah favorit kami.
Cerita dimulai sejak keterlambatan salah satu teman yang tidak terlihat sejak salat jamaah dhuhur. Ustadzah sudah menunggunya sejak lima belas menit lebih awal sebelum jamaah maghrib dimulai. Anak anak Madrasah Ibtidaiyah seperti kami memang hanya berjamaah dengan ustadzah, sehingga beliau bisa mengontrol kami. Kami tidak berjamaah di musala bersama kiai seperti mbak-mbak santri karena jadwal sekolah kami berbeda. Kami saling sikut dan memberi kode sampai shaf paling belakang. Tapi semua malah menggeleng tidak tahu-menahu.
“Sarifah di mana, Sin?” ustadzah menoleh ke belakang usai merampungkan salat sunnah badiyah maghrib.
“La a’rif, ustadzah…,” Sinta yang duduk di sampingku terdengar takut menjawab dengan bahasa Arab. Anak kecil seperti kami baru bisa menggunakan beberapa kata saja dalam bahasa yang sering kami dengar digunakan mbak santri. Hanya na’am, la, la a’rif, limadza, atau aina, selain itu kami tidak tahu. Ustadzah lebih sering mengajak kami berbicara dengan bahasa Indonesia.
“Di…?” kalau Sinta terdengar takut, saya lebih takut dan bahkan tak mengeluarkan suara sama sekali ketika ditanya. Saya hanya menggelengkan kepala meskipun sebenarnya saya tahu keberadaan Sarifah.
Siang tadi usai sekolah saya melihatnya berbelok ke arah gang perkampungan bersama salah satu teman yang rumahnya berada di kampung sebelah pondok. Dia terlihat mengangkat telunjuknya ke depan mulut ketika sampai di jalan sempit menuju perkampungan, menyuruh saya untuk menutup mulut. Saya menoleh ke kanan kiri memastikan ada orang lain yang melihatnya, tetapi nihil. Meski kami pulang bergerombol dari arah madrasah yang sama, rupanya hanya saya yang kebetulan memperhatikannya.
“Kalau tidak ada yang tahu Sarifah di mana, besok semuanya ustadzah berdirikan di lapangan!”
Kami masih bungkam. Sampai malam menjelang tidur kami semua masih saling melempar pertanyaan satu sama lain menanyakan keberadaannya. Badi mendekati saya sambil membopong bantal dan selimutnya hendak mapan tidur.
“Tadi kamu lihat Sarifah, kan?” dia berbisik pelan.
“Berarti kamu lihat juga?”
Seperti Sarifah siang tadi, Badi juga memberi isyarat agar saya diam dan tidak mengatakan apa-apa.
Hari berikutnya kami semua satu kamar mendapatkan hukuman berdiri di tengah lapangan karena Sarifah diketahui menginap di rumah salah satu teman kampung dan kami dianggap bersekongkol merahasiakannya. Hukuman diberikan bukan karena ustadzah kami tega kepada anak kecil, tetapi beliau mengajari bagaimana seharusnya menjaga sikap sebagai seorang santri agar tidak sembarangan keluyuran, sebab kami telah menjadi tanggung jawabnya. Lagi-lagi, kami hanya anak-anak dan hal yang dilarang adalah favorit kami.
Di lain waktu, ketika mengaji al-Quran, kami dihadapkan dengan tangisan salah satu teman yang sulit sekali mengucapkan makharijul huruf “ha”. Sore itu kami sudah berbaris rapi di belakangnya untuk mengantre mengaji berikutnya. Namanya Aini, santri kelas dua Madrasah Ibtidaiyah. Sudah dua minggu ini dia diminta untuk berlatih melafalkan huruf “ha” dengan fasih dan bersih tanpa terdengar suara ngorok sama sekali. Sekali waktu berlatih di depan kami dia berhasil, tetapi berkali-kali disetorkan di hadapan ustadzah, entah kenapa, selalu terdengar seperti ada yang menyangkut di tenggorokannya.
Terhitung sudah sepuluh kali lebih ustadzah menyuruhnya melafalkan “Arrahmanirrahim”, tapi yang keluar selalu “Arrakhmanirrakhim”. Ustadzah sampai meremas-remas lengannya karena gemas; kenapa sulit sekali untuk melafalkannya dengan bersih.
Kami di belakangnya menanggapi dengan berbagai reaksi. Ada yang cekikikan menahan tawa; ada yang semakin tegang bagaimana kalau gilirannya tiba dan mengajinya sama seperti Aini.
“Huaaaaaaa…..,” entah bagaimana mulanya, tiba-tiba Aini berbalik dan ekspresi wajah gembeng-nya dihadapkan ke kami, kemudian suara tangisnya pecah. Ustadzah hanya menggelengkan kepala, sama sekali tak risau.
Ia tetap dengan wajah galaknya sepanjang mengajari kami melafalkan makharijul huruf dengan fushah, meskipun satu per satu dari kami dibuatnya menangis sesenggukan. Bukan karena kami tak bisa, tapi takut setiap berhadapan langsung dengan wajah garang ustadzah yang membuat konsentrasi kami pecah dan persiapan setoran kami buyar seketika. Kalau sudah menangis, kami hanya bisa saling menepuk atau merangkul pundak satu sama lain untuk saling menenangkan.
Saya selalu teringat, bahkan teman seangkatan yang masih bertahan di pesantren hingga tamat pengabdian pun, ketika kembali mengenang masa kecil bersama, kami tertawa terbahak-bahak mengingatnya.
Kala itu ustadzah yang mengajari kami sudah banyak yang boyong dan menyisakan kami anak-anak ingusan yang sudah tumbuh menjadi remaja putri, bukan santri cilik lagi. Wajah galaknya sungguh sebuah mantra yang menjadikan kami bisa membaca al-Quran dengan fasih huruf per hurufnya.