Sabtu (12/4/2025) lalu, kami berkunjung ke Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekaligus, kami ziarah ke makam Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) periode 1994-1999 KH Ilyas Ruhiat. Minggunya, dalam perjalanan pulang ke Jakarta, kami mampir ke Pesantren Darussalam di Ciwidey, Bandung. Pesantren ini diasuh oleh KH Hilman Miftahurrojak.
KH Hilman Miftahurrojak, yang biasa disapa Kang Imen, tak lain adalah asisten pribadi Kiai Ilyas Ruhiat. Selama sekitar tujuh tahun, Kang Imen selalu mendampingi Kiai Ilyas Ruhiat baik sebagai Rais Aam Syuriah PBNU maupun anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1998-2003. “Saya sampai tak enak, ke mana-mana selalu diperkenalkan sebagai anak Beliau, padahal saya hanya santrinya,” ujar Kang Imen.

Meski tak lama kami mengobrol, namun banyak peristiwa yang diceritakan Kang Imen, yang sebagian besar baru kali pertama kami dengar. Cerita-cerita yang penuh hikmah dari seorang ulama waskita. Berikut ini adalah ringkasannya:
Menjadi Jaminan Gus Dur
Seperti umum diketahui, Muktamar ke-29 NU di Cipasung menjadi yang terpanas dalam sejarah muktamar organisasi yang didirikan oleh KH Hasyim Asya’ri ini. Sebab, saat itu, Presiden Suharto yang sedang berada di puncak kekuasaan tak menghendaki KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali memimpin NU. Pasalnya, Gus Dur selalu menjadi pengkritik nomor wahid pemerintahan Orde Baru. Sayangnya, meskipun seluruh jaringan kekuasaan dan uang telah dikerahkan, Abu Hasan, calon yang disokong Suharto, tetap keok. Dan Gus Dur kembali terpilih sebagai Ketua Umum PBNU.
Rupanya, Suharto dan jejaring kekuasaannya tetap tidak bisa menerima jika NU masih dipimpin Gus Dur. Segala cara pun dilakukan untuk mendongkel Gus Dur dari kepemimpinan PBNU. Termasuk, upaya membatalkan kemenangan Gus Dur di muktamar melalui pengadilan. Pada situasi yang masih panas tersebut, Kiai Ilyas Ruhiat berinisiatif menemui Suharto dan para petinggi Golkar, mesin politik Suharto ketika itu.
Kepada Suharto dan para petinggi Golkar, Kiai Ilyas meminta agar mau menerima dan mengakui Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU. “Sudah diterima saja, jangan khawatir, nanti Gus Dur itu apa kata saya,” ujar Kiai Ilyas seperti yang ditirukan Kang Imen. “Akhirnya Pak Harto mengalah, mau menerima Gus Dur. Padahal semua juga tahu, Gus Dur itu orang yang tak bisa diatur-atur ha-ha-ha…,” sambung Kang Imen.
Ditelepon Pak Hato Menjelang Lengser
Ketika gerakan reformasi yang menuntut Presiden Suharto mundur hampir mencapai titik klimaks, suatu malam tokoh dengan sapaan akrab Pak Harto itu menelepon Kiai Ilyas Ruhiat. Malam itu, Kiai Ilyas sedang berada di rumah, dan mulai beristirahat. Namun, suara dering telepon memecah keheningan malam. Kang Imen, yang berada tak jauh dari Kiai Ilyas, segera mengangkat telepon. Terjadilah dialog seperti ini:
“Assalamualaikum, apakah ini kediaman Bapak Kiai Ilyas Ruhiat?”
“Waalaikum salam, ya, benar, dengan siapa?”
“Saya Harto. Suharto.”
“Suharto siapa?”
“Presiden Suharto. Bisa bicara dengan Bapak Kiai Ilyas?”
Kang Imen lalu memberi tahu Kiai Ilyas ada telepon dari Presiden. Setelah menyerahkan gagang telepon pada Kiai Ilyas, Kang Imen pun “menguping” pembicaraan kedua tokoh tersebut. Terjadilah dialog seperti ini:
“Dengan situasi seperti ini, saya ingin saran dari Pak Kiai Ilyas apa yang harus saya lakukan?”
Kiai Ilyas pun menjawab dengan nada lembut. “Dalam situasi seperti ini, di mana yang benar dan salah sudah samar, tidak penting lagi salah dan benar. Tidak penting lagi siapa yang salah dan siapa yang benar. Yang lebih penting adalah kemaslahatan. Mana yang lebih maslahat.”
“Lalu, untuk kemaslahatan, menurut Pak Kiai Ilyas apa yang harus saya lakukan? Apakah mundur atau tidak?”
Masih dengan suara lembutnya, Kiai Ilyas menjawab: “Saya tidak dalam posisi memberi saran apakah Bapak Presiden mundur atau tidak. Apa yang menurut Bapak Presiden akan memberi kemaslahatan untuk bangsa, itu saja yang dilakukan.”
Sampai sambungan telepon berakhir, jawaban Kiai Ilyas masih “open”; benar-salah tak lagi penting ketika yang lebih dibutuhkan adalah kemaslahatan. Dan ending-nya kita tahu, pada 21 Mei 1998, Suharto akhirnya menyatakan berhenti sebagai Presiden setelah berkuasa selama 32 tahun.
Menolak Jadi Ketua DPA
Setelah Suharto berhenti dan BJ Habibie menjadi Presiden, dibentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1998-2003. KH Ilyas Ruhiat ditunjuk sebagai salah satu anggota lembaga yang bertugas memberi saran dan pertimbangan kepada presiden tersebut.
Yang menarik, ketika akan dibentuk kepengurusan, mayoritas anggota DPA meminta agar Kiai Ilyas Ruhiat menjadi ketuanya. Namun, Kiai Ilyas justru menolak didapuk menjadi Ketua DPA. Yang menarik adalah alasannya. “Saya ini, kan, dikenal sebagai tokoh agama. Tokoh agama Islam. Maka, tidak tepat kalau saya menduduki posisi sebagai Ketua DPA. Biarlah diurus orang yang lebih tepat,” begitu alasan Kiai Ilyas seperti ditirukan Kang Imen.
Dan Kiai Ilyas pun akhirnya memilih menjadi anggota biasa, tidak justru memanfaatkan posisinya sebagai tokoh agama untuk berebut posisi di lembaga negara.
Dicegat Polisi
Suatu hari, Kiai Ilyas Ruhiat harus mengikuti rapat di Gedung DPA jam 10 pagi. Maka, menjelang subuh, Kiai Ilyas berangkat dari kediamannya di Cipasung. Tentu saja, Kang Imen menyertainya bersama seorang sopir.
Di tengah perjalanan, rombongan Kiai Ilyas sempat berhenti untuk salat subuh di sebuah masjid. Setelah itu tancap gas.
Agar bisa sampai tepat waktu, mobil yang dikendarai Kiai Ilyas melaju cukup kencang dengan kondisi jalanan yang tak semulus sekarang. Mungkin karena dianggap melaju terlalu kencang, di pagi buta itu, mobil yang membawa Kiai Ilyas disetop polisi. Kang Imen sudah bersiap-siap untuk “mendamprat” polisi tersebut.
“Berani-beraninya menyetop mobil pejabat tinggi negara yang sedang terburu-buru,” demikian batin Kang Imen. Namun, Kiai Ilyas rupanya sudah membaca gelagat kedongkolan Kang Imen. Kang Imen justru diminta patuh pada polisi.
“Kita harus menghargainya, karena polisi itu hanya menjalankan tugas,” pinta Kiai Ilyas. Kang Imen pun turun dari mobil, dan menyerahkan dokumen-dokumen kendaraan yang diminta polisi tersebut.
Apa yang kemudian terjadi? Polisi itu melongo ketika dari dokumen tersebut tahu bahwa mobil yang dia setop sedang membawa Kiai Ilyas Ruhiat. Polisi itu kemudian meminta izin untuk bersalaman dan mencium tangan Kiai Ilyas penuh takzim. Tak hanya itu, polisi itu juga meminta izin untuk mengawal perjalanan Kiai Ilyas sampai Jakarta agar tak terjebak macet. Perjalanan pun mulus, dan Kiai Ilyas tiba tepat waktu.
Handphone Kiai Ilyas Pecah
Suatu hari, ketika Kiai Ilyas Ruhiat sedang berdinas di Gedung DPA, Kang Imen siaga untuk membantu melancarkan seluruh urusan. Termasuk, membawakan telepon genggam Kiai Ilyas, Nokia 3310.
Apes, ketika suasana gedung DPA hibuk, handphone Kiai Ilyas yang dipegang Kang Imen tersenggol seseorang, terlempar, jatuh dan pecah berantakan. Apes lagi, ketika itu Kiai Ilyas sedang melintas. Kang Imen pun gemeteran dengan wajah ketakutan. Takut dimarahi.
“Ada apa?” tanya Kiai Ilyas. Kang Imen deg-degan.
“Ini, Kiai, handphone jatuh, pecah…” jawab Kang Imen dengan wajah pucat. Terbayang betapa mahalnya harga handphone saat itu.
“Ya sudah tak apa-apa. Barang yang rusak itu akan selalu ada gantinya yang lebih baik,” kata Kiai Ilyas dengan suara kalem, lalu meneruskan kesibukannya.
Benar juga, tak lama berselang, ketika Kang Imen masih memberesi bangkai handphone yang berserakan, seseorang menegurnya.
“Ada apa ini?”
“Ini, handphone Kiai Ilyas jatuh, pecah.”
“Ambil kartunya, mari ikut saya,” ujar seseorang yang Kang Imen sudah lupa namanya. Saat itu juga, Kang Imen diajak naik mobil BMW untuk mendatangi toko handphone. Sepulang dari sana, Kang Imen membawa handphone baru untuk Kiai Ilyas, mereknya Siemens, seri yang lebih bagus dari Nokia 3310.