Sebetulnya banyak cerita terkait miliaran butir padi di hamparan sawah itu. Hanya saja, seperti yang sampean tahu, di duniasantri.co belum ada rubrik novel—di mana saya dapat berpanjang-panjang bercerita. Walhasil, cuma tiga butir padi yang bakal saya ceritakan—yang bentuknya juga obrolan paling unik di antara mereka.
Sekarang, dapat sampean dengar, padi terkurus itu berujar, “Bagaimanapun dapat bermanfaat berkali-kali itu lebih bermanfaat ketimbang bermanfaat satu kali…”
“Betul,” jawab padi bertubuh sedang di antara dua temannya itu. persoalannya, katanya kemudian, bagaimana caranya?
“Sudahlah,” kata padi tergendut, “sebagai padi mbok ya a sudah cukup bagi kita menerima dan mensyukuri karunia Gusti Allah Ta’ala yang telah menciptakan kita untuk kemudian dimakan oleh burung atau manusia. Tidakkah kalian berpikir, kehadiran dan kemanfaatan kita yang sekali ini adalah nikmat yang luar biasa?”
“Memang,” tanggap Si Kurus, “tapi bila ada cara agar kita dapat bermanfaat berkali-kali, kenapa kita tak mencarinya? Apabila dapat bermanfaat berkali-kali, bukankah rasa syukur kita kepada-Nya pun jadi berkali-kali?”
Sembari manggut-manggut Si Sedang menanggapi dengan kalimat persis seperti tadi, “Betul. Persoalannya, bagaimana caranya?”
Sementara Si Kurus tampak berpikir, ada baiknya saya memberitahu sampean perihal penyebab mereka ngobrol segayeng itu. Semua ini bermula saat padi-padi yang lain tengah terlelap dalam buaian semilir angin yang digiring oleh ar-Rahman—Yang Maha Pengasih—, Si Kurus membangunkan dua temannya itu untuk menyimak dopokan dua orang santri yang beberapa saat tadi tampak duduk di gubuk bambu di sudut sawah itu.
Sampean jangan buru-buru menyimpulkan bahwa mereka adalah santri yang sedang kabur karena malas ngaji. Bukan, mereka sedang istirahat setelah menyiangi gulma di sepetak sawah milik kiai mereka.
Sembari menyeduh kopi, santri yang tampak lebih muda itu memulai obrolan, “Kang, menurut sampean, di zaman sekarang mana yang lebih baik, berdiam diri atau ikut berbagi ilmu lewat Internet seperti yang tengah ramai dilakukan oleh para santri?”
Setelah tampak berpikir sejenak, ia menjawab dengan pertanyaan—mengarahkan si penanya terlibat memikirkan jawabannya, “Apabila memungkinkan, kenapa tidak berbagi?”
“Tetapi persoalannya, Kang, bukankah orang yang mulang—berbagi ilmu—sebaiknya adalah orang yang telah mengamalkan ilmunya?”
Lagi-lagi setelah tampak berpikir sejenak, ia menjawab, kali ini dengan bercerita:
Belum lama ini, seorang temannya yang suka menulis cerpen dan beberapa cerpennya pernah beberapa kali disiarkan media online bercerita padanya bahwa secara jujur ia menulis cerpen dengan tema-tema sarat kebaikan; menulis cerpen untuk menyebarkan kebaikan. Dan secara jujur pula ia mengakui bahwa ia belum sepenuhnya melakukan kebaikan-kebaikan yang ia ceritakan lewat cerpen-cerpennya.
Hanya saja, demikian ia melanjutkan, sekali waktu temannya tersebut mengalami kejadian tak terduga. Saat bersepeda pulang dari tempat kerjanya, di depan ia melihat sekepal batu teronggok di bahu jalan. Mula-mula tak ada niat dalam benaknya untuk menyingkirkan batu itu. Namun, sekonyong-konyong ia teringat bahwa dalam salah satu cerpennya ia menulis bahwa menyingkirkan batu di jalan adalah kebaikan. Lalu ia pun berhenti untuk menyingkirkan batu itu; ia merasa malu sendiri apabila hanya bisa menuliskan tanpa melakukan kebaikan.
Rupanya, demikian ia menyimpulkan cerita temannya, ada hubungan yang unik antara tulisan dengan orang yang menuliskannya: ada semacam saling kontrol di antara mereka.
Santri yang bertanya tadi manggut-manggut mendengar cerita tersebut. Kemudian, karena kopi telah tersaji, mereka pun segera menyeruput untuk kemudian melanjutkan obrolan.
Bisa jadi, menurut sampean, obrolan mereka tak ada sangkut pautnya dengan obrolan tiga padi tadi. Demikian pula mula-mula anggapan Si Gendut dan Si Sedang itu. Namun tidak bagi Si Kurus. Si Kurus yang masyhur—di kalangan padi-padi itu—sejak kecil suka berpikir, menyimpulkan bahwa seseorang yang mengajarkan ilmu lebih baik ketimbang seseorang yang hanya mengamalkan ilmu untuk diri sendiri. Karena ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat bagi orang lain. Dari sini, kepada dua temannya itu Si Kurus menyimpulkan lewat ujaran—sebagaimana saya ceritakan tadi, “Bagaimanapun dapat bermanfaat berkali-kali itu lebih bermanfaat ketimbang bermanfaat satu kali…”
Kini—seperti yang sampean lihat—, sementara Si Kurus tampak berpikir mencari cara agar padi dapat bermanfaat berkali-kali, dua santri itu menyudahi istirahat mereka—beranjak melanjutkan pekerjaan.
Kemudian, baru beberapa langkah, santri yang tadi bertanya mendapati seekor burung peking menclok di salah satu tangkai tanaman padi. Ia bertanya pada temannya, haruskah ia menggusah burung itu?
Tidak usah, jawabnya, toh burung itu hanya makan satu-dua butir; guru kita pasti merelakannya.
Mendapati tiga butir padi yang tampak saling berdempetan itu, sudah barang tentu si burung memilih yang terbesar di antara mereka. Setelah menyebut bismillah, ia pun mencaplok Si Gendut untuk sarapan paginya. Lalu ia terbang kembali, melanjutkan dolan-nya.
Menyaksikan itu, sampean jangan kira bahwa dua padi itu bersedih karena kehilangan sebutir teman. Justru mereka senang, karena Si Gendut telah bermanfaat bagi si burung. Kini mereka tinggal menunggu, siapa lebih dulu dimakan oleh siapa.
Namun, hingga berhari-hari kemudian, hingga dua santri itu kembali untuk memanen, tak ada burung yang memakan dua padi itu. Bagi mereka, itu bukan soal, toh masih terbuka kemungkinan mereka bakal dimanfaatkan oleh manusia.
Namun kemudian, setelah beberapa malam mereka menginap di rumah kiai tersebut, dua sahabat itu akhirnya berpisah. Sementara Si Kurus ditempatkan pada sebuah tempat untuk kemudian direndam dalam air untuk dijadikan bibit padi bersama beberapa butir padi yang lain, Si Sedang dibawa ke sebuah penggilingan padi, digiling menjadi butir beras.
Setelah menjadi beras, ia kembali dibawa ke rumah itu. Beberapa hari kemudian, di malam Idul Fitri, kiai tersebut menyuruh seorang santrinya mengantarkan se-keresek beras sebagai zakat fitrah untuk seorang imam sebuah musala di kampung itu.
Dengan senang hati, orang itu menerima se-keresek beras yang mana Si Sedang berada di dalamnya. Kemudian, karena Si Imam pun ingin menunaikan zakat fitrah, beras itu ia serahkan kepada seorang jemaah musala itu yang tidak mampu. Pada titik di mana orang itu menerima zakat Si Imam, sekonyong-konyong Si Sedang teringat Si Kurus: inikah yang disebut bermanfaat berkali-kali bagi sebutir padi? Ia jadi ingin memberitahukan apa yang ia alami pada Si Kurus, sayang Si Kurus kini entah di mana. Boleh jadi sudah dimakan oleh seorang manusia.
Meleset jauh dari dugaan Si Sedang, beberapa hari yang lalu Si Kurus disebarkan di persemaian. Malam ini adalah malam di mana ia mulai tumbuh menjadi bibit padi. Dari sini, tak henti-henti ia memuji keagungan Gusti Allah Ta’ala yang memberinya kesempatan tumbuh menjadi tanaman padi yang mana kelak bisa jadi ia akan membuahkan berbutir-butir padi, yang sebagian mereka bisa jadi akan dimakan oleh burung, dimanfaatkan oleh manusia atau menjadi bibit-bibit padi untuk kemudian membuahkan ribuan butir padi untuk kemudian menghasilkan jutaan butir padi lagi untuk kemudian menghasilkan miliaran butir padi lagi hingga tak terhingga jumlahnya.
Kesugihan, 16:10, 21 Desember 2020.
Catatan:
Cerpen ini saya kembangkan dari sebuah paragraf dalam novel The Greatest Salesman karya Og Mandino (Penerbit Olongia, Yogyakarta, hal 110, tahun 2007) yang tertulis: Aku seperti sebutir gandum yang melihat tiga kemungkinan masa depan. Sebutir gandum dapat dimasukkan ke dalam kantong, lantas dipajang di depan toko, lalu dijadikan makanan hewan. Sebutir gandum bisa juga digiling menjadi tepung dan diolah menjadi roti. Atau bisa ditebarkan ke bumi, dan sesuai takdirnya dari sebutir gandum muncullah ribuan biji gandum yang bermanfaat.