Tanggal 26 Juli merupakan hari kelahiran Chairil Anwar, penyair Angkatan 45 yang tak hanya menjadi ikon perpuisian Indonesia, namun juga sebagai pendobrak perpuisian Tanah Air. Karena itu, meskipun meninggal dalam usia muda (26 tahun), tetapi karya puisi yang diciptakan Chairil Anwar mampu mewarnai peradaban perpuisian. Karena itu, kelahirannya selalu penting untuk dikenang.
Chairil Anwar lahir sebagai penyair dengan warna tersendiri. Dari Chairil kemudian lahir warna puisi modern, puisi bebas yang memiliki karakter berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya. Itulah sebabnya, kemudian Chairil Anwar terkenal dengan pelopor puisi modern.
Sebelum datangnya puisi-puisi Chairil Anwar (meninggal 28 April 1949), formulasi puisi dibangun atas batasan-batasan yang kaku dan rigid. Seperti aturan jumlah baris, kesesuaian fonem rima dan irama puisi, serta aturan-aturan lainnya. Pantun, syair, karmina, gurindam, dan lain sebagainya adalah model puisi lama yang dibangun atas aturan yang cukup ketat. Kemudian dengan keberaniannya, Chairil Anwar mencoba membuat versi baru dengan kebebasan dan modernisnya. Ternyata, model puisi Chairil Anwar mendapat tempat apresiatif tersendiri di hati para pembacanya.
Di dalam sebuah buku yang berjudul Chairil Anwar Sang Penyair Legendaris, Neni Suhaeni mengatakan bahwa Chairil Anwar lazim disebut sebagai pelopor Angkatan 45 dalam sastra Indonesia, (hal. 35). Chairil Anwar juga dinobatkan oleh masyarakat sastra tanah air sebagai pelopor puisi modern. Tak hanya dapat dibaca dalam Bahasa Indonesia, karya puisi Chairil Anwar juga diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti Inggris, Jerman, dan lain sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa kepenyairan Chairil Anwar sudah diakui dunia.
Aku dan Binatang Jalang
Salah satu puisi Chairil Anwar yang melegenda adalah berjudul Aku. Sebuah puisi keakuan yang dicipta untuk kebebasan dan kemerdekaan. Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang/, kalimat ini diapresiasi sebagai bentuk kebebasan dalam segala aspek kehidupan. Karena puisi ini diciptakan pada masa kolonial, maka sangat niscaya dimaksudkan sebagai sebuah kemerdekaan bagi bangsa dan negara.
Karena terma puisi Aku inilah kemudian Chairil Anwar dikenal dengan si binatang jalang. Bukan saja bebas dalam kondisi fisik, akan tetapi bebas secara batiniah. Termasuk, bebas untuk menciptakan puisi tanpa sekat dan aturan yang mengekang kebebasan. Modernisme perpuisian tanah air Indonesia dimulai sejak keakuan Chairil menjelma menjadi puisi-puisi yang disukai berbagai kalangan.
Formulasi batang tubuh yang disuguhkan Chairil Anwar melalui puisi-puisinya menunjukkan puisi modernis yang bebas dari ikatan kaidah baku. Tidak ada keharusan jumlah baris dan bait, pun format kata dan rima yang menunjukkan kebebasan. Meskipun tentu saja, warna suara awal maupun akhir menjadi pertimbangan untuk kualitas puisi saat dibacakan. Hal ini menunjukkan bahwa puisi Chairil Anwar yang mendapat anugerah Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 ini, merupakan puisi modern yang kemudian menjadi trendsetter wajah perpuisian Indonesia.
Salah satu puisi Chairil Anwar yang terkenal, selain Aku adalah Karawang–Bekasi. Sebuah tema puisi yang menyulut api perjuangan. Sikap nasionalisme yang memadukan derap keinginan untuk mempertahankan kemerdekaan. Modernisme dari puisi ini terlihat dari batang tubuh, pilihan diksi, rima dan irama nada puisi yang sangat fleksibel dan tidak klasik tetapi dinamis.
Karawang Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Yang terampas dan yang terputus
***
Modernisme Puisi Indonesia
Menurut Chairil sendiri, sebagaimana ditulis dalam buku Seri Buku Tempo: Chairil Anwar; Bagimu Negeri Menyediakan Api, dijelaskan, dalam tulisannya, “Hoppla!”, Chairil bercerita tentang para seniman yang perlu menjunjung tinggi kebebasan dan siap menghadapi risiko dengan sepenuh hati serta mencela kehidupan yang “anteng” tak bermakna. Ia yakin, kebebasan dan risiko itulah yang akan memberikan makna bagi sang seniman dan sumbangan bagi kemanusiaan,” (hal. viii).
Jadi, Chairil termasuk penganut anti kemapanan, dalam arti bahwa “keantengan” dengan makna khusus yang tidak memberikan manfaat. Sebagai sosok bohemian, orang nomaden yang selalu berpindah-pindah, menjadi dasar mengapa puisi-puisi Chairil menjadi bebas dari segala aspeknya. Nilai modernisme puisi Chairil dibangun atas sikapnya yang menginginkan kebebasan dan kemerdekaan.
Puisi modern adalah jenis puisi yang tidak terlalu terikat kepada ketentuan jumlah baris, suku kata, maupun rima. Bentuk puisi baru lebih bebas bila dibandingkan dengan puisi lama/klasik. Puisi modern terbentuk di dalam masyarakat baru yang telah mengalami akulturasi budaya. Puisi modern masih mempertahankan penggunaan irama, bunyi dan isi di dalam penulisan puisi. Bentuk puisi konvensional yang disesuaikan dengan puisi modern ialah pantun yang menggunakan irama pada baris pertama dan penyampaian pikiran pada dua baris berikutnya.
Saat ini puisi lama sudah berkurang peminatnya. Karena arus puisi modern telah menjelma menjadi biang dengan segala corak dan warnanya. Tetapi kita harus berupaya mempertahankan jenis puisi konvensional itu, karena bagaimanapun jejak puisi itu menjadi bagian dari peradaban dan budaya bangsa. Mempertahankan puisi lama dalam karakternya, dan terus mengembangkan puisi modern dengan beragam progresifnya. Wallahu A’lam!
ilustrasi: @rsipivaa.