Dai Perempuan di Jalan Dakwah Virtual

195 views

Tampilnya dai perempuan di jalan dakwah virtual menandai terjadinya perluasan jangkauan cakrawala dakwah Islamiyah yang juga diperankan oleh para pendakwah perempuan.

Para dai ini turut meramaikan aktivitas keagamaan, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang telah membuka peluang baru untuk praktik dan pengembangan keagamaan.

Advertisements

Deretan dai perempuan yang ikut mewarnai kegiatan dakwah Islam di jagat maya antara lain Ning Umi Laila asal Surabaya; Ustazah Syifa Nurfadhilah, seorang pendakwah kelahiran Cibinong, Bogor; Ustazah Liza Azizah, penceramah asal Bandung, Jawa Barat; Ustazah Mumpuni Handayayekti yang banyak dikenal dengan sebutan ustazah ngapak dari Cilacap; serta beberapa daai perempuan lainnya yang ikut mewarnai aktivitas dakwah saat ini.

Tidak kalah dengan para pendakwah laki-laki, kemampuan para dai perempuan dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah lewat ceramah agama yang diunggah dalam berbagai platform media sosial, ternyata mampu mengambil perhatian tersendiri bagi kalngan masyarakat luas.

Sebut saja gaya ceramah yang dibawakan secara apik oleh Ning Umi Laila. Dalam setiap unggahannya ia mampu tampil sebagai penceramah profesional, apalagi di sela-sela penyampaian materi dakwah penceramah muda ini mampu menyisipkan lantunan lagu yang dibawakan secara merdu, dan lagu tersebut mampu dikorelasikan dengan materi ceramahnya. Gaya ceramah agama semacam inilah yang berhasil mencuri hati masyarakat.

Untuk kepentingan agama, tentu dakwah para dai perempuan ini menjadi kabar baik, setidaknya dapat memperkuat pelaksanaan dakwah di Indonesia yang memang ditekankan dalam Islam. Sehingga perintah amar makruf nahi munkar, salah satunya dapat dijalankan melalui jalan dakwah semacam ini.

Namun demikian, dalam praktinya keberadaan para dai perempuan yang sempat populer di ruang virtual ini juga harus dihadapkan pada banyak respon dari para pengguna media sosial. Tidak hanya respon positif yang selalu mengelu-elukan para dai perempuan yang berhasil tampil memukau sebagai seorang penceramah agama. Tetapi, sebagian respon khalayak juga masih kedapatan yang memberikan komentar dengan nada yang rasial dan bahkan juga komentar yang bias gender.

Itulah khalayak dalam ruang virtual, kompleksitas dan keragaman karakter serta kepentingan menyatu dalam ruang virtual.

Artikel ini berusaha memahami bahwa tampilan dai perempuan meski diyakini sebagai bagian dari praktik keagamaan, ternyata juga mampu memberikan gambaran bahwa posisi dai perempuan yang mengambil jalan virtual ternyata juga harus menghadapi terjalnya jalan dakwah di ruang virtual ini. Karena itulah media digital tidak hanya dipahami dalam konteks conduits atau sebagai sarana dakwah saja, akan tetapi juga harus dipahami sebagai lingkungan baru yang sedang tercipta, bahkan di dalamnya penuh dengan dinamika dalam membangun interkasi.

Praktik Keagamaan

Praktik keagamaan yang diperankan oleh para dai perempuan di ruang virtual ini diyakini sebagai perluasan jangkauan sasaran dakwah. Maka menjadi benar jika dipahami bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi hari ini mampu memberikan layanan pengembangan keagamaan termasuk dalam praktik keagamaan yang diperankan oleh para Dai perempuan.

Dipahami bahwa pelaksanaan dakwah sendiri harus dijalankan untuk menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana pernah ditegaskan oleh Nasaruddin Latif (2021) bahwa dakwah merupakan bagian dari aktivitas dengan lisan atau tulisan yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mematuhi Allah SWT sesuai dengan garis akidah dan syariat serta akhlak Islamiyah.

Karena itulah tampilan ceramah agama yang diperankan oleh para dai perempuan di sejumlah platform media sosial, seperti twitter, facebook, instagram, maupun channel youtube, sangat memberikan warna tersediri dalam perjalanan dakwah di Indonesia saat ini.

Selain itu, juga bisa memberikan penegasan bahwa aktivisme dakwah tidak hanya bisa diperankan oleh para dai lki-laki saja.

Dapat dilihat bagaimana konten-konten ceramah agama yang diperankan oleh dai perempuan mewarnai pada banyak platform media sosial. Sebut saja ceramah agama yang disampikan oleh Ning Umi Laila, Ustazah Syifa Nurfadhilah, Ustazah Liza Azizah, Ustazah Mumpuni Handayayekti, serta beberapa dai perempuan lainnya ternyata mampu mendapat perhatian masyarakat, bahkan banyak mewarnai corak aktivisme dakwah di jagat virtual.

Pemanfaatan teknologi internet sebagai ruang baru dalam praktik keagamaan seolah sedang mempermudah bagi para dai dalam menyebarluaskan pesan dakwahnya ke berbagai penjuru dunia.

Aktivitas keagamaan semacam ini oleh Brenda Brasher’s (2001) pernah disebut sebagai cyber-religion, yaitu sebagai kehadiran institusi dan aktivitas keagamaan di dunia siber. Sedangkan, Garry R. Bunt (2023) memahami bagian dari implikasi pesatnya perkembangan sains dan teknologi, terutama teknologi informasi, sehingga tak hanya memudahkan manusia, tetapi juga mengantarkan manusia harus berada di simpang jalan, manusia satu kakinya harus berada di dunia nyata, sementara kakinya yang lain harus
melangkah dalam dunia virtual.

Praktik keagamaan ini nampak tergambar dalam setiap unggahan ceramah para dai yang diunggah di berbagai akun YouTube yang dikelolanya. Dalam konteks ini khalayak pengguna media sosial dapat menempatkan dirinya sebagai mad’u dengan mengunjungi tautan konten dakwah yang telah diunggah oleh para pengelola akun dakwah. Sementara khalayak untuk menentukan pilihan dakwah cukup dengan membuka akun YouTube para dai yang mereka inginkan, dan secara otomatis bisa langsung mengikuti kajian dakwah secara online bahkan secara live streaming.

Kompleksitas Tantangan Baru

Media digital tidak hanya dipahami dalam konteks conduits atau sebagai sarana saja, akan tetapi juga harus dipahami sebagai lingkungan yang sedang tercipta. Maka, aktivisme dakwah yang sedang diperankan oleh para dai perempuan rempuan ini agar dapat memperkuat pelaksanaan dakwah di Indonesia. Maka perlu dimbangi dengan sikap arif dalam menghadapi khalayak virtual yang memiliki ragam perbedaan dan kepentingan.

Tentu kompleksitas pengguna internet satu sisi menjadi tantangan baru yang muncul dan semestinya mampu disikapi oleh para dai perempuan maupun pengelola akun yang terlibat di dalamnya. Sebab, tidak selamanya para pengguna media sosial dapat menempatkan dirinya sebagai audiens dakwah yang baik.

Kenyataan bahwa sebagian pengguna media sosial cukup variatif memiliki kebebasan dalam memberikan komentar.
Sebut saja, komentar kalangan netizen yang hanya berkutat pada pembahasan tentang kecantikan dai perempuan, bentuk tubuh, hingga respons berupa stitch video yang menampilkan wajah berekspresi menggoda. Komentar khalayak yang tentu sangat tidak sopan ini menjadi konsekuensi ketika dakwah dijalankan secara virtual menjadi pilihan.

Sebagai pertimbangan bersama, perlu meningkatkan kewaspadaan bagi para dai perempuan saat tampil sebagai penceramah. Tidak hanya dari sisi penampilan dan perilaku para dai, tetapi dari aspek muatan materi yang disampaikan juga harus dipastikan tidak menjadi kontroversi dan perbincangan bagi khalayak virtual.

Karena itulah, kompleksitas khalayak sebagai audiens ini dapat menjadi tantangan tersendiri untuk kelangsungan dakwah di masa mendatang. Penulis berkeyakinan bahwa aktivisme dakwah virtual yang diperankan oleh para dai perempuan dapat diyakini sebagai bagian dari praktik keagamaan yang memang sudah seharusnya dijalankan oleh umat muslim baik laki-laki maupun perempuan.
Seperti ketika Nabi SAW pertama kali menerima wahyu, salah satu yang langsung mengimani adalah istri Beliau Sayyidah Khadijah. Beliau adalah salah satu sosok terpenting dalam dakwah Rasulullah. Bahkan dia mengorbankan segala harta bendanya untuk berjihad di samping Rasul.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan