Dakwah dalam Qanun Asasi; Antara Agama dan Kemanusiaan

242 kali dibaca

Salah satu di antara ayat yang tertuang dalam kanun asasi adalah surat An-Nahl ayat 125:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ.

Advertisements

Artinya: “Ajaklah kepada jalan Tuhanmu (Muhammad) dengan cara hikmah, peringatan yang baik dan debatilah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah lebih mengetahui terhadap orang-orang yang sesat dari jalannya dan Dia lebih mengetahui akan orang-orang yang mendapat hidayah”.

Terdapat beberapa kata atau kalimat yang saya kira perlu dibahas terperinci. Berikut adalah perinciannya:

Pertama, kalimat سبيل ربك. Secara literlek kalimat tersebut bermakna jalan Tuhanmu. Al-Mawardi dalam tafsirnya mengatakan bahwa kalimat tersebut maksudnya adalah agama Islam. Sebagian ahli tafsir, seperti Yahya bin Salam, juga ada yang menafsiri dengan al-huda (petunjuk).

Kedua, kata الحكمة. Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya Fathu al-Bayan fi Maqasidi al-Quran mengemukakan beberapa makna akan kata الحكمة pada ayat tersebut. Pertama, ia dimaknai dengan perkataan yang jelas dan benar serta memperjelas terhadap kebenaran dan menghilangkan kesangsian dan sikap skeptis. Kedua, ia dimaknai dengan an-nubuwwah (kenabian). Ketiga, ia dimaknai dengan Al-Qur’an.

Ketiga, kata الْحَسَنَةِ َالْمَوْعِظَةِ. Syekh Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata tersebut adalah bermakna peringatan dan ungkapan yang bermanfaat serta bahasa (perkataan) yang lemah lembut.

Keempat, kalimat وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ. Kata َجَادِلْ adalah bentuk kalimat perintah yang berasal dari kata جادل yang bermakna berdebat (adu argumen). Sementara kalimat selanjutnya adalah menunjukkan bagaimana seorang yang diperintah melakukanna dialog tersebut. Dalam ayat itu disebutkan bahwa Nabi Muhammad (sosok yang diperintah untuk dialog) hendaknya berdialog dengan cara terbaik. Hal ini sebagaimana disampaikan Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya, Fathu al-Bayan fi Maqasidi al-Quran.

Kelima, kalimat أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَ عَنْ سَبِيلِهِ ّ. Kata أَعْلَمُ pada ayat tersebut adalah bentuk kalimat tafdil (kalimat dengan makna paling atau sangat). Dalam ayat tersebut ia bermakna Yang Maha Mengetahui, di mana ia merujuk pada Tuhan Muhammad. Sementara kalimat عَنْ سَبِيلِهِ   مَنْ ضَلَّ adalah bermakna orang yang tersesat atau orang menyimpang dari سبيل ربك.

Keenam, kata المهتدين. Kalimat memiliki makna berlawanan dengan kalimat من ضل. Ia berarti orang-orang yang mendapat pertolongan hidayah dari Tuhan Muhammad.

Ayat tersebut mengandung nilai sosial yang cukup tinggi. Keharmonisan yang terbentuk dalam bingkai dakwah menjadi inti pokok yang dituju oleh ayat ini. Terlihat bahwa Islam sama sekali ramah kepada obyek dakwah. Tertulis dalam ayat tersebut soal jalan Tuhan. Kalimat ini menunjuk pada suatu kelompok keagamaan, yaitu Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam analisis kata di atas. Penunjukan ini kemudian melahirkan sebuah identitas dengan genre teologis yang mengikat suatu golongan. Artinya, saat itu sudah ada kelompok menyimpang yang diberi dakwah (diajak) dengan cara yang telah disebutkan dalam ayat.

Penyebutan ayat ini dalam kanun asasi memberikan kita kesadaran soal keberagaman kepercayaan teologis. Dari itu, kita tidak sembarang dalam menyampaikan dakwah, melainkan dengan cara yang disebutkan dalam ayat itu.

Terdapat tiga nilai yang disebutkan dalam ayat tersebut: hikmah, yaitu penjelasan deskriptif soal kebenaran; mauidzah hasanah, yaitu sebuah peringatan yang disampaikan secara baik dan simpati; dan dialog dengan cara yang paling baik dan ideal.

Cara dialog ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya, Tafsir al-Munir, adalah dengan rasa simpati, lemah lembut, wajah ceria, opening yang indah dan argumen yang tajam. Cara simpatik ini lebih menyentuh hati mereka; bukan tanpa alasan, karena dialog agama, sekurang-kurangya, pasti melibatkan hati dan perasaan.

Sosio-kultur keagamaan Indonesia bahkan dunia kala itu menemukan titik kesesuaian dengan ayat ini. Salah satu contohnya adalah fenomena dikeluarkannya ulama kalangan pesantren dari Kongres Islam Internasional dikarenakan adanya penolakan terhadap penghancuran Makam Nabi. Raja Saud, sang panglima Wahabi, kala itu telah mempengaruhi banyak kelompok Islam untuk melakukan aksi tersebut.

Sigap merespons hal tersebut, KH Abdul Wahab Hasbullah berangkat melalui Komite Hijaz atas utusan langsung KH Hasyim Asy’ari. Dengan perjuangan tersebut dan dengan argumen meyakinkan dalam dialog kala itu akhirnya KH Wahab Hasbullah berhasil menggagalkan rencana penggusuran makam Nabi. Ini salah salah satu contoh implementasi dari ayat tersebut.

Kembali kepada realitas Indonesia secara khusus, di mana terkenal dengan ciri khasnya yang plural dalam segala aspek, ayat tersebut sangat membantu menjaga stabilitas bangsa dan negara. Indonesia dalam keberagamannya ibarat pohon besar yang indah dengan banyak ranting yang rapi tertata. Alangkah tidak eloknya jika satu ranting menjalar ke ranting yang lain untuk merusak keindahan yang sudah tertata.

Pluralitas sangat berpotensi pada konflik. Hal tersebut lebih berpotensi lagi jika sudah berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan. Tak heran jika dalam beberapa catatan sejarah agama dijadikan alat untuk memecah belah suatu bangsa. Salah seorang orientalis mengatakan bahwa kaum beragama tidak bisa diperkenalkan dengan suatu ilmu. Hal ini akan membuat mereka terpecah belah.

Kita bisa lihat beberapa nilai perdamaian dalam bingkai keberagaman yang hendak di bangun oleh ayat ini dari cara dakwah yang Nabi anjurkan. Kalimat الحكمة dan موعظة حسنة dalam ayat tersebut hendak menegaskan bahwa ajakan dan rayuan yang ideal adalah tidak dengan cara paksa, melainkan dengan pelan-pelan saja. Ibarat anak kecil yang tidak mau tidur; ia tak bisa dininabobokkan oleh cubitan atau pukulan, melainkan tepukan halus yang berulang-ulang dan perlahan pada bokongnya.

Sengaja saya kiaskan dengan anak kecil, karena mereka di hadapan nasihat keagamaan sama dengan anak kecil dalam menangkap pesan orang tuanya. Mereka masih terbiasa dengan kenangan-kenangan jahiliahnya, bahkan mungkin disertai sikap fanatisme buta.

Cara tersebut seirama dengan pernyataan Allah selanjutnya إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ, bahwa Dialah Yang Maha Memberi Petunjuk, sehingga si pendakwah tidak layak untuk mengajak secara paksa. Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnya, Zahrotu at-Tafasir, mengatakan bahwa ayat tersebut adalah jawaban dari pertanyaan “apakah adanya dakwah meniscayakan pada imannya mereka”, hingga dengan tegas Tuhan menjawab bahwa sudah tercatat mereka yang beriman dan mereka yang akan sesat.

Seperti itulah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dalam merespons umat melalui bingkai dakwah. NU tidak boleh egois dalam mencapai tujuannya. Ada kondisi psikis manusia yang juga harus diperhatikan dalam meluluhkan hatinya, di mana ia tidak bisa di jamah secara subjektif menurut kemauan dan arah apa pun.

Menyampaikan dakwah, mengislamkan non-muslim, menyadarkan para pelanggar syariat adalah tindakan terpuji. Namun, ia bisa lebih tercela dalam melakukannya jika tidak memerhatikan aspek kemanusiaan.

Semua manusia memang wajib beriman, tapi di satu sisi dia juga punya hak kemanusiaan. Lebih dari itu, soal keimanan sebagaimana ditegaskan oleh ayat di atas adalah berdasar kehendak Allah. Sementara kita hanya sebatas sebagai penyampai dakwah. Nabi Muhammad saja tidak berhasil dalam sebagian dakwahnya menyampaikan keesaan Allah.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa semua manusia lahir tanpa sedikit pun membawa suatu identitas, kecuali sebagai manusia. Status awal inilah yang kemudian melahirkan hak kemanusiaan. Dari itu, siapa pun dia dan berhadapan dengan apa pun dia, hal yang perlu selalu dijaga adalah hak kemanusiaannya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan