Islam melihat kemajuan teknologi sebagai sebuah anugerah atas berfungsinya akal yang diberikan oleh Allah. Islam memberikan atensi terhadap kemajuan ini dengan koridor yang telah ditetapkan. Sehingga perkembangan teknologi yang manusia nikmati sekarang ini bisa bermanfaat dan didayagunakan dengan baik dan bijak, khususnya dalam penyampaian (dakwah) agama.
Pada zona konvensional, agama diajarkan melalui ceramah-ceramah yang disampaikan oleh para kiai di pondok pesantren maupun di kampung-kampung. Metode yang digunakan oleh para kiai umumnya berorientasi terhadap pengajaran kitab kuning dengan berbagai perspektif, tergantung latar belakang sang kiai.
Para kiai atau pengajar keagamaan yang berada di pesantren sebagian besar berasal dari lingkup keluarga sang kiai (biasanya dipanggil Gus atau Ning); alumni; santri yang lebih senior (biasanya dipanggil Kang atau Ning). Mereka mengemban kepercayaan dari pengasuhnya untuk menjadi pengajar kepada para santri yang masih dalam tahap awal. Begitu juga pengajian di kampung, ada pula utusan pengajar yang memperoleh mandat dari pengasuh pesantren untuk mengisi pengajian di masjid-masjid kampung sekitar.
Fenomena ini telah berlangsung sangat lama. Dapat dilihat dari kelembagaan pesantren yang masih eksis sejak ratusan tahun ke belakang. Sebut saja di Jawa, misalnya, ada Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang (1899); Pesantren Syaikhona Kholil, Bangkalan (1861); Pesantren Langitan, Tuban (1852); Pesantren Buntet, Cirebon (1750); Pesantren Sidogiri, Pasuruan (1745), dan masih banyak yang lainnya.
Pada masa sekarang, masif dijumpai forum keagamaan yang diselenggarakan via media sosial. Akses komunikasi pada pengajian ini tentu pada umumnya dilakukan satu arah, yakni sang pengajar melakukan ceramah kepada pendengar atau audiens. Pada kesempatan lain, metode pengajian juga bisa dilakukan dua arah antara penceramah dengan audiens pada panggilan video secara langsung. Bahkan pada rubrik tulisan online, penikmat kajian juga bisa bertanya lewat kolom komentar yang selanjutnya bisa ditanggapi langsung oleh pihak pengajar.
Realita dakwah melalui medsos ini akan cenderung memberikan ruang bagi siapa saja untuk speak out mengenai dakwah Islam. Tak terkecuali bagi pihak-pihak yang mengklaim sudah mempunyai otoritas keagamaan yang kredibel untuk menebarkan dakwah agama. Hal ini mungkin didasari oleh dalil masyhur yang berbunyi,
…بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً…
Artinya:
“…Sampaikanlah dariku sekalipun satu ayat…” (HR. Bukhari no. 3202)
Akan tetapi, banyak dijumpai para penceramah yang tidak mencerminkan otoritas keagamaan yang penulis maksud. Tak jarang pula dari pihak-pihak tersebut menyampaikan dakwah Islam dengan “sembarangan” atau bahkan tanpa literatur yang sharih. Tentu ini amat berbeda dengan budaya transmisi keagamaan yang berada di lingkungan pesantren, sebagaimana penulis sebut dengan keberlanjutan sanad keilmuan.
Mohammad Manshur, ilmuwan tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada sebuah kesempatan ia mengutarakan bahwa kecenderungan medsos adalah unggul dalam ekstensitas, namun minim dalam intensitas. Maksudnya, transfer keilmuan yang ada di lingkungan pesantren lebih mempunyai core value yang kaya dibandingkan hanya di medsos. Pesantren adalah tempat dialektika yang terjadi secara riil dalam konteks keilmuan, karena bertemunya seorang guru dengan murid.
Menghadapi dilema ini, hendaknya kita mampu mengkaji lebih dalam dengan menggunakan sarana akal. Media sosial maupun sanad keilmuan sama-sama merepresentasikan tahapan transfer informasi (naqli) yang semuanya harus melibatkan kecerdasan sebagai esensi kemanusiaan yang beragam. Mengingat ada beberapa persyaratan dalam transmisi ilmu pegetahuan yang senada dengan syair ‘Alala sebagai berikut,
اَلاَ لاَتَنَــــالُ الْعِـــلْمَ اِلاَّ بِســــــِتَّةٍ ۞ سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
ذُكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍوَبُلْغَةٍ ۞ وَاِرْشَادُ اُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ
Artinya:
“Ingatlah, Kalian tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat kecuali dengan enam syarat, yaitu cerdas, semangat, sabar, biaya, petunjuk ustadz, dan lama waktunya”
Kecerdasan merupakan salah satu alat yang dapat digunakan manusia, khususnya umat Islam, dalam mengkonsumsi ajaran agama. Memandang kapabilitas seseorang dan muatan yang disampaikan adalah suatu perkara mutlak untuk menyikapi fenomana medsos dan sanad keilmuan. Karena dari pihak-pihak yang diketahui dan diakui kredibilitasnya, akan membawa suatu pesan yang sarat akan kesesuaian dengan ajaran agama.
Otoritas mengenai subjek panutan keagamaan seharusnya tetap dipelihara. Karena disklaimer ini tidak akan muncul dari oknum yang mencoba meraih posisi prestisius ini secara instan, terkecuali hanya melalui pengakuan dari masyarakat. Sebagaimana gelar-gelar nonakademik, semisal kiai, buya, tuan guru, dam semacamnya adalah bentuk pengakuan masyarakat/umat terhadap figur yang dinilai layak, yang mana bukan berasal dari ijazah atau wisuda, apalagi klaim sepihak.
Penulis mengajak agar para pemerhati keilmuan Islam tetap memperhatikan koridor-koridor yang telah ditentukan. Kemampuan adaptasi terhadap pergeseran otoritas keagamaan (religious authority shifting) di masa kini harus dijadikan titik perhatian yang serius. Karena ini akan menentukan nasib transmisi khazanah Islam di masa mendatang. Bijaknya, kita tetap mempersiapkan diri dengan optimal sebagai bentuk perbekalan utama apabila suatu saat terjun di kalangan masyarakat. Tentu dengan arahan dan bimbingan para guru yang telah memberikan sumbangsih keilmuan kepada kita.
Wallahu A’lam bi as Showaab.