Kemajuan teknologi informasi digital memungkinkan siapa saja bisa menjadi pendakwah. Apa jadinya jika kredibilitas dikalahkan oleh popularitas dalam mendakwahkan ajaran-ajaran Islam?
Bila kita mau sejenak membaca dan mengingat ulang sejarah, tersebarnya agama Islam secara luas tak terlepas dari perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW. Harus dicatat, dakwah Nabi dijalankan dengan penuh pengorbanan, namun tetap dibawakan dengan ramah dan penuh kasih sayang.
Cara dahwah Nabi tersebut tercatat dalam kitab-kitab sirah nabawiyyah. Di sana digambarkan kemuliaan akhlak Nabi ketika mendakwahkan agama Islam kepada semua pihak, termasuk pula kepada kaum kafir yang sangat membencinya, bahkan tak segan ingin membunuhnya.
Berbeda dengan di zaman Nabi, kini kehadiran produk-produk teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan semua orang yang memiliki akses untuk berbuat segala sesuatu, termasuk di antaranya adalah berbagi ilmu pengetahuan keagamaan alias dakwah. Maka muncullah fenomena dakwah digital, dakwah yang dilakukan melalui peranti atau produk teknologi digital. Pendakwah ini oleh beberapa kalangan biasa dikenal dengan sebutan influencer muslim.
Kemunculan aktivitas dakwah digital ini tentu saja menimbulkan dampak positif dan negatif, sebagaimana kehadiran produk-produk teknologi informasi dan komunikasi yang kian masif saat ini.
Memang benar adanya bahwa kehadiran dakwah Islamiyah yang menghiasi dunia maya ini sedikit banyak membantu dan mempermudah umat Islam. Fenomena dakwah digital ini menyuguhkan kemudahan dalam mempelajari agama, khususnya umat Islam perkotaan.
Namun, di satu sisi, dengan kemajuan teknologi digital, semua orang bisa menjadi pendakwah. Meskipun, mereka atau influencer muslim ini belum tentu ahli atau menguasai bidang keagamaan. Otoritas dan kredibilitas keilmuan mereka pun masih bisa diragukan untuk dapat mengemukakan ilmu-ilmu atau pendapat keagamaan di media sosial yang mereka punya.
Satu kondisi yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah ketika ada influencer muslim yang hanya bermodal wajah rupawan, pandai public speaking, dan punya alat pembuat konten lengkap –meski mereka belum menguasai ilmu keagamaan yang memadai. Bahkan, yang tidak pernah mengenyam pendidikan keagamaan secara intensif sebelumnya pun turut serta dalam aktivitas dakwah Islamiyah digital.