Dakwah Digital: Ketika Kredibilitas Dikalahkan Popularitas

1,641 kali dibaca

Kemajuan teknologi informasi digital memungkinkan siapa saja bisa menjadi pendakwah. Apa jadinya jika kredibilitas dikalahkan oleh popularitas dalam mendakwahkan ajaran-ajaran Islam?

Bila kita mau sejenak membaca dan mengingat ulang sejarah, tersebarnya agama Islam secara luas tak terlepas dari perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW. Harus dicatat, dakwah Nabi dijalankan dengan penuh pengorbanan, namun tetap dibawakan dengan ramah dan penuh kasih sayang.

Advertisements

Cara dahwah Nabi tersebut tercatat dalam kitab-kitab sirah nabawiyyah. Di sana digambarkan kemuliaan akhlak Nabi ketika mendakwahkan agama Islam kepada semua pihak, termasuk pula kepada kaum kafir yang sangat membencinya, bahkan tak segan ingin membunuhnya.

Berbeda dengan di zaman Nabi, kini kehadiran produk-produk teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan semua orang yang memiliki akses untuk berbuat segala sesuatu, termasuk di antaranya adalah berbagi ilmu pengetahuan keagamaan alias dakwah. Maka muncullah fenomena dakwah digital, dakwah yang dilakukan melalui peranti atau produk teknologi digital. Pendakwah ini oleh beberapa kalangan biasa dikenal dengan sebutan influencer muslim.

Kemunculan aktivitas dakwah digital ini tentu saja menimbulkan dampak positif dan negatif, sebagaimana kehadiran produk-produk teknologi informasi dan komunikasi yang kian masif saat ini.

Memang benar adanya bahwa kehadiran dakwah Islamiyah yang menghiasi dunia maya ini sedikit banyak membantu dan mempermudah umat Islam. Fenomena dakwah digital ini menyuguhkan kemudahan dalam mempelajari agama, khususnya umat Islam perkotaan.

Namun, di satu sisi, dengan kemajuan teknologi digital, semua orang bisa menjadi pendakwah. Meskipun, mereka atau influencer muslim ini belum tentu ahli atau menguasai bidang keagamaan. Otoritas dan kredibilitas keilmuan mereka pun masih bisa diragukan untuk dapat mengemukakan ilmu-ilmu atau pendapat keagamaan di media sosial yang mereka punya.

Satu kondisi yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah ketika ada influencer muslim yang hanya bermodal wajah rupawan, pandai public speaking, dan punya alat pembuat konten lengkap –meski mereka belum menguasai ilmu keagamaan yang memadai. Bahkan, yang tidak pernah mengenyam pendidikan keagamaan secara intensif sebelumnya pun turut serta dalam aktivitas dakwah Islamiyah digital.

Tentu saja realitas ini membahayakan umat Islam, khususnya yang masih awam dalam ilmu keagamaan. Sebab, kehadiran mereka membuat umat Islam “mengonsumsi” ilmu keagamaan yang tidak jelas sumber data dan dalilnya.

Mengingat bahwa sikap dasar manusia dewasa ini rata-rata suka hal yang instan dan serba cepat, termasuk dalam belajar ilmu agama, kehadiran influencer muslim yang belum tentu memiliki kredibilitas dan otoritas keilmuan ini digemari oleh banyak khalayak.

Di samping itu, kehadiran ustaz dan ustazah digital yang punya popularitas tinggi ini juga menggeser peran sentral para kiai kampung dalam membimbing umat Islam. Para kiai kampung yang lebih jelas kredibilitas dan otoritas keilmuannya, namun tidak punya popularitas tinggi, pun mulai banyak ditinggalkan oleh umatnya sendiri.

Bila terus-menerus terjadi, kondisi seperti ini dapat mengakibatkan terjadinya bias keilmuan antara informasi keilmuan yang valid dan tidak. Pada gilirannya, bias ini akan mengakibatkan kebingungan dalam diri umat Islam, khususnya yang masih awam, dalam mencari ilmu agama. Dampaknya akan luar biasa, di antaranya salah memahami ajaran Islam sehingga muncul sikap-sikap dan bila sampai salah paham, akibatnya mereka ekstrem, radikal, intoleran, dan semacamnya dalam beragama.

Melalui tulisan ini, penulis bukan berarti tidak menghargai kebebasan berpendapat orang lain. Namun, harus ditegaskan bahwa berdakwah, termasuk berdakwah di dunia maya, harus dilakukan oleh pendakwah yang memiliki kredibilitas dan otoritas keilmuan yang memadai, bukan sekadar berbekal popularitas semata.

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Profesor Quraish Shihab, salah seorang ahli tafsir Al-Qur’an hebat Indonesia. Dalam salah satu kesempatan, Quraish Shihab berkata, “Memang sulit menghalangi orang berpendapat soal agama mereka, tapi seharusnya mereka sadar bahwa setiap ilmu memiliki syarat. Tidak semua bebas berpendapat tanpa otoritas.”

Artinya, setiap orang memang punya hak untuk berpandangan. Namun, dalam hal persoalan agama, seharusnya seseorang sadar adanya syarat sebelum menyampaikan pendapatnya.

Atas maraknya fenomena dakwah digital tersebut, penulis mengemukakan beberapa gagasan berikut:

Pertama, para cendekiawan muslim yang punya kredibilitas dan otoritas keilmuan, khususnya yang masih muda, harus ikut terjun di dunia dakwah digital. Mereka harus turut mengimbangi konten-konten keagamaan sembarangan dengan konten-konten yang berkualitas dan kredibel. Mindset yang harus ditanamkan adalah bila yang pandai tidak mau mengurusi pendidikan umat, maka pendidikan umat akan diurusi oleh yang bodoh.

Hal ini sebagaimana dunia politik, yang bila diisi oleh mereka yang gila jabatan, maka rusaklah dunia perpolitikan tersebut. Begitu pun dengan dunia dakwah digital. Maka, slogan jawa “sing waras ngalah” tidak relevan dalam persoalan dakwah digital ini. Karena, bila kehadiran para ustaz/ustazah  digital yang ilmunya karbitan tidak diimbangi oleh yang mumpuni keilmuannya, kemaslahatan umat akan terancam dan dipertaruhkan. Sebab, bisa jadi mereka menerima materi yang tidak tepat dan bahkan membahayakan atau menyesatkan.

Kedua, kaderisasi ulama atau intelektual muslim perlu dilakukan. Hal ini sangat perlu dan bisa dilakukan. Salah satu caranya dengan memberikan akses pendidikan yang memadai kepada para santri atau generasi muda muslim. Mereka disiapkan menjadi pendakwah generasi baru.

Ketiga, organisasi keagamaan harus turut serta dan senantiasa mengawal jalannya dua strategi dunia dakwah digital sebagaimana dua poin di atas. Organisasi keagamaan besar yang ada di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, harus turun tangan dan mengawal langsung dengan cara saling bersinergi. Juga menggandeng pemerintah untuk merealisasikan strategi dakwah digital sesuai kebutuhan zaman.

Dengan demikian, insyaallah dakwah Islam yang rahmatan lil alamin akan senantiasa tercipta dan membawa kebermanfaatan dan kemaslahatan bagi umat Islam dalam khalayak luas. Wallahu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan