Sumenep, 1946
Pagi cerah, mentari bersinar ramah. Burung berkicau tanda kehidupan kembali dimulai. Tak terasa satu tahun sudah Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun penjajah masih tak rela negeri elok nan damai ini bebas dari belenggunya.
“Mak, saya ingin nyantri. Saya ingin memperdalam ilmu agama,” kataku pada Emak pagi itu. Emak hanya diam, tak merespons maksud yang kuutarakan, seraya terus memisahkan bulir-bulir jagung dari tongkolnya. Di detik selanjutnya Emak menghela napas panjang.
“Tak usah kau berpikir macam-macam, karena Emak tak ingin jauh darimu,” kata Emak kemudian.
“Tapi, Mak…”
“Tak usah tapi-tapian, kalau Emak bilang tak usah kau jangan memaksa.”
Belum sempat aku mendapat penjelasan Emak, di luar rumah terjadi keributan, orang-orang berteriak, ”Belanda datang! Belanda datang!”
“Ayo Syahid, kita pergi dari sini,” Emak menarik lenganku. Akupun mengikuti langkah Emak, berlari keluar dari rumah tanpa bertanya hendak berlindung ke mana. Kami hanya berlari, begitu pun dengan orang-orang lain. Dari kejauhan, aku melihat rumah kami telah diluluhlantakkan oleh tentara Belanda.
“Mak, rumah kita dibakar oleh Belanda,” kataku pada Emak dengan suara terengah-engah sambil terus berlari.
“Sudahlah Syahid, tak usah kau hiraukan. Yang penting saat ini kita selamat,” pungkas Emak kemudian.
Aku tak tahu berapa jauh kami sudah berlari. Dan aku pun tak tahu ke mana tujuan pelarian kami. Hingga akhirnya kami sampai di daerah paling barat Kabupaten Sumenep, perbatasan antara Sumenep dengan Pamekasan.
“Emak kita ada di mana? Kapan kita kembali ke rumah?”
“Di sini adalah perbatasan Sumenep-Pamekasan. Kita mungkin tak akan kembali ke rumah, Nak. Belanda sudah menguasai daerah sana.”
Petang menjelang. Matahari hendak kembali ke peraduannya. Dengan diliputi rasa lelah dan takut yang mengecam, kami tertidur di bawah pohon siwalan.
“Nak, bangun sudah hampir maghrib. Kita belum salat ashar,” kata Emak sembari menggoyang tubuhku. “Ayo, kita cari air untuk berwudhu!”
Belum sepenuhnya aku sadar dari tidurku, kulangkahkan kaki mengikuti ke mana Emak pergi. Beberapa saat kemudian kami berdua pun menemukan mata air untuk berwudhu.
“Silakan Emak duluan! Biar aku berjaga di sini.”
“Baiklah, kau tunggu di sini!” kemudian Emak turun.
Pikiranku tak tenang. Rasa takut masih menggelayut. Dalam hati aku hanya bisa berdoa dibalut harapan, semoga para penjajah tak lagi datang. Pandanganku mengitari semak belukar di sekitar.
Sedetik kemudian. Duarrr. Terdengar suara tembakan.
Tak pernah terbayang, peluru senapan itu mendarat di dada Emak yang kusayang.
“Emak… Emak… jangan tinggalkan Syahid!” kuhampiri Emak yang sudah tak lagi menghirup udara pulau garam. Kupeluk tubuh Emak yang bersimbah darah. Penjajah biadab. Tak berperikemanusiaan.
Di hadapan jenazah Emak, aku berjanji akan membalas semua ini. Selama napas melekat di jiwa, dengan segala usaha akan mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini.
Maka, sepeninggal Emak aku mengabdikan diri di sebuah pesantren yang terletak di Kecamatan Ujung Barat, Kabupaten Sumenep. Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep yang menjadi pilihanku menempa diri. Di sana aku belajar banyak hal. Mulai dari ilmu agama sampai ilmu bela diri. Juga ilmu untuk membela bangsa dan negara di bawah asuhan KH Abdullah Sajjad.
***
Guluk-Guluk, 1947
Bulan tersenyum, menjadi penerang saat aku dan ribuan santri lainnya dilatih secara fisik dan digembleng secara rohani untuk menjadi laskar Sabilillah. Sebuah laskar yang didirikan oleh guru KH Abdullah Sajjad, yakni Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari.
“Mari kita kobarkan semangat perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan! Jangan sampai kemerdekaan yang sudah kita genggam kembali direbut oleh penjajah,” tutur KH Abdullah Sajjad malam itu mengobarkan semangat kami.
Dalam hati kecilku berkata dan bertekad, hidup ini akan kugunakan untuk mengusir penjajah dari persada Nusantara. Karena aku tak ingin ada lagi Syahid-Syahid lain yang kehilangan ibunya di ujung senapan Belanda.
***
Awal Juni,1947
Setelah 350 tahun Belanda menjajah Indonesia, mereka tak juga puas mengeksploitasi kekayaan rakyat Indonesia. Proklamasi yang sudah dibacakan oleh Bung Karno pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tak menjadi penghalang bagi negeri orange untuk kembali menjajah. Tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) datang kembali ke Indonesia membonceng pasukan Sekutu.
Pertengahan Juni 1947, wilayah Surabaya, Malang, Pasuruan, termasuk Madura, menjadi incaran pertama pasukan penjajah. Malam itu Kiai mengumpulkan para santri untuk menyusun strategi.
“Kita harus selalu siaga. Para penjajah kapan saja bisa datang kemari. Madura termasuk salah satu incaran pertama mereka. Jangan sampai kita lengah. Saat ini mereka sudah sampai di Pamekasan. Untuk itu, saya akan menugaskan sebagian dari kalian untuk membantu saudara-saudara kita yang ada di Pamekasan,” tutur Kiai kala itu dan menunjuk KH Khazin Ilyas menjadi komando pasukan melawan Belanda di Pamekasan. Namun, aku tak terpilih untuk berjuang bersama beliau.
“Kiai, saya mohon, izinkan saya ikut berjuang bersama Kiai,” ucapku kepada KH Khazin Ilyas dengan nada setengah memohon.
Kiai Khazin Ilyas menghela napas sembari tersenyum. Senyum yang sulit kuartikan.
“Apakah kau yakin mau ikut? Kita ke sana hendak berperang. Bukan sekadar jalan-jalan. Nyawa taruhannya. Kita tak pernah tahu kembali ke sini dalam keadaan hidup atau mati,” Kiai Khazin Ilyas menanyakan tekadku.
“Tekad saya sudah bulat Kiai. Saya ingin ikut berjuang bersama Kiai melawan pasukan Belanda di Pamekasan. Seandainya pun nyawa saya harus melayang, saya rela demi kemerdekaan bangsa ini,” tanpa kusadari tanganku terkepal teringat peristiwa tertembaknya Emak.
“Baiklah kalau memang tekadmu sudah bulat. Mintalah restu pada beliau!” seraya mengarahkan jari jempolnya pada KH Abdullah Sajjad. Aku pun berjalan menunduk, menghampiri beliau.
“Abdina nyu’unah izin. Abdina ngirengah Kiai Khazin Ilyas sareng laskar Sabilillah selaen dhe’ Pamekasan. (Saya mohon izin, saya ingin ikut Kiai Khazin Ilyas dan laskar Sabilillah ke Pamekasan),” tuturku pada KH Abdullah Sajjad dengan penuh harap mendapat restu beliau.
“Apa be’na la siap, Cong, kaangguy norok aperrang? (Apakah kau sudah siap, Nak, ikut berperang?)” tanya beliau padaku memastikan. Aku hanya menganggukkan kepala sebagai tanda kesiapan. Kemudian beliau memberikan sepotong lidi seukuran jari kelingking padaku.
“Kau taruh lidi ini di dalam pecimu. Tapi ingat, semua kekuatan hanya datang dari dan milik Allah. Bukan dari lidi yang kuberikan ini,” nasihat Kiai padaku.
Usai menunaikan salat subuh berjamaah. Aku bersama pasukan Sabillah yang lain di bawah pimpinan KH Khazin Ilyas berangkat menuju Pamekasan. Menuju medan perang dengan berjalan kaki dan bersenjatakan bambu runcing, serta berbekal la haula wa la quwwata illa billahil Aliyyil Adzim.
Sampai di Pamekasan, kami bergabung dengan para pejuang lain. Pertempuran di kota Pamekasan berlangsung sengit.
“Syahid, ayo maju! Kita perangi penjajah!” seru sahabat Sabilillah padaku.
Aku teringat pada Emak. Emak yang sudah mengandungku selama sembilan bulan, merawat dengan kasih sayang, melindungiku siang dan malam. Tanpa terasa air mataku menetes. Saat itu juga keberanianku melawan Belanda memuncak. Kuangkat bambu runcing yang kubawa. Aku mengendap mendekat, membuntuti tentara Belanda. Kemudian kuayunkan bambu runcing yang kupegang, kutusukkan tepat di punggung penjajah biadab itu.
“Emak… telah kubalas perih lukamu,” bisikku lirih sambil kucabut bambu runcing yang menusuk punggung penjajah. Aku berjalan di belakang pasukan penjajah yang telah siap dengan senapannya. Aneh, mereka tak melihatku. Kutusukkan kembali bambu runcing yang kubawa tepat di punggung mereka hingga menembus jantungnya. Beberapa pasukan penjajah bingung, mereka tak melihatku. Lidi pemberian Kiai Sajjad masih di dalam peci. Senyumku terkembang. Ya… mungkin berkat lidi itu, dengan izin Allah mereka tak melihatku.
Peperangan yang berlangsung sengit di Pamekasan berhasil memukul mundur pasukan penjajah sampai ke daerah Branta, sekitar tiga kilometer ke arah selatan kota Pamekasan. Senyum pasukan Sabilillah terkembang dalam layar kemenangan.
Tak lama dari itu, tepat tanggal 4 Agustus 1947, tambahan tentara Belanda mendarat di Camplong dan Branta Pesisir, dengan persenjataan lengkap termasuk tank. Kami para pejuang kewalahan menghadapi mereka. Akhirnya, kami berhasil dipukul mundur oleh pasukan penjajah. Tak dapat dimungkiri, Pamekasan kembali dikuasai Belanda.
Setelah menguasai Pamekasan, penjajah melanjutkan agresi ke wilayah Sumenep melalui kecamatan Pakong. Melihat hal tersebut, Kiai Sajjad tak tinggal diam. Beliau kembali mengirim pasukan Sabilillah di bawah pimpinan KH Khazin Ilyas ke daerah Cenlecen Pakong. Para pejuang hanya mampu bertahan selama tujuh hari mengingat terbatasnya persenjataan. Sebelum mundur, atas inisiatif Kiai Khazin kami merobohkan jembatan Cenlecen dan jembatan Bekiong yang merupakan akses menuju Sumenep. Hal ini dilakukan demi memperlambat laju pasukan Belanda.
“Tolong sampaikan pada Kiai Sajjad dan Kiai Ilyas agar pesantren dikosongkan demi keselamatan para santri,” perintah Kiai Khazin padaku dan dua temanku yang diutus ke Annuqayah.
Sesampainya di Annuqayah, Kiai Ilyas dan Kiai Sajjad langsung mengindahkan pesan Kiai Khazin. Kiai Ilyas mengungsi ke dusun Barca, daerah pedalaman Guluk-Guluk. Sedangkan Kiai Sajjad mengungsi ke Karduluk daerah sebelah timur Prenduan ditemani beberapa orang santri. Di sana Kiai Sajjad tinggal di rumah Kiai Bahar, sepupu beliau.
“Kiai, kalau boleh saya sarankan lebih baik Kiai mengamankan diri ke pulau Jawa saja. Ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Di sana Kiai akan aman bersama Kiai As’ad,” nasihat Kiai Bahar kepada Kiai Sajjad di suatu pagi.
“Maaf Kiai, saya tidak bisa seperti itu. Saya tidak ingin mengamankan diri, sementara santri dan rakyat di bawah tekanan penjajah. Hidup mulia atau mati syahid. Lebih baik saya mati daripada meninggalkan Madura,” Kiai Sajjad menolak saran Kiai Bahar.
Empat bulan berlalu. Kiai Sajjad mengajak para santri yang mengiringinya kembali ke Annuqayah. Menjelang ashar kami sampai di Annuqayah. Kedatangan Kiai Sajjad disambut hangat oleh masyarakat Guluk-Guluk. Mereka datang berduyun-duyun ke Annuqayah dan salat ashar berjamaah dengan diimami beliau. Kala itu suasana menjadi begitu tentram dan damai. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung dalam hitungan jam. Seusai salat maghrib, tiba-tiba tentara Belanda datang dan meminta Kiai Sajjad datang ke Pasar Kemisan Guluk-Guluk.
“Kiai, abdina ngirengah Ajunan (saya ingin bersamamu, Kiai),” kataku pada Kiai.
“Tak usa jhek, Cong (tidak usah, Nak). Hidup dan mati adalah kuasa Allah. Jangan kau mengira orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan mendapatkan rezeki,” tutur Kiai Sajjad kemudian.
Sesampai di markas Belanda, apa yang dikhawatirkan masyarakat dan para santri benar-benar terjadi. Belanda berbuat curang. Ternyata beliau hendak dieksekusi. Sebelum eksekusi dilakukan, KH Abdullah Sajjad meminta waktu menunaikan salat sunnah. Pihak Belanda mengabulkan permintaan beliau. Namun, lagi-lagi penjajah berbuat curang. Saat Kiai Sajjad khusyuk dalam salat, tiga peluru serdadu Belanda menembus dada beliau. Tak terelakkan tubuh Kiai Sajjad tersungkur dalam sujud. Darahnya tumpah menjadi sajadah.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Malam itu, 20 Muharram 1368 H, bertepatan 3 September 1947, pahlawan pembela rakyat Madura kembali pada Sang Khalik. Darah syahid mengalir dari dada beliau. Madura berduka.
“Kiai… Jangan tinggalkan kami!” teriakku histeris bersama beberapa santri yang sedari tadi menjadi saksi.
ilustrasi: citrust.id