1/
Di zaman di mana kecepatan menjadi segalanya, melahirkan karya yang autentik dan berharga tidaklah mudah. Banyak hiburan yang memanjakan mata —mungkin juga membahagiakan jiwa— mesti dilewati dan diabaikan.
Begitu juga dalam menulis esai tentang kegiatan bertajuk “Dari Gagasan ke Karya” yang diadakan oleh Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tidar, Magelang, Jawa Tengah, pada hari Minggu, 10 November 2024.
Sebagai laporan kegiatan atau berita acara sudah kelewat basi, bukan? Dalam bahasa jurnalistik, ini tidak lagi aktual. Kegiatan yang diselenggarakan secara blended learning ini diikuti sekitar 170-an mahasiswa Bahasa dan Sastra. Mayoritas dari mereka adalah Generasi Z, yang bertungkus lumus dengan alat digital, tidak terkecuali dalam berproses kreatif, berkarya, dan menulis. Namun, siapa bisa berpaling dari riap cahaya gadget hari ini?
Melalui esai ini, mari kita refleksikan bersama tantangan dan peluang di era digital, serta bagaimana kita dapat tetap menjaga semangat kreatif di tengah arus perubahan. Sambil menulis dengan kecepatan siput, kita akan mencapai tujuan, walaupun lambat.
“Kok jadi serius, AI?”
“Ya, harus tampak serius biar seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat ketika membahas program yang berkaitan dengan rakyat.”
“Hubungannya apa dengan anggota dewan?”
“Generasi Z kan juga rakyat?”
“Baiklah.”
Generasi Z, dengan akses tak terbatas ke informasi dan teknologi, memiliki potensi besar dalam menghasilkan karya sastra: puisi, cerpen, maupun novel. Namun, saya sering merasa ide-ide seperti kucing liar, berlarian ke sana kemari tanpa arah. Di kelas kreatif, “Dari Gagasan ke Karya”, saya mencoba menjawab dan mengarahkan agar gagasan-gagasan liar menjadi sebuah karya yang bermakna.
“Liar? Persis seperti penggunaan anggaran proyek untuk rakyat ya.”
“Hus! Ada mahasiswa yang tanya tuh.”
“Pak, ide saya tentang alien yang jatuh cinta dengan manusia itu bagus nggak?” tanya seorang mahasiswa.
“Tentu saja, asalkan tidak berakhir seperti drama Korea,” jawab saya, mencoba menahan tawa.
Jawaban tersebut bukan dari saya. Itu jawaban AI.
Sebagai seorang penulis, saya tak pernah menyangka hidup saya akan dihantui oleh kecerdasan buatan (AI). Bayangkan, saya sedang asyik menatap layar kosong, berharap inspirasi datang, tiba-tiba muncullah AI yang menawarkan bantuan dengan suara yang lebih sopan dari teman-teman saya.
“Apakah Anda membutuhkan bantuan untuk menulis esai?” tanyanya.
“Ya, tentu saja. Aku bahkan butuh bantuan untuk menemukan kaus kaki yang hilang,” balas saya dalam hati, dengan sedikit kesal karena ternyata AI lebih efisien dalam menemukan ide daripada saya.
Sekali lagi, di era di mana segala sesuatunya berjalan cepat, termasuk pulsa saya yang cepat habis, menulis dan mengendapkan ide menjadi tantangan tersendiri. Seperti seorang detektif yang mencari petunjuk, saya harus memeriksa setiap sudut otak saya untuk menemukan ide-ide yang tersembunyi.
Namun, di tengah proses itu, notifikasi dari media sosial sering kali menyerbu konsentrasi saya. “5 menit mahir menulis!” Saya harus belajar untuk mematikan notifikasi dan fokus pada kata-kata yang ingin saya tuliskan.
Ah, betapa rumitnya menjadi penulis di era digital ini. Kadang saya berpikir, kalau literasi diibaratkan olahraga, maka literasi di era digital ini mungkin lebih seperti yoga sambil menonton serial TV—niatnya sih ingin fokus, tapi kenyataannya lebih sering teralihkan oleh cerita yang tidak ada hubungannya sama sekali!
“Apa syarat menjadi penulis?” tanya seorang mahasiswa berkerudung hitam.
“Membaca!”
Sayangnya, di tengah arus informasi yang tiada henti, membaca buku sering kali menjadi formalitas belaka atau syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Namun, kapan waktu yang tepat untuk membaca? Saat saya berusaha menyusun jadwal membaca, notifikasi dari media sosial dan pekerjaan lainnya sering kali mengganggu. “Kapan membaca di tengah lautan notifikasi ini?” tanya saya pada diri sendiri.
Mencari waktu untuk membaca di era digital ini ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Tapi, demi menjaga kesehatan mental dan menambah wawasan, saya berusaha menemukan momen-momen berharga untuk tenggelam dalam buku.
2/
Sebenarnya, esai ini sudah lama ingin saya tulis, tepatnya satu jam setelah acara bertajuk “Dari Gagasan ke Karya”. Saya terbiasa menulis dalam perjalanan bahkan di tengah serbuan notifikasi yang tiba-tiba masuk menyerbu. Hanya, entah kenapa ketika itu, ajakan Mbak Zi (Dzikrina Dian Cahyani) dan Mbak Wicahyanti Rejeki untuk kulineran Tahu Kupat Pak Pagat jauh lebih menggoda ketimbang menulis esai. Padahal, di era yang serba cepat ini, saya bisa saja memesan via online, bukan? Sambil menunggu pesanan datang saya kan bisa skrolan, eh, menulis esai ini maksud saya.
Sepanjang jalan, Mbak Zi bercerita tentang disertasinya yang tak kunjung selesai hingga puisi-puisi Indonesia yang jarang mengangkat tema-tema kritik sosial dan perlahan hilang tertelan zaman. Sesekali Mbak Wicahyanti yang juga penulis menimpali dengan cerita tentang Taman Baca miliknya.
Sebagai dosen pengampu mata kuliah penulisan kreatif, Mbak Zi berharap kegiatan kuliah umum ini dapat menambah pemahaman dan wawasan tentang proses kreatif sastra. Kehadiran Mas Mahwi dan Mbak Wicah dapat menjadi inspirasi dan memberi motivasi para mahasiswa untuk berkarya sastra. Selain itu, kehadiran mereka diharapkan dapat membuka ruang belajar dan pengalaman yang lebih luas kepada para mahasiswa, terutama di bidang kesusastraan.
Sekian dari saya, si penulis yang lebih sering dikejar tenggat waktu daripada dikejar pujian.
Let’sembracethe slow and steady journey of creativity in this fast-paced world!