Dari Misteri Pergantian Malam dan Siang

64 views

Raden Rahmat, atau yang kenal sebagai Sunan Ampel, membangun fondasi cikal bakal pesantren di Ampel Denta (Wonokromo sekarang) pada 1451 M. Sejak itu, pesantren-pesantren didirikan baik oleh para wali maupun para kiai di segenap penjuru Nusantara, khususnya di Jawa.

Pada 2021, ada sekitar 31.385 pesantren dan 4,29 juta santri di seluruh Indonesia. Santri-santri tersebut, di pesantrennya masing-masing, senantiasa merasakan atau melihat gelap di malam hari dan merasakan atau melihat terang di siang hari. Mungkin saja di antara para santri ini ada yang merenungkan: “Mengapa malam terasa gelap dan siang terlihat terang?”

Advertisements

Sekira 14 abad yang lampau, Allah menurunkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad (QS Al-Qashash ayat 71): “Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?’”

Selanjutnya, dalam QS Al-Qashash ayat 72: “Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?’”

Penemu teleskop yang pertama kali masih menjadi misteri hingga kini, namun tercatat dalam sejarah, pada 1450 M Thomas Digges dan putranya, Leonard, berhasil membuat teleskop sederhana. Pada 1608 M, Hary Lippershey berhasil membuat teleskop yang bisa memperbesar obyek tiga kali lipat dan mengajukan permohonan hak paten atas penemuannya itu.

Pada 1609 M, Galileo berusaha membuat teleskop berdasarkan desainnya sendiri, berhasil, dengan kemampuan memperbesar objek hingga 20 kali lipat. Dengan teleskopnya itu, Galileo bisa melihat benda-benda di langit dengan lebih jelas: gunung dan kawah di bulan, cincin Saturnus.

Sepanjang abad ke-17, teleskop terus disempurnakan oleh para ilmuwan Eropa, diantaranya adalah Johannes Keppler dan Isaac Newton. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, badan antariksa Amerika Serikat NASA berhasil membuat teleskop Hubble pada 24 April 1990, teleskop tercanggih di dunia hingga saat ini.

Sejak abad ke-17, para astrofisikawan, dengan bantuan teleskop, bisa mengamati langit dan objek-objek yang ada di sana dengan lebih seksama, melahirkan teori-teori baru tentang jagat raya serta pertanyaan-pertanyaan baru yang sebagian masih belum terjawab hingga sekarang.

Mengapa langit selalu gelap? Dalam gelapnya langit, mengapa ada pergantian malam dan siang di Bumi? Berabad-abad para ilmuwan berdebat: “Apakah jagat raya ini ada dengan sendirinya, ataukah ada penciptanya?”

Setelah kemunduran berturut-turut Yunani, Romawi, dan Persia, Kekhalifahan Abbasiyah meneruskan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dunia, yang mencapai puncaknya pada masa pemerintahan khalifah kelima, Harun al-Rasyid (786 – 803 M). Dalam kurun waktu sekitar 500 tahun, Baghdad menjadi pusat iptek dunia. Al-Khawarizmi menemukan angka nol dan memperoleh julukan Bapak Aljabar. Abu Ishaq az-Zarqali merumuskan teori bahwa orbit planet adalah lintasan eliptik, bukan sirkular. Ibnu Bajjah mengemukakan teori adanya Galaksi Bimasakti. Al-Kisai sang ahli bahasa, Ibnu Khardazah sang ahli geografi, Ar-Razi menulis buku kedokteran “al-Hawi”, Ibnu Sina sang Bapak Kedokteran, Jabir bin Hayyan sang Bapak Kimia, Ibnu Batutah dan Ibnu Khaldun sang ahli Ilmu Sejarah, Al Gazali, dan Abu Hasan al-Asy’ari serta masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan yang lain.

Pengepungan Baghdad pada 1258 M oleh Bangsa Mongol menandai pergeseran pusat iptek dunia dari Baghdad ke Eropa. Namun demikian, pada pertengahan abad ke-15, dalam masa pemerintahan khalifah ketujuh Dinasti Ottoman (Turki Utsmani) Mehmet II atau Muhammad al-Fatih, para ilmuwan dan teknolog Ottoman melakukan riset metalurgi tingkat tinggi yang berhasil melahirkan meriam terbesar di dunia, Meriam Basilika. Meriam Basilika digunakan untuk menembak tembok kokoh Konstantinopel, berhasil meruntuhkannya, menandai jatuhnya Byzantium Timur ke dalam kekuasaan Dinasti Turki Utsmani.

Setelah lengsernya Khalifah Al-Fatih, elite-elite penguasa di lingkaran dalam Dinasti Ottoman terlibat perselisihan dan pertikaian yang panjang sehingga kemajuan iptek yang telah dicapai terbengkelai dan perlahan-lahan mengalami kemunduran. Eropa, sekali lagi, mengambil alih dan melanjutkan pengembangan iptek dunia.

Kerajaan atau dewan gereja membangun otoritas untuk memayungi pusat-pusat riset iptek di segenap penjuru Eropa, melahirkan Royal Society of London pada 1660 M yang mendapat piagam dukungan dari Raja Inggris Charles I pada 1662 M, The French Academy of Sciences (Academie des Sciences) yang didirikan pada 1666 oleh Raja Prancis Louis XIV. Humboldt-Universitat zu Berlin, didirikan pada 1810 M oleh Wilhelm von Humboldt, menjadi model rujukan universitas-universitas di Eropa dan Amerika.

Dalam catatan sejarah, kekalahan Kekhalifahan Ottoman melawan blok Britania Raya-Prancis-Rusia dalam Perang Dunia I terutama disebabkan oleh kemajuan iptek mesin-mesin perang blok sekutu, yang sekaligus menandai runtuhnya Kekhalifahan Dinasti Turki Utsmani melalui perjanjian Versailes pada 1919 M.

Berabad-abad lamanya para ilmuwan berdebat tentang alam semesta: “Benarkah alam semesta ada dengan sendirinya?” Atau, “Siapakah pencipta alam semesta ini?”

Para astrofisikawan, dengan teleskop untuk melihat dan radar gelombang radio untuk mendengar, melakukan riset dalam waktu yang panjang untuk mengamati dan meneliti objek-objek di antariksa, yang melahirkan teori-teori baru tentang jagat raya, di antaranya adalah: Teori Relativitas Khusus tentang kesatuan ruang waktu (Albert Einstein, 1905), Teori Relativitas Umum yang menyatukan relativitas khusus dengan hukum gravitasi Newton (Albert Einstein, 1916), Teori Big Bang yang memperkirakan usia jagat raya sekitar 13,7 miliar tahun (Alexander Friedmann, 1924). Hingga sekarang, para ilmuwan belum selesai menghitung ukuran besarnya jagat raya, sejauh yang bisa dijangkau oleh teleskop tercanggih saat ini, Hubble, yang bisa diamati adalah horizon atau cakrawala jagat raya.

Dalam semesta cakrawala jagat raya, para ilmuwan menghitung jumlah energi radiasi cahaya dari objek-objek yang bersinar seperti bintang-bintang, ternyata belum cukup untuk menerangi jagat raya, atau malam senantiasa gelap. Tidak tak terbatasnya jumlah bintang-bintang di jagat raya membuat antariksa senantiasa gelap, yang berarti bahwa jagat raya ini juga tidak tak terbatas. Tidak tak terbatasnya jagat raya mensyaratkan implikasi fundamental, yaitu adanya Sang Pencipta yang menciptakan jagat raya tersebut.

Mengapa ada siang dan malam di Bumi? Berdasarkan penelitian dan pengukuran para astrofisikawan, jarak Bumi-Matahari persis, pas, dan tepat untuk terjadinya pergantian malam dan siang, sehingga manusia dan makhluk-makhluk yang lain bisa hidup di Bumi. Jika Bumi menempati posisi Saturnus atau bahkan Neptunus, kedua permukaan Bumi yang membelakangi maupun yang menghadap Matahari akan selalu gelap, atau senantiasa malam. Jika Bumi menempati posisi Venus atau Merkurius, intensitas panas dari cahaya Matahari menjadi berlipat dua kali atau enam kali, Bumi senantiasa siang (lihat Agus Purwanto, D.Sc, “Ayat-Ayat Semesta, sisi-sisi Al-Qur’an yang terlupakan”).

Demi melihat tatanan agung alam semesta, Albert Einstein bertanya kepada siapa saja yang ditemuinya, dari tukang kebun hingga presiden universitas, “Apakah Tuhan mempunyai pilihan dalam menciptakan jagat raya?”

Manusia adalah citra Tuhan di dunia, dan alam semesta diciptakan-Nya untuknya —manusia menjadi pusat jagat raya. Hingga hari ini, para ilmuwan dan khususnya astrofisikawan masih menyelidiki: “Di mana pusat alam semesta?”

Wa Allah a’lam bi al-Shawab.

Rumah Merah, 10072021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan