Seorang anak kecil, mungkin usianya 5-6 tahunan, berjongkok di tikungan jalan, terjepit di antara kaki-kaki kerumunan orang yang berdiri berdempetan. Di belakangnya ada sang ayah yang berdiri menjaganya. Tapi, pandangan mata anak kecil itu terhalang oleh kaki-kaki orang-orang yang berbaris membuat pagar betis.
Tak lama berselang, seseorang datang mendekat, mencolek bahu orang yang menjadi bagian dari pagar betis itu. “Kakimu menghalangi pandangan anak kecil itu,” katanya berbisik.
Yang dicolek kemudian merenggangkan kakinya sehingga sebagai bagian dari barisan pagar betis ia tak lagi berdiri dengan sikap sempurna. Tapi, melalui celah kakinya itu, si anak dapat melihat jauh ke depan, ke iring-iringan mobil yang akan melintasi tikungan jalan itu. Si anak tersenyum ketika akhirnya mobil yang ditunggu-tunggu itu lewat di depan matanya, yang ia lihat dari celah kaki yang merenggang itu.
“Pakde… Pakde…!” teriaknya dengan senyum sumringah.
“Kamu bisa melihat mobil Pakde ya?” tanya bapaknya dari belakang.
“Ya, Pak.”
***
Pakde yang diteriaki anak kecil itu tak lain adalah Joko Widodo, alias Jokowi, Presiden Republik Indonesia. Ketika itu, Rabu 23 Desember 2021, Jokowi baru saja membuka Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Darussaadah Lampung Tengah, Lampung. Siang itu, di bawah sengatan matahari, iring-iringan mobilnya melintasi jalanan yang agak becek karena hujan hari sebelumnya.
Ribuan muktamirin, warga nahdliyin yang hadir di arena Muktamar, ingin ikut menjadi saksi hari bersejarah itu. Termasuk si anak kecil itu, yang bahagia meskipun sekadar bisa melihat mobil yang membawa Jokowi melintas dari celah kaki anggota Banser yang menjadi pagar betis di sepanjang jalan. Ya, bukan Paspampres yang mengamankan jalanan di arena Muktamar itu, melainkan pasukan Banser NU.
Dari pojok tikungan jalan itu kita bisa merasakan “alam bawah sadar” muktamar-muktamar NU: selalu ada tempat, selalu memberi tempat, kepada siapa saja.
Saya ikut merasakan momen-momen itu bahkan sejak berangkat dari Jakarta sehari sebelum Muktamar dimulai bersama rombongan jejaring duniasantri. Di sepanjang perjalanan, di tempat-tempat peristirahatan atau pemberhentian, kami akan langsung saling mengenali bahwa kami sedang menempuh perjalanan yang sama, dengan tujuan yang sama, meskipun cara kami “menampilkan diri” selalu beragam warna —laiknya warga nahdliyin.
Momen-momen seperti itu akan lebih terasa lagi ketika kita berada di arena Muktamar. Jumlah muktamirin memang tak sembludak muktamar-muktamar sebelumnya karena pembatasan-pembatasan akibat pandemi. Tapi tetap saja jumlahnya mencapai ribuan orang. Mungkin lebih dari sepuluhan ribu orang.
Di sana keragaman nahdliyin itu nyata. Ada yang datang dengan mobil-mobil mewah berpakaian necis nan klimis. Ada yang datang bersama rombongan naik bus dengan bersarung dan berpeci. Ada yang harus mengendarai motor dengan menempuh jarak ratusan kilometer. Ada rombongan yang gowes sepeda. Ada yang berambut gondrong nan gimbal. Ada yang berblankon. Ada yang perutnya kempis menahan lapar. Ada yang gendut ngemil tiada henti. Ada yang zikirnya khusyuk, mungkin ada pula yang salatnya tak sempurna. Namun semuanya diberi tempat, dan mendapat tempat, di arena muktamar.
Mereka disebut “romli” alias rombongan liar karena memang datang tanpa diundang (secara resmi). Karena itu mereka “tahu diri”, tak ingin masuk ruang-ruang sidang tempat muktamirin resmi berdiskusi, berdebat, dan mengambil keputusan. Mereka juga tak peduli siapa nanti yang akan dipilih untuk memimpin organisasi ini. Yang mereka niatkan hanyalah hadir, berada di arena di muktamar, berdekat-dekat dengan para kiai, dan memperoleh barokah. Itu saja.
***
“Alam bawah sadar” muktamar ini dengan sendirinya juga menjelaskan “alam bawah sadar” NU selama ini: sebagai organisasi berbasis keagamaan yang terbesar bahkan di dunia, NU selalu memberi tempat kepada siapa saja, dengan kelas, karakter, dan corak pemikiran apa saja. Dan dari sanalah kekuatan NU itu nyata, sebenarnya.
Tapi inilah yang membuat orang-orang yang tidak paham sering menyebut NU suka ngaco baik dalam praktik maupun pemikiran keagamaan. Anak kecil yang sedang jongkok itu, adalah bagian dari berjuta-juta generasi nahdliyin yang sedang mereka incar, yang ingin mereka “selamatkan” dari ke-nahdliyin-an atau ke-NU-an.
Tengah malam menjelang pembukaan Muktamar itu, saya kebetulan terlibat diskusi dengan seorang pengurus ranting NU dari sebuah desa di Lampung. Betapa orang-orang yang tak sepaham dengan NU, atau menentang ajaran dan praktik keagamaan NU, yang dia sebut sebagai Wahabi atau Salafi, kini tengah menggerogoti kekuatan-kekuatan atau basis nahdliyin di pelosok-pelosok desa — bisa jadi ini terjadi di seantero negeri.
Terutama melalui jalur pendidikan dan kegiatan keagamaan, mereka menawarkan pendidikan-pendidikan yang lebih baik terutama kepada keluarga-keluarga nahdliyin yang masih miskin. Selanjutnya mereka akan mengajak keluarga-keluarga nahdliyin yang masih miskin itu untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang mereka adakan.
“Buktinya sudah banyak, yang dulu rutin tahlilan dan yasinan sekarang sudah tidak mau lagi. Bidah, sesat, katanya,” kata teman diskusi saya itu.
Saya tidak tahu, karena saya cuma “muktamirout” alias hadir di sana tapi di luar pagar, apakah fenomena pucuk gunung es ini juga didiskusikan di ruang-ruang sidang Muktamar itu atau tidak. Yang saya khawatirkan adalah kelak tak ada lagi anak kecil berjongkok di arena muktamar seperti yang saya saksikan tempo hari. Saya khawatir tak bisa lagi mengenali dia sepuluh tahun lagi atau dua puluh tahun lagi.
Selalu keren tulisannya pak👏👍
Yerima kasij infonya Gus