Dari Sukorejo untuk Lingkungan*

28 views

Ini adalah tahun keempat saya mondok di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Banyak pelajaran hidup yang saya dapat, bahkan agaknya saya tinggi hati karena merasa lebih bisa mengatasi masalah dari sebelumnya. Semoga saja tidak. Dan, bagaimana perasaan itu tidak hadir, sementara saya di pondok ini benar-benar dilibatkan secara langsung dalam mengatasi suatu masalah. Saya juga kebagian capeknya, tidak enaknya, dan keluh-kesahnya. Tak terkecuali dalam masalah sampah —semua santri di Pesantren Sukorejo dilibatkan dalam menangani masalah ini.

Sampah adalah masalah yang selalu hadir di kerumunan banyak orang. Ada sekitar 24.000 lebih santri yang sedang bermukim di Pondok Sukorejo ini. Jika satu sampah muncul dari setiap santri, maka ada sekitar 24.000 penghasil sampah dalam setiap harinya. Itu jika satu dan dalam kurun waktu satu hari saja. Bagaimana jika dua sampah, bagaimana jika sebulan dan seterusnya.

Advertisements

Dari itu, maka santri diwajibkan untuk membawa piring sendiri ketika membeli nasi, tidak dibungkus kertas nasi lalu dibungkus lagi pakai plastik tahu. Dan, tentu kebijakan ini bukan hanya tertuju kepada santri, melainkan juga penjual nasi; bahwa mereka dilarang untuk menyediakan kertas nasi. Hal yang sama berlaku bagi toko belanja santri; sebanyak apa pun barang belanjaan santri, pihak toko tidak menyediakan plastik untuk wadahnya. Biasanya, jika mau belanja banyak barang, santri membawa tas sekolah sebagai wadah. Ya, agak mengesalkan kadang. Sebab, selain antre beli nasi, juga antre untuk cuci piring. Tapi, saya rasa itu yang seharusnya.

Siapa yang tidak pernah mendengar kalimat “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Lebih baik mencegah munculnya sampah daripada harus memunculkan lalu membuangnya.

Ihwal sampah pada hakikatnya tidak ada yang dibuang, melainkan dipindah tempat saja. Sebab, tak ada bedanya ia berada di tempat mana saja; jika masih berupa sampah ia adalah sesuatu yang berbahaya. Jika memang dibuang harusnya ia tidak memiliki dampak apa pun. Begitu seharusnya. Itu yang menjadi salah satu dasar kebijakan Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo terkait sampah.

Di satu sisi, kami juga melihat bahwa penanganan masalah sampah di pondok ini tidak hanya melibatkan satu pihak, melainkan menyentuh semua individu. Ada upaya kolektif yang terbangun secara kompak. Santri membawa piring, pihak penjual nasi tidak melayani santri kecuali membawa piring. Santri membawa tas, pihak toko tidak menyediakan plastik, tidak peduli apakah akan laku atau tidak dagangannya. Itulah fenomena yang kami lihat di Pondok Sukorejo.

Apa yang diberlakukan oleh pondok ini memiliki kesesuaian dengan konsep saddu dzari’ah. Ini adalah dasar dari kebijakan tersebut. Istilah ini dalam usul fikih dikenal dengan tindakan preventif atas terjadinya kerusakan. Ada banyak ketentuan hukum dalam fikih yang berangkat dari prinsip ini. Sebut saja penjualan senjata perang kepada musuh; pada asalnya menjual senapan itu boleh, tetapi jika pembelinya adalah musuh orang Islam, maka penjualan tersebut hukumnya haram. Contoh lain adalah mencela Tuhan non-muslim yang diyakini ia akan balas mencela; mencela Tuhan non-muslim itu dilarang, karena dapat menyebabkan celaan kepada Allah. Dan lain-lain.

Apa yang salah dari tindakan membungkus nasi menggunakan kertas dan plastik tahu? Tentu tidak ada. Namun, tindakan tersebut berakibat pada munculnya sampah. Dan itu adalah masalah —sehingga sebab itu tindakan tersebut dikatakan salah. Menggunakan piring saat membeli nasi dinilai sebagai upaya untuk menutup adanya peluang terjadinya masalah tersebut. Peniadaan bungkus plastik sekali pakai dari toko belanja santri juga demikian. Kurang lebih demikian logika saddu dzari’ah bekerja dalam realitas santri Sukorejo dalam menangani masalah sampah.

Fenomena tersebut juga mengajarkan bahwa sampah adalah masalah kolektif, bukan individu. Darinya, masalah ini adalah tanggung jawab bersama, bukan perorangan. Dan memang begitu seharusnya. Sebab, dampak dari masalah sampah tidak hanya dirasakan oleh satu-dua orang, melainkan oleh semua orang. Banjir adalah salah satunya. Kita bisa lihat negara Jerman; bahwa ia adalah negara dengan skema penanggulangan sampah yang cukup baik. Jerman dapat mengurangi sampah sebesar 1 ton dalam tiap tahunnya. Ini mereka capai melalui kekompakan dari berbagai pihak. Pemerintah membuat kebijakan, perusahaan bertanggung jawab terhadap kemasan produknya, dan konsumen juga bijak dalam menyikapi kemasan produk yang dibelinya.

*Naskah peserta Lomba Karya Tulis Ekologi Kaum Santri, sesuai judul aslinya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan