Debat Hukum Ucapan Natal

2,320 kali dibaca

Perselisihan boleh atau tidaknya mengucapkan Selamat Natal menjadi masalah yang terus menerus merenggangkan kerukunan. Perdebatan ini sangat menarik, di mana kedua kelompok mempunyai rujukan yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an.

Dari kelompok yang memperbolehkan, berpedoman pada Surat Mumtahanah ayat 8:

Advertisements

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Dalam ayat tersebut, Allah tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada umat beragama lain, dan sebaliknya umat beragama lain tidak dilarang berbuat baik kepada umat Islam. Sering kita lihat bagaimana umat Kristiani memasang spanduk “Selamat Hari Raya Idul Fitri” di pinggir jalan, yang dimaksudkan sebagai bentuk solidaritas umat beragama. Dengan kata lain, umat Islam pun tidak dilarang mengucapkan Selamat Natal sebagai bentuk solidaritas beragama.

Menurut mereka, ucapan Selamat Natal dimaknai sebagai muamalah, yaitu menjaga hubungan baik dengan umat Kristiani. Mereka ingin menjalin kerukunan dan mempererat persahabatan dengan umat beragama lain melalui ucapan tersebut. Sehingga, mereka meniatkan mengucapkan Natal sebagai bentuk kebahagiaan kecil yang diberikan kepada umat Kristiani.

Sedangkan, kelompok yang melarang mengucapan Selamat Natal, menganggap Natal sebagai hari lahirnya Yesus. Di mana, Yesus dalam konteks agama Kristiani sebagai Tuhan. Kelompok ini khawatir, dengan mengucapkan Selamat Natal akan mengurangi kadar keimanan mereka yang menganggap Yesus atau dalam Islam adalah Nabi Isa sebagai utusan Allah.

Bagi kelompok yang melarang, biasanya merujuk pada pendapat ulama-ulama klasik yang hidup di abad ke-12 Hijriyah. Pada abad ke-12 H, Islam sedang mengalami dua arah serangan besar. Dari timur Islam mendapat serangan dari dinasti Mongoliah. Sedangkan, dari arah Barat, Islam mendapat tekanan dari pasukan Salib. Oleh karena itu, ulama-ulama klasik pada zaman ini memperkuat identitas-identitas Islam, termasuk pelarangan mengucapkan Selamat Natal sebagai bentuk penguatan semangat juang umat Islam.

Pengucapan Selamat Natal tidak termasuk dalam kaidah toleransi menurut kelompok yang melarang. Bagi mereka, pengucapan Selamat Natal sudah menginjak tataran akidah, di mana dalam masalah akidah tidak ada negosiasi lagi dan tidak terikat konteks toleransi karena terkait keimanan dengan Allah swt. Dalam hal ini mereka mengambil rujukan dari Surat Al Kafirun ayat 6 “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”  

Namun pendapat ini tidak berlaku bagi kelompok yang memperbolehkan pengucapan Selamat Natal. Bagi mereka, mengucapkan Selamat Natal tidak akan merusak kadar keimanan mereka dengan Allah swt. Mengucapkan Selamat Natal akan memperkuat hubungan baik antara Islam dengan umat Kristiani, dan menjalankan prinsip rahmah yang selalu diajarkan Nabi Muhammad kepada umatnya.

Kelompok ini tidak bermaksud mencela ulama-ulama terdahulu yang melarang pengucapan Selamat Natal. Mereka menghargai pendapat ulama-ulama klasik dan mengakui kadar keilmuan mereka. Namun, yang menjadi pedoman mereka, zaman yang dialami ulama-ulama klasik dengan zaman sekarang jauh berbeda. Islam di zaman sekarang sudah bebas dari peperangan antaragama, sehingga penguatan identitas tidak diperlukan lagi. Selain itu, Islam adalah sebagai sebuah agama di mana prinsip identitas tidak sepenuhnya mutlak diterapkan dalam agama Islam.

Namun, bagi kelompok yang melarang, tidak lantas mereka jumud (ketinggalan zaman). Mereka berpedoman, akidah tidak ada hubungannya dengan zaman. Perkara akidah akan tetap sama, yaitu permasalahan keyakinan dengan Allah. Sehingga, umat Kristiani tidak boleh tersinggung apabila umat Islam tidak mengucapkan Selamat Natal, karena hal itu termasuk bagian dari akidah yang tidak bisa dinegosiasikan lagi keberadaannya.

Dari sini kita dapat mengetahui bahwa keduanya memiliki dalil dan ulama-ulama yang bisa dijadikan sebagai rujukan. Oleh karena itu, jangan sampai perbedaan ini mengakibatkan pertengkaran antargolongan. Perbedaan pendapat dalam permasalahan hukum itu sudah biasa, yang terpenting adalah bagaimana cara kita menjaga perbedaan tersebut agar tidak berbuah perpecahan.

Maka jika ditanya, mana yang lebih benar dari hukum mengucapkan Selamat Natal? Jawabannya adalah kembali kepada diri kita masing-masing. Mau mengikuti yang memperbolehkan silakan, mau mengikuti yang melarang tidak masalah. Yang terpenting, sebesar apapun perbedaan itu, tidak menghalangi prinsip persatuan yang ada.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan