Isu deforestasi yang disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit telah menjadi perdebatan besar, terutama di negara-negara tropis seperti Indonesia. Baru-baru ini, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang viral terkait sawit dan deforestasi menambah kompleksitas diskusi ini.
Dalam pidatonya, Prabowo mengungkapkan bahwa kelapa sawit seharusnya tidak dikaitkan dengan deforestasi. Bahkan ia mengklaim bahwa kelapa sawit berperan dalam menyerap karbon dioksida.
Namun, apakah klaim tersebut benar adanya? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat masalah ini dengan lebih jernih dan mempertimbangkan perspektif yang lebih luas, termasuk pandangan agama, terutama Islam, yang sejatinya sangat peduli terhadap pelestarian alam.
Dampak Industri Sawit
Kelapa sawit adalah salah satu komoditas utama yang mendorong perekonomian Indonesia. Namun, ekspansi perkebunan kelapa sawit di banyak daerah juga memiliki dampak besar terhadap lingkungan.
Sumber data seperti Global Forest Watch menunjukkan bahwa Indonesia dan Malaysia—dua negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia—telah mengalami kehilangan hutan tropis yang signifikan, sebagian besar disebabkan oleh konversi lahan untuk perkebunan sawit. Praktik-praktik yang dilakukan untuk membuka lahan, termasuk pembakaran hutan, sering kali mengarah pada kerusakan hutan yang meluas (Global Forest Watch, 2023).
Meskipun kelapa sawit dapat menyerap karbon dioksida dalam jumlah tertentu, kenyataannya, konversi hutan tropis menjadi perkebunan sawit malah menyebabkan pelepasan karbon yang lebih besar. Hutan tropis, yang berfungsi sebagai penyerap karbon utama, kehilangan fungsinya ketika ditebang atau dibakar. Dalam hal ini, dampak negatif terhadap iklim dan keberagaman hayati jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang didapat dari satu tanaman sawit itu sendiri (Greenpeace, 2020).
Oleh karena itu, meskipun kelapa sawit dapat dikatakan “ramah karbon” dalam beberapa hal, dampak deforestasi akibat perkebunan sawit harus menjadi perhatian utama.
Pandangan Islam
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga dan merawat alam sebagai bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah (pemimpin) di Bumi. Firman Allah dalam Al-Qur’an, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…” (QS. Al-Baqarah: 30) menggarisbawahi bahwa peran manusia adalah sebagai penjaga yang bertanggung jawab atas kelestarian bumi dan segala isinya. Sebagai khalifah, manusia tidak hanya memimpin tetapi juga harus menjaga agar ekosistem bumi tetap seimbang dan lestari.
Larangan Merusak Bumi
Islam dengan tegas melarang segala bentuk kerusakan yang ditimbulkan di muka bumi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56).
Dalam konteks deforestasi, ini berarti segala bentuk kerusakan terhadap alam, baik itu penebangan pohon secara liar atau konversi hutan menjadi lahan yang tidak berkelanjutan, adalah tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hutan yang hilang bukan hanya menyebabkan kerusakan terhadap flora dan fauna, tetapi juga merusak keseimbangan ekosistem yang memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia.
Nabi Muhammad SAW juga memberikan teladan yang jelas terkait pentingnya menjaga alam. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda: “Jika kiamat telah tiba dan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit pohon kurma, maka tanamlah meskipun hanya satu kali.” (HR. Al-Bukhari).
Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya penghijauan dan pelestarian alam, bahkan dalam situasi yang paling genting sekalipun.
Oleh karena itu, meskipun kelapa sawit dapat memberikan kontribusi pada perekonomian, praktik yang merusak hutan untuk membuka lahan sawit jelas tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Nabi.
Pandangan Yusuf al-Qardhawi
Ulama kontemporer Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya Ri’ayatul Bi’ah (Perhatian terhadap Lingkungan) menggarisbawahi bahwa Islam memiliki kedudukan penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. Menurutnya, Islam mengajarkan agar setiap tindakan manusia selalu memperhatikan dampaknya terhadap alam dan lingkungan. Al-Qardhawi menyatakan bahwa merusak lingkungan adalah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak Allah dan hak-hak sesama makhluk.
Dalam kitab tersebut, beliau menekankan bahwa manusia tidak boleh mengeksploitasi alam secara berlebihan, apalagi sampai menyebabkan kerusakan yang parah. (Al-Qardhawi, 1992)
Al-Qardhawi juga mengingatkan bahwa dalam Islam, menjaga alam bukanlah sekadar tugas individu, melainkan tanggung jawab bersama. Setiap tindakan yang dilakukan dalam menggunakan sumber daya alam harus seimbang dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan, sesuai dengan ajaran Islam yang memandang bahwa alam adalah amanah yang harus dijaga dengan baik.
Pandangan KH Alie Yafi
KH Alie Yafi, seorang ulama Indonesia yang juga pengarang buku Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, memberikan pandangan yang sangat relevan dalam hal ini. Beliau mengajarkan bahwa fikih (ilmu hukum Islam) tidak hanya mencakup aspek ibadah dan muamalah, tetapi juga meliputi hubungan manusia dengan lingkungan.
Dalam bukunya, KH Alie Yafi menekankan bahwa Islam tidak membenarkan kerusakan yang dilakukan terhadap alam, baik melalui eksploitasi berlebihan maupun perusakan ekosistem yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan.
Menurut KH Alie Yafi, manusia diharapkan untuk menggunakan sumber daya alam dengan bijak dan berkelanjutan. Lahan yang digunakan untuk perkebunan, termasuk kelapa sawit, harus dikelola dengan cara yang tidak merusak ekosistem. Prinsip tadbir (pengelolaan yang baik) dan adalah (keadilan) dalam Islam, harus diterapkan dalam pengelolaan alam agar tidak merusak keseimbangan lingkungan. Oleh karena itu, ekspansi lahan sawit yang merusak hutan tropis jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip fikih ekologi yang ditekankan oleh KH Alie Yafi.
Maqashidusyari’ah dan Pelestarian Lingkungan
Konsep maqashidussyari’ah (tujuan syariat) dapat dijadikan landasan dalam memahami bagaimana Islam memandang pentingnya menjaga lingkungan hidup. Salah satu tujuan utama syariat adalah menjaga kesejahteraan umat manusia, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi.
Dalam konteks ini, menjaga lingkungan hidup merupakan bagian integral dari menjaga keselamatan umat manusia dan keberlanjutan hidup di dunia. Al-Qardhawi mengaitkan pelestarian lingkungan dengan maqashidusyari’ah, karena menjaga keseimbangan alam adalah bagian dari upaya memenuhi kebutuhan hidup yang baik (hifz al-nafs) dan menjaga kesehatan umat manusia (hifz al-sihhah). Al-Qardhawi menyebutkan secara jelas bahwa hifz al-nafs juga termasuk di dalamnya adalah hifz al-bi’ah, menjaga lingkungan hidup.
Salah satu prinsip utama dalam maqashidusyari’ah adalah mencegah kerusakan dan memastikan adanya maslahat (kebaikan) untuk umat. Dengan menjaga kelestarian lingkungan, kita tidak hanya melindungi ekosistem dan sumber daya alam, tetapi juga memastikan kualitas hidup yang baik bagi generasi mendatang.
Oleh karena itu, tindakan yang merusak alam, seperti deforestasi yang dilakukan untuk membuka lahan sawit tanpa mempertimbangkan kelestarian, bertentangan dengan tujuan syariat yang ingin melindungi kehidupan dan kesejahteraan umat manusia.
Menilai Pernyataan Prabowo
Pernyataan Prabowo yang menyebutkan bahwa sawit tidak perlu dikaitkan dengan deforestasi mengundang banyak reaksi. Dari perspektif ekonomi, sawit memang memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian Indonesia.
Namun, dari sisi ekologi, ekspansi lahan sawit sering kali merusak hutan dan keberagaman hayati. Pandangan ini bisa dilihat sebagai bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab kita sebagai khalifah di Bumi.
Islam mengajarkan bahwa kita harus menjaga keseimbangan alam, dan tindakan yang merusak ekosistem demi keuntungan ekonomi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip agama. Dalam hal ini, kita perlu merenungkan bahwa ekonomi yang berkelanjutan harus sejalan dengan pelestarian alam, dan setiap kebijakan yang diterapkan harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap bumi dan seluruh isinya.
Perspektif Islam
Deforestasi yang terjadi akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit adalah masalah yang kompleks. Dalam perspektif Islam, hal ini jelas bertentangan dengan ajaran agama yang menekankan pelestarian alam.
Islam memandang manusia sebagai khalifah yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga bumi dan segala isinya. Oleh karena itu, meskipun sawit memiliki manfaat ekonomi, praktik yang merusak hutan untuk lahan sawit harus dikaji ulang.
Kita harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterapkan tidak hanya menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi juga menjaga kelestarian alam bagi generasi yang akan datang.
Dengan mempertimbangkan prinsip khilafah dan maqashidussyari’ah, Islam mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan alam demi keberlanjutan hidup umat manusia dan makhluk lainnya di bumi ini.